Sentralisasi Beras
Oleh Ibn Ghifarie
Naiknya harga beras membuat sebagian masyarakat kecil [i]pontang-panting[/i]. Pasalnya, harus kerja ekstra guna mendapatkan bahan pokok tersebut. Tak berakhir sampai disini, rebutan supaya mendapatakn padi pun tak terelakan lagi. Hingga, nasi aking pula menjadi obat mujarab kelaparan tersebut.
Tengok saja, di daerah Klaten kenaikan harga beras melonjak dratis mulai awal bulan ini. Kemarin, di Pasar Klaten beras Cisadane telah mencapai Rp5.000 per kilogram, Rojolele Rp5.500, Mamberamo Rp5.200, IR-64 Rp5.100, Umbuk Rp5.100, Menthik Wangi Rp5.300, dan beras ketan Rp7.000. (Media Indonesia, 16/12)
Konon, di Papua kenaikan harga beras tak terkendali, hingga mencapai 13.000,00-/kg (Metro,16/12). Sudah tentu, [i]nerekalna[/i] harga beras juga berdampak pada harga bahan kebutuhan pokok (sembako) lainya.
Mencermati persoalan pelik itu, pemerintah hanya bisa mengelar pasar murah dan kualitasnya pun di pertanyakan. Benarkah permasalahan kemiskinan itu berawal dari kenaikan harga beras? atau Jangan-jangan ada sistem kearifan lokal yang tak terpikirkan sekaligus di tinggalkan oleh masyarakat akibat globalisasi dan kecangihan ilmu pengetahuan.
Yakni penduduk melupakan tatanan kehidupan pokok suatu daerah tertentu sebagai sumber makanan. Kini, sebagian besar masyarakat Mimika tak lagi akrab dengan makan khasnya (ubi-ubian), tapi semuanya makan beras, sebagai contoh. Padahal, daerah pingiran Irian itu penghasil terbesar biji-bijian. Nyatanya, mereka harus rela tak makan selama beberapa hari, hingga menelan banyak korban.
Ironis, sungguh ironis. Nusantara yang terkenal dengan subur makmur alamnya, malah menghasilkan kematian tingkat tinggi. Bak ayat mati di lumbung padi.
Dengan demikian, sentralisasi beras di Bumi Pertiwi ini, hanya dapat menghasil kesengsaraan dan kemiskinan yang akut dan tak kunjung selesai. [Ibn Ghifarie]
[i]Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 17/12;14.17 wib[/i]
Oleh Ibn Ghifarie
Naiknya harga beras membuat sebagian masyarakat kecil [i]pontang-panting[/i]. Pasalnya, harus kerja ekstra guna mendapatkan bahan pokok tersebut. Tak berakhir sampai disini, rebutan supaya mendapatakn padi pun tak terelakan lagi. Hingga, nasi aking pula menjadi obat mujarab kelaparan tersebut.
Tengok saja, di daerah Klaten kenaikan harga beras melonjak dratis mulai awal bulan ini. Kemarin, di Pasar Klaten beras Cisadane telah mencapai Rp5.000 per kilogram, Rojolele Rp5.500, Mamberamo Rp5.200, IR-64 Rp5.100, Umbuk Rp5.100, Menthik Wangi Rp5.300, dan beras ketan Rp7.000. (Media Indonesia, 16/12)
Konon, di Papua kenaikan harga beras tak terkendali, hingga mencapai 13.000,00-/kg (Metro,16/12). Sudah tentu, [i]nerekalna[/i] harga beras juga berdampak pada harga bahan kebutuhan pokok (sembako) lainya.
Mencermati persoalan pelik itu, pemerintah hanya bisa mengelar pasar murah dan kualitasnya pun di pertanyakan. Benarkah permasalahan kemiskinan itu berawal dari kenaikan harga beras? atau Jangan-jangan ada sistem kearifan lokal yang tak terpikirkan sekaligus di tinggalkan oleh masyarakat akibat globalisasi dan kecangihan ilmu pengetahuan.
Yakni penduduk melupakan tatanan kehidupan pokok suatu daerah tertentu sebagai sumber makanan. Kini, sebagian besar masyarakat Mimika tak lagi akrab dengan makan khasnya (ubi-ubian), tapi semuanya makan beras, sebagai contoh. Padahal, daerah pingiran Irian itu penghasil terbesar biji-bijian. Nyatanya, mereka harus rela tak makan selama beberapa hari, hingga menelan banyak korban.
Ironis, sungguh ironis. Nusantara yang terkenal dengan subur makmur alamnya, malah menghasilkan kematian tingkat tinggi. Bak ayat mati di lumbung padi.
Dengan demikian, sentralisasi beras di Bumi Pertiwi ini, hanya dapat menghasil kesengsaraan dan kemiskinan yang akut dan tak kunjung selesai. [Ibn Ghifarie]
[i]Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 17/12;14.17 wib[/i]