Berislam Ala Persis
Oleh IBN GHIFARIE
(Artikel ini dimuat pada Opini Pikiran Rakyat edisi 24 September 2010)
Oleh IBN GHIFARIE
(Artikel ini dimuat pada Opini Pikiran Rakyat edisi 24 September 2010)
Menjelang Muktamar Persatuan Islam (Persis) ke-XIV di Masjid Aisyah Tasikmalaya (Pesantren Benda dan Pesantren Persis Rajapolah) dan Garut (Pesantren Rancabango), Jawa Barat pada 25-27 September 2010, tiga kandidat ketua umum periode 2010-2015 muncul.
Menurut Jenal Mutakin, Sekretaris Muktamar Persis ke-XIV, tiga nama calon ketua umum Persis dari hasil tabulasi adalah Prof. Dr. K.H. Maman Abdurahman ketua umum Persis sekarang; Dr. K.H. Latifatulhayat, M.M., Ph.D., kepala bidang jamiah pengurus pusat Persis; dan K.H. Aceng Zakaria kiai Pimpinan Pondok Pesantren Persis Rancabango. (Pikiran Rakyat, 3/9 dan Antara, 19/9).
Mampukah kehadiran Muktamar Persis ke-XIV ini tidak hanya diisi pergantian ketua umum, tetapi menjadi momentum bersama untuk mewujudkan Islam sebagai rahmatallil alamin?
Pembaru?
Selama ini, Persis dikategorikan sebagai organisasi masyarakat pembaruan (al-haraqah al-tajdid) yang giat mengampanyekan kembali kepada Alquran dan assunnah. Tentunya, segala ucapan, perbuatan, dan tingka lagu yang tidak bersumber pada Alquran dan assunnah disebut sesat (bidah).
Memang, Persis kadung mendeklarasikan dirinya sebagai penganut aliran haraqah tajdid pada 12 September 1923 bertepatan dengan 1 Shafar 1342 H.
Berawal dari kelompok "tadarussaan" di Kota Bandung, yang dipimpin oleh H. Zam zam dan H.M. Yunus dengan angota sekitar 20 orang, giat melakukan dan mengkaji ajaran-ajaran Islam. Mereka berkeyakinan dan sadar akan bahaya TBC (takhayul, bidah, dan churafat), kejumudan, dan keterbelakangan pemahaman Islam. Sejak itu komunitas pengajian ini menamakan diri Persatuan Islam (Persis) dengan semboyan "Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (agama) Tuhan dan janganlah kalian bercerai berai" (QS al-Imran:103)
Ingat gerakan pembaru tidak hanya diklaim kelompok Persis, tetapi Muhammadiyah pun mengidentikkan dirinya sebagai gerakan pembaru yang modernis, meskipun kedua gerakan haraqah tajdid itu berbeda penekanannya. Bila Persis lebih berorientasi kepada pendidikan dan fikih, Muhammadiyah mengedepankan aspek-aspek sosial, melalui pendidikan, pelayanan masyarakat seperti rumah sakit, panti asuh, dan jompo.
Seiring dengan perubahan zaman, gerakan haraqah tajdid dalam tubuh Persis mengalami kemunduran. Hipotesis ini diungkapkan oleh Fahri Ali dan Bahtiar Efendi ihwal ormas-ormas islam pembaruan, seperti Persis, Muhammadiyah, Al-Irsayad yang kehilangan ruh dinamika ataupun pembaharuannya. Alhasil, pembaruan model ini telah berhenti berpikir. Pasalnya, tidak mampu menangkap semangat dan tantangan zaman serta mengantisipasi ke arah mana masa depan akan berkembang.
Kehawatiran akan memudarnya gerakan pembaruan pernah dilontarkan Atif Latifulhayat saat menjabat Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Persis (1995:VII). Yang patut dipertanyakan adalah apa dan bagaimana sebenarnya fikrah Persis itu? Setiap Persis berganti tokoh dan bertukar masa kepemimpinan, cara atau gaya kepemimpinan tokoh tersebut selalu diidentikkan dengan fikrah Persis. Ketika A. Hasan menjadi tokoh sentral. Inilah corak dari fikrah Persis.
Pascakematian gerakan tajdid A. Hasan, Persis justru mengalami "taaklid buta". Pasalnya, kita hanya "mengamini" hasil keputusan satu dewan hisbah, yang diemban anamat untuk tanggap dan pandai menyelesaikan segala persoalan keumatan dan kebangsaan. Pengambilan satu keputusan itu bukan hasil musyawarah dewan hisbah, tetapi hanya hasil ijtihad segelintir (sekelompok) orang tertentu yang dikultuskan pengikutnya.
Kemandegan pembaruan diungkapkan Inyana (peserta Muktamar) kepada Husni Rofiqoh, saat menjabat Ketua Umum Pimpinan Pusat pemudi Persis (Majalah Ibier No 414/th. XXXIV/4 Jumadil Ula 1423/15 juli 2002 M: 17).
Berislam
Menjawab pelbagai tantangan itu sebelum muktamar, Persis menggelar diskusi bertajuk "Persis, Islam, dan Budaya" di Aula Redaksi Pikiran Rakyat, Kamis (16/9) pagi. Radikalnya gerakan pembaruan Persis, hingga dikategorikan antibudaya, membuat Maman Abdurrahman mengatakan, diskusi ini digelar untuk memberikan pandangan kepada masyarakat umum bahwa Islam tidak hanya mengatur masalah fikih ibadah, tetapi juga semua sektor kehidupan, termasuk budaya. Salah satu model pembaruan Islam sebagai rahmatallil alamin melalui budaya. Selama ini, Persis dikenal giat berdakwah lewat tulisan Sunda, seperti adanya majalah At-Taq-waa (1937), Iber (1967) Dakwah; penerbitan (CV Diponegoro dan PT Almaarif).
Oleh karena itu, Atip Latifulhayat, ketua panitia pelaksana muktamar bermaksud memetakan apa-apa saja yang menjadi perhatian Persis. Selama ini, menurut Atip, ada persepsi eksternal yang menganggap Persis itu antibudaya hanya karena Persis lebih mengutamakan fikih sehingga tampaknya hitam dan putih, sementara budaya itu lebih cair.
Sekali lagi, persepsi Persis antibudaya dan semacam itu tidaklah tepat. Hal itu, karena sejak 1963, Persis mempunyai majalah berbahasa Sunda, yaitu Iber. Persis juga mengajarkan bahasa Sunda di pesantren-pesantrennya sebagai bekal mubalig. (Pikiran Rakyat, 3/9).
Inilah cara berislam Ala Persis yang tidak hanya berpijak kepada Alquran dan assunnah, tetapi juga berpegang teguh kepada tradisi lokal. Selamat Muktamar Persis ke-XIV. Semoga.***
IBN GHIFARIE, alumnus Persis Tarogong Garut dan Mahasiswa Pacasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung program religious studies.