-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Mushaf (16)

Friday, December 22, 2006 | December 22, 2006 WIB Last Updated 2006-12-22T16:07:21Z
Impor Beras; Bisnis Silumah
Oleh Ibn Ghifarie


Lagi, maraknya aksi impor beras dari pelbagai negara ke Indonesia menuai pelbagai kecaman. Pasalnya, pencaharian masyarakat Nusantara adalah bertani.

Sudah tentu, membanjirnya beras luar itu, dapat memperburuk sekaligus menjatuhkan hasil petani tradisional, mulai dari harga, kualitas dan kuantitasnya. Lantas dimanakah slogan 'Mari kita cintai prodak dalam negeri tersebut' atau itu hanya semacam jargon Orba setamat.

Namun, sejuta protes yang dialamatak kepada pemerintahan itu tak berefek apapun, malah kemarin pemerintah memutuskan akan mengimpor beras sebanyak 520 ribu ton. Keputusan tersebut disampaikan langsung oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla seusai memimpin rapat soal beras dengan sejumlah menteri di Jakarta. Perinciannya 320 ribu ton untuk menutup kebutuhan beras bagi rakyat miskin selama Januari-Februari 2007 dan 200 ribu ton untuk kebutuhan operasi pasar.

Dengan demikian, sepanjang 2006 sudah tiga kali impor beras dilakukan. Pada Januari sebanyak 110 ribu ton, pada Oktober 210 ribu ton, dan kini dalam waktu dekat bakal mengimpor sebanyak 520 ribu ton.

Selain untuk menjaga stok pangan pada posisi satu juta ton beras, kebijakan impor itu dibuat agar stabilitas harga terjamin. Harus diakui, harga beras belakangan kian tak terkendali meski operasi pasar telah dilakukan. Pemerintah berharap harga beras stabil di tingkat Rp4.500 per kilogram dan tidak melambung hingga Rp8.000/kilogram.(Media Indonesia, 22/12)


Alih-alih menjaga stok pangan nasional supaya tetap terjaga kebijakan impor beras pun terus berdatangan. Apalagi dapat memperbanyak masukan buat pemerintah.

Ironisnya, lagi beras yang dipakai untuk operasi pasar terutama di Jawa dan Sumatra berasal dari impor. Ini sama artinya dengan pemborosan devisa dan mau tidak mau membebani anggaran negara.

Padahal, nasi merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat (Jawa-Sumatra) yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Kecuali bagi penduduk Papua yang tak terbiasa makan padi melainkan sagu.

Dengan demikian, terbukanya keran impor beras setiap tahun mencerminkan rapuhnya politik pangan dan mandulnya diversifikasi pangan. Apalagi di tengah keragaman sumber daya pertanian, kegiatan mengonsumsi nasi terus berlangsung tanpa bisa dibendung dan ketergantungan terhadap beras telah menjadikan Indonesia rentan terhadap kelaparan dan rawan pangan.

Tak hanya itu, kehadiran bisnis nasi dapat memperkoyak sekaligus membuat arena perkelahian di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Pasalnya, tak sedkit para Dewan itu mencari ksempatan dalam kesempitan, hingga sebagian masyarakat beranggapan, derasnya arus imfor beras itu hanya akal-akalan penguas saja, supaya merauk keuntungan sebanyak-banyaknya.

Namun, wong cilik tetap makan nasi aking yang terus meroket tinggi harganya. Semula nasi ala hewan diharapkan dapat menjadi alternatif manakala beres tetap melambung tinggi. Nyatanya, nasi bercampur basi itu pula ikut-ikutan naik. Tentunya, sederetan sembalo pun ikut kecipratan naik.

Thus, impor beras merupakan bisnis siluman jangkan panjang. Yang tak berujung dimanakah beres tersebut? [Ibn Ghifarie]


Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 22/12;05.56 wib
×
Berita Terbaru Update