Ramadhan Bulan Komersialisasi Agama
Oleh Ibn Ghifarie
[quote]:Pesan Asli oleh mifkaOleh Ibn Ghifarie
Fenomena Ramadhan yang penuh sakralitas, seolah-olah hangus digerus budaya materialistis-konsumtif dan hedonis. Demi menghormati dan merayakan bulan suci Ramadhan, masyarakat jadi boros dan menghambur-hamburkan anggarannya. Kecenderungan budaya masyarakat di bulan Ramadhan itu justeru mendistorsi ajaran agama itu sendiri. Padahal, banyak fakir-miskin yang terlantar juga ingin menikmati Ramadhan; padahal, masih banyak rakyat yang kelaparan dan anak terlantar yang tak pernah mencicipi kebahagiaan, tetapi sirna oleh pola hidup serakah dan poya-poya sebagian masyarakat; kelak dapat lahir kesenjangan sosial dalam masyarakat.
Walhasil, jika puasa kita masih tetap sekedar individu-vertikal, tetapi hirau dan tak pernah ikhlas berkunjung ke ranah sosial-horizontal, maka kita haram berpuasa!
2006[/qoute]
Aneh memang. Setiap kali memsuki bulan puasa, maka setiap itu pula kita `dihantui penderitaan`. Terutama bagi mereka yang telah berkeluarga. Betapa tidak, kebutuhan sehari-hari untuk makan-minum saja, malah naik melonkan bak tangga saja.
Padahal, mestinya shaum itu diharapkan dapat meminimaliris kebutuhan dapur. Kini, malah urusan perut menjadi Tuhan gaya baru.
Tak berhenti sampai disini saja, dipenghujung bulan penuh maghfirah tersebut. Lagi-lagi, para bapak dibenturkan dengan satu tradisi bahwa Idul Fitri harus memakai pakaian serba baru, mulai dari baju, celana, peci, jilbab, busana muslim, sejadah sendal, sepatu, sampai asesoris tubuh. Mau tidak mau orang tua mesti mengabulkan permintaan anak-anaknya.
Selain itu, diawal puasa pun kita disibukan dengan sederetan menu idangan makanan, minuman dan hiburan yang menggoda. Apalagi ditunjang dengan pelbagai media, baik elektronik maupun cetak.
Adalah maraknya `dai-dai muda kilat`, sesuai dengan budaya pesantren kilatnya. Sudah tentu, dengan harga selangit, bila kita mengundang mereka guna memberikan tausiah disela-sela menjelang iftar dan shaur atau hanya sekedar menjadi imam tarawikh sekaligus mengisi kultumnya.
Bila mencermati persoalan itu, seakan-akan shaum hanya milik orang-orang bermodal saja. Sementara mereka yang tak punya uang banyak cukup menahan hawa nafsu untuk mengikuti kebiasaan gelamor tersebut.
Singkat kata, Ramadhan merupakan bulan komersialisasi agama. [Ibn Ghifarie]
Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 22/09;11.23 wib
Walhasil, jika puasa kita masih tetap sekedar individu-vertikal, tetapi hirau dan tak pernah ikhlas berkunjung ke ranah sosial-horizontal, maka kita haram berpuasa!
2006[/qoute]
Aneh memang. Setiap kali memsuki bulan puasa, maka setiap itu pula kita `dihantui penderitaan`. Terutama bagi mereka yang telah berkeluarga. Betapa tidak, kebutuhan sehari-hari untuk makan-minum saja, malah naik melonkan bak tangga saja.
Padahal, mestinya shaum itu diharapkan dapat meminimaliris kebutuhan dapur. Kini, malah urusan perut menjadi Tuhan gaya baru.
Tak berhenti sampai disini saja, dipenghujung bulan penuh maghfirah tersebut. Lagi-lagi, para bapak dibenturkan dengan satu tradisi bahwa Idul Fitri harus memakai pakaian serba baru, mulai dari baju, celana, peci, jilbab, busana muslim, sejadah sendal, sepatu, sampai asesoris tubuh. Mau tidak mau orang tua mesti mengabulkan permintaan anak-anaknya.
Selain itu, diawal puasa pun kita disibukan dengan sederetan menu idangan makanan, minuman dan hiburan yang menggoda. Apalagi ditunjang dengan pelbagai media, baik elektronik maupun cetak.
Adalah maraknya `dai-dai muda kilat`, sesuai dengan budaya pesantren kilatnya. Sudah tentu, dengan harga selangit, bila kita mengundang mereka guna memberikan tausiah disela-sela menjelang iftar dan shaur atau hanya sekedar menjadi imam tarawikh sekaligus mengisi kultumnya.
Bila mencermati persoalan itu, seakan-akan shaum hanya milik orang-orang bermodal saja. Sementara mereka yang tak punya uang banyak cukup menahan hawa nafsu untuk mengikuti kebiasaan gelamor tersebut.
Singkat kata, Ramadhan merupakan bulan komersialisasi agama. [Ibn Ghifarie]
Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 22/09;11.23 wib