-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Mushaf (6)

Friday, October 30, 2009 | October 30, 2009 WIB Last Updated 2009-10-30T08:52:35Z
Puasa dan Perdamaian Sejati
Oleh IBN GHIFARIE

Tak terasa memang. Saat kita menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan ini telah memasuki hari keduabelas. Ada juga yang tigabelas, empatbelas atau kelimabelas.

Semua umat islam berusahan menjalankan perintah Tuhan. Tinggal beberapa hari lagi kita akan meninggalkan bulan penuh ampunan ini.

Adakah pengalaman yang bisa kita petik dari kehadiran shaum ini supaya sikap kecurigaan, kebencian dapat kita tanggalkan sekaligus membangun perilaku kerukunan, toleransi, persatuan, perdamaian antarumat beragama ditengah-tengah aksi terorisme di Indonesia ini?

Menodai Kesucian Ramadhan
‘Menunda’ segala bentuk keinginan adalah pelajaran yang bisa kita ambil dari shaum ini. Dalam ajaran Islam, puasa disebut jihad akbar. Tentu, nilainya (jika diabndingkan) akan lebih besar dari sekadar perang fisik. Mari kita tengok petuah Rasulullah Saw pascakemenangan perang Badar, Ia menuturkan di hadapan para sahabatnya “Kita baru kembali dari jihad kecil, dan akan menghadapi jihad akbar,” Para sabatpun bertanya, “Apa yang kau maksud jihad akbar itu Ya Rasulullah?” Ia menjawabnya, “Jihad melawan hawa nafsu.”

Menurut Nurcholish Madjid (1994:124) hawa nafsu merupakan bagai kecil dari keinginan-keinginan yang ada pada diri sendiri. Sejatinya, kehadiran ramadhan adalah salah satu tahapan (godokan) dalam menunda sejenak pelbagai keinginan dalam mengarungi kehidupan selama 11 bulan ini. Apa pun bentuknya!

Bila kita kuat memegang amanat suci puasa ini, niscaya tak ada lagi upaya ‘mempercepat kematian’ orang lain (seagama, antaragama) dengan aksi bom bunuh diri. Juga aksi pengrusakan warung dagangan (siang hari), tempat hiburan (siang-malam), penetriban Ajal (anak jalanan) dan Gepeng (Gelandangan dan Pengemis jalanan) di pinggiran Ibu Kota atas nama ‘penodaan’ bulan suci? Ironis memang!

Petuah Rasul tentang aturan shaum supaya tidak mendapatkan predikat sia-siap pun kita langgar, dan hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga “”Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya itu, kecuali rasa lapar dan dahaga.”

Hadits yang lain, menyebutkan “Berapa banyak orang puasa hanya mendapatkan lapar dan dahaga; dan berapa banyak orang yang mendirikan ibadah di malam hari, hanya mendapatkan begadang saja.” (HR. Nasa’i)

Parahnya lagi, jaminan lipatan pahala puasa sekaligus mendapatkan balas langsung dari Tuhan, malah kita abaikan “Setiap amalan anak Adam akan dilipatgandakan pahalanya. Satu kebaikan akan berlipat menjadi 10 kebaikan sampai 700 kali lipat. Allah berkata, “Kecuali puasa, Aku yang akan membalas orang yang mengerjakannya, karena dia telah meninggalkan keinginan-keinginan hawa nafsu dan makannya karena Aku.” (HR. Muslim). Mengerikan memang!

Dengan demikian, shaum tidak hanya diartikan sebagai menahan lapar, haus, dan seks suami istri sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Melainkan amarah sambil berusaha saling memaafkan amarah dan berlomba-lomba dalam kebajikan.

Perdamaian Sejati
Mencermati tradisi kebencian yang telah mengakar dibelahan dunia manapun , termasuk Indonesia dengan semarak aksi teroris mengusik Milad Hanna, seorang intelektual Kristen Koptik dan pejuang toleransi Mesir untuk merancang sebuah dunia baru tanpa kebencian.

Hanna menilai, perkembangan dunia sekarang ini lebih didominasi oleh konsep-konsep dan tesis yang berisi semangat mengumbar kebencian kepada yang lain (karahiyatul akhar). Di antara konsep dan tesis itu; “konflik kelas” Karl Marx dan tesis “Clash of Civilization” Samuel P. Huntington (1996). Baginya, teori-teori itu dianggap berperan besar dalam menciptakan semangat kebencian. Karena, baik konsep Marx dan perkembangannya maupun Huntington yang menjadi prediksi futuristik justru telah mendorong terjadinya tatanan dunia yang penuh konflik. Kedua teori itu melecutkan sentimen kolektif manusia agar saling memusuhi satu sama lain.

Melihat kenyataan ini, maka Hanna segera mengajukan sebuah konsep pembanding yang ingin menempatkan kedamaian dan penerimaan bagi “yang lain” di atas segalanya. Tawaran konsep ini disebutnya sebagai qabulul akhar. Dalam konsep ini, Hanna menyerukan untuk menjunjung pluralisme dan menerima keberbedaan atas yang lain. Tawaran konsep ini ditulis Hanna dalam sebuah buku berjudul Qabulul Akhar: Min Ajli Tawashuli Hiwaril Hadlarat (Mesir: al-I’lamiyyah Lin Nasy, 2002) edisi Indonesianya “Menyongsong yang lain, Membela Pluralisme” yang diterjemahkan oleh Guntur Romli (2005) dan diterbitkan oleh JIL (Jaringan Islam Liberal). [Majalah Syir'ah, edisi Juni 2006]

Bagi Sang Buddha “Tidak pernaha di dunia ini kebencian bisa diredakan dengan kebencian. Kebencian hanya bisa diredakan dengan ketidakbencian”. Dalam praktik kehidupan sehari-hari, kita harus berjuang menggunakan Dhamma dan ketahanan kesabaran. Inilah inti ajaran Sidarta Gautama.

Kiranya, kita harus berguru kepada Mahatma Gandhi soal puasa perdamaian. Konon, tatkala Mahatma Gandhi hendak mempersatukan umat Islam dan umat Hindu di India yang saling bermusuhan melanda Kalkuta, Ia berpuasa sampai kedua umat beragama itu menyatakan perdamaian. Sejak 13 Januari 1948, Ia memulai menjalankan puasa untuk perdamaian New Delhi.

Tak hanya itu, Ia juga mengajarkan bahwa semua umat manusia di dunia ini bersaudara. Kendati, dalam perjalanan untuk sembahyang (30 Januari), Nathuram Godse, seorang Hindu Fanatik yang tak setuju seruan damai, berhasil membunuhnya.Inilah pelajaran berharga dari puasa dalam membangun perdamaian sejati. Semoga.

IBN GHIFARIE, Pegiat Studi Agama-Agama dan Pemerhati Kebebasan Beragama.

Tulisan ini dimuat pada rubrik "Wacana" Bandung Ekspres, 7 September 2009
×
Berita Terbaru Update