-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Mushaf (11)

Tuesday, January 12, 2010 | January 12, 2010 WIB Last Updated 2010-01-13T03:05:50Z
Natal dan Kebebasan Beragama
Oleh IBN GHIFARIE
(Artikel ini dimuat pada Opini Tribun Jawa Barat, Sabtu 26 Desember 2009)

Sekali lagi, kekerasan atas nama agama terjadi di Bekasi. Kali ini, menimpa Gereja St Albertus yang berlokasi di Kota Harapan Indah, Medan Satria, Kota Bekasi. Alasan spontanitas karena terprovokasi menjadi pemicu kuat pengrusakan tempat ibadah umat Kristen.

Ironisnya, perlakuan tak terpuji itu dilakukan pasca konvoi peringatan 1 Muharram 1431 H. Sekitar pukul 23.00 wib saat warga Babelan dan Taruma Jaya (wilayah Utara Kabupaten Bekasi) yang berjumlah 600 orang melawati Gereja di kawasan Harapan Indah tanpa komando mereka langsung menghancurkan fasilitas Gereja. Kesuciaan mengawali tahun hijriah pun harus diwarnai dengan aksi kekerasan atas nama agama.

Kendati pihak Polres Metro Bekasi Kota, Kapolres Ajun Komisaris Besar Imam Sugianto menilai serangan terhadap gereja ini adalah spontanitas karena provokasi. "Massa dari Babelan dan Taruma Jaya konvoi usai perayaan 1 Muharram. Saat lewat Harapan Indah ada yang memprovokasi untuk menghancurkan gereja," katanya

"Kita sedang mengejar provokatornya, hingga saat ini sudah 28 saksi yang diperkisa," ujarnya

Apapun alasanya mengumpat, mencaci-maki, menghancurkan tempat ibadah tertentu, hingga menghilangkan nyawa orang lain, tak termasuk dalam kategori perbuatan baik.

Diakui atau tidak Kabupaten Bekasi paling tinggi langgar kebebasan beragama, demikain dikatakan Gatot Rianto, Sekretaris Jaringan Kerja Pemantauan dan Advokasi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (Jaker PAKB2)

Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat menempati rangking kedua setelah Kabupaten Bekasi dalam pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di tingkat Kabupaten Kota di Jabar.

Dari data yang dirangkum, terjadi 25 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di wilayah Kabupaten Bekasi dan 24 pelanggaran di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat.

Ingat, Jawa Barat (13 peristiwa) menempati urutan pertama atas segala bentuk pelanggaran kebebasan beragam dan berkeyakinan di Indonesia. Kedua Sumatra Barat (56 peristiwa) dan Jakarta (45 peristiwa). Sebanyak 265 peristiwa itu menghasilkan 376 tindak pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, ungkap Hendardi, Ketua Badan Pengurus Setara Institute

Mampukah kehadiran Natal yang selalu diperingati setiap tanggal 25 Desember dapat memberikan spirit keadilan, kemerdekaan sekaligus membuka ruang untuk tumbuh dan berkembangnya kebebasan beragama di Indonesia sekalipun bagi komunitas penghayat atau aliran kepercayaan?

Pesan Suci Natal
Momentum Natal merupakan tonggak awal lahirnya peradaban Kristen (cinta kasih, damai, keselamatan, kebangkitan) berbasis keimanan yang kukuh. Penyaliban tubuh Yesus di tiang salib pun menjadi petanda peradaban Isa untuk menegakkan keadilan, kemerdekaan sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.

Peristiwa maha dahsat itu, mengingatkan kita kepada sosok Isa Al-Masih sebagai Juruselamat dari segala dosa yang telah diperbuat manusia. Pasalnya, keselamatan miliknya. Tengok saja, doktrin Kristen yang tertuang dalam Kisah Para Rasul 4:12 "Keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam dia, sebab di bawah kolong langit ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya tidak bisa diselamatkan" dan Yesaya 43:11 "Aku, akulah Tuhan dan tidak ada Juruselamat selain dari padaku"

Mari menelaah doktrin Nasrani yang senantiasa menyerukan "damai di bumi". Bandingkan dengan kata Islam yang berarti damai, selamat. Bila di Kristen terdapat ajaran untuk menjadi penyalur berkat bagi sesama pada pengikut Isa, maka Islam memiliki rahmatan lil'alamin. "Kasihanilah Allah Tuhanmu dengan sebulat-bulat hatimu sepenuh akal budimu dan segenap jiwamu dan kasihanilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" dan "Perbuatlah kepada sesamamu apa yang engkau suka sesamamu perbuat kepadamu"

Kebebasan Beragama
Harus diakui kemerdekaan, keadilan, sikap keterbukaan menjadi barang langka di Nuasntara ini. Urusan keimanan saja pemerintah masih ikut mencampurinya. Padahal negara kita bukan pemerintahan teokratis atau sekuler. Namun, penertiban kepercayaan selalu digalakan. Atas nama meresahkan masyarakat, berbuat onar, menafikan Tuhan, hingga penodaan agama kerap menjadi dalih untuk membumi hanguskan keberadaan mereka.

Kiranya, jaminan kebebasan berkumpul, berserikan dan beragama sesuai dengan keyakiannya dan hak kemerdekaan pikiran, nurani dan kepercayaan hanya berhenti pada Pasal-pasal (28 ayat 2, 29 ayat 1 dan 2), Undang-undang (No 1/PNPS/1965) dan Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No 477/ 74054/ BA.012/ 4683/95 tertanggal 18 November 1978 semata.

Salah satu hak dan kebebasan dasar yang diatur ICCPR sekaligus sudah dirativikasi adalah hak atas kebebasan berkeyakinan dan beragama, mencakup kebebasan menganut, menetapkan agama, kepercayaan atas pilihan sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama, di tempat umum maupun tertutup, untuk menjalankan agama, kepercayaan dalam kegiatan ibadah, ketaatan, dan pengajaran. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga mengurangi kebebasan untuk menganut, menetapkan agama, kepercayaan sesuai dengan pilihannya.

Alih-alih tak mengantongi surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang resmi, pengrusakan rumah ibadah menjadi jalan pintas dalam menyelesaikan persoalan. Budaya baku hantam menjadi jurus pamungkas guna menumpas semua golongan yang berbeda.Ironis memang.

Dengan demikain, Natal harus menjadi ajang evaluasi kebebasan beragama. Bukan malah sebaliknya kita sengaja menabur ayat-ayat penuh kebencian dan fitna dalam wilayah keyakinan. Tak ada budaya balas-membalas sekaligus merusak mesjid yang berada di lingkungan sekitarnya. Pasalnya, Sang Juruselamat mengajarkan kepada kita bila ditampar pipi kananmu, maka berikan pipi kirimu (Matius, 5:39-40).
Inilah yang di inginkan Joahim Wach, Guru Besar Perbandingan Agama dalam mengeja suatu kebenaran.

Memang benar, bahwa untuk mencintai kebenaran orang harus membenci ketidakbenaran. Akan tetapi tidak benar bahwa untuk memuji keyakinan sendiri, seseorang harus membenci dan merendahkan keyakinan orang lain (Joahim Wach, 2000)

Inilah makna terdalam Natala dalam membangun kerukunan antarumat beragama. Terwujudnya kedamaian, toleransi, saling menghormati antarajaran, antaragama, dan antarkelompok menjadi cita-cita tertinggi masyarakat Indonesia yang beradab. Semoga!

IBN GHIFARIE, Pengiat Studi Agama-agama dan Pemerhati Kebebasan Beragama
×
Berita Terbaru Update