-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Mushaf (20)

Tuesday, July 27, 2010 | July 27, 2010 WIB Last Updated 2010-07-27T06:15:22Z
Hari Anak dan "Kaulinan Baheula"
Oleh IBN GHIFARIE
(Artikel ini dimuat pada Forum Kompas Jawa Barat edisi Senin 26 Juli 2010)

Harus diakui, keberadaan kaulinan barudak baheula tinggal nama. Ini terlihat dari hasil penelitian Komunitas Hong (Pusat Kajian Mainan Rakyat Jawa Barat) bahwa 168 jenis atau 70 persen jenis mainan dan permainan tradisional anak-anak di Jabar dan Banten punah.

Tak ada permainan (wayang dari batang singkong, teteot, celempung, kelom batok, dan rorodaan) serta aktivitas keseharian anak-anak menjelang sore hingga maghrib (oorayan, hadang, hahayam, jeung careuh, ucing sumput, sorodot gaplok, galah, pepepet jengkol, gatrik, galah asin, jajangkungan, congkak, engkle, dan hompimpah) di tanah Pasundan.

Tentu semua kaulinan barudak Sunda ini tinggal kenangan budak baheula kolot ayeuna. Kuatnya arus modernitas dan globalisasi membuat permainan tradisional ini semakin terasing di tengah kehidupan masyarakat Parahyangan. Malahan budak kiwari merasa bangga bila bisa sekaligus menamatkan permainan game watch, game boy, Sega, PlayStation, dan game online.

Parahnya, sebagian penghuni bumi persada Parijs van Java ini beranggapan bahwa kaulinan barudak dapat dikategorikan sebagai permainan kelas bawah yang kotor, berbahaya, dan tidak berkualitas. Ketiadaan tempat khusus bermain karena disulap menjadi mal dan pusat perbelanjaan membuat permainan ini semakin terpinggirkan sekaligus terlupakan dari benak kita. Ironis memang.

Padahal, permainan tradisional sangat cocok sebagai media pembelajaran pendidikan anak usia dini. Pasalnya, kaulinan barudak mengandung banyak manfaat dan persiapan bagi anak guna menjalani kehidupan bermasyarakat. Hal itu juga terkait erat dengan pengenalan diri, alam, dan Tuhan.

Mampukah kehadiran Hari Anak Nasional tiap 23 Juli menjadi momentum awal untuk menciptakan generasi unggul sekaligus ngamumule kaulinan barudak di Priangan ini sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1984 tentang Hari Anak Nasional dan harus diselenggarakan setiap tahun dari 1986 sampai sekarang? "Kaulinan barudak"

"Kaulilan Barudak"
Dalam konteks Jabar, untuk menciptakan generasi unggul dengan melestarikan khazanah kesundaan, salah satu caranya adalah ngamumule kaulinan barudak baheula. Apalagi, poin pertama tujuan khusus peringatan Hari Anak Nasional 2010 adalah menyediakan wahana bermain, unjuk prestasi, kreativitas, dan karya inovatif anak.

Sungguh mulia apa yang dilakukan Mohammad Zaini Alif dengan Komunitas Hong di Jalan Bukit Pakar Utara Nomor 35, Dago, Bandung; galeri di Jalan Merak Nomor 2, Bandung, serta sanggar Kampung Kolecer, Kampung Bolang, Desa Cibuluh, Tanjungsiang, Subang. Ia mencoba menghidupkan kembali kaulinan barudak.

Menurut Saleh Danasamita (1986:83, 107), permainan dan bermain merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan dari lingkungan anak-anak serta mempunyai kedudukan sangat penting di masyarakat Sunda. Pasalnya, segala kaulinan barudak terangkum dalam naskah Siksa Kandang Karesian.

...Hayang nyaho di pamaceuh ma: ceta maceuh, ceta nirus, tatapukan, babarongan, babakutrakan, ubang-ubangan, neureuy panca, munikeun le(m)bur, ngadu lesung, asup kana lantar, ngadu nini; singsawatek (ka) ulinan mah empul tanya" ("Bila ingin tahu permainan, seperti ceta maceuh, ceta nirus, tatapukan, babarongan, babakutrakan, ubangubangan, neureuy panca, munikeun le(m)bur, ngadu lesung, asup kana lantar, ngadu nini, segala macam permainan, tanyalah empul").

Kuatnya ikhtiar ngamumule kaulinan budak, Zaini merujuk pada naskah abad ke-15 Saweka Darma Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung yang menyebutkan tentang hempul. Hempul adalah orang yang mengetahui aturan memainkan, cara membuat, dan filosofi mainan atau permainan. Namun, kini hempul sudah punah. Tak ada lagi masyarakat adat di Jabar yang memiliki hempul.

Disadari atau tidak, naluri bermain merupakan salah satu unsur utama kebudayaan manusia homo ludens atau manusia yang bermain, seperti dikatakan Johan Huizinga (1872-1945), sejarawan dan filsuf Belanda.

Merangsang Kreativitas

Sejak berdiri tahun 2003, Komunitas Hong mengampanyekan pentingnya kaulinan budak. Kata hong berawal dari kata yang diteriakkan anak-anak Sunda saat bertemu teman. "Hong juga berarti pertemuan dengan Yang Maha Kuasa," ungkap Zaini.

Dalam pemahamannya, permainan rakyat memiliki kelebihan dibandingkan dengan permainan modern. Bila permainan modern hanya terbatas melatih saraf motorik, kreativitas, dan kecerdasan anak, kaulinan barudak merangsang kreativitas dan kecerdasan anak serta menjadi sarana pengenalan rasa si anak terhadap diri, alam, dan Tuhan.

Tengok saja permainan yang mengolah rasa, seperti jajangkung (egrang) untuk melatih keseimbangan dan keprak (batang bambu yang dibelah salah satu ujungnya menjadi lengkungan) yang biasa dimainkan untuk mengusir sepi.

Permainan congklak juga memiliki makna perjuangan yang dilakukan seorang manusia tiap hari. Tujuh lubang menandakan jumlah hari dan satu gunung menandakan lumbung. Jadi, setiap hari seseorang mengumpulkan satu batu hingga penuh. Setelah penuh, batu atau benda tersebut dipindahkan ke lumbung untuk ditabung atau dibagikan kepada yang membutuhkan.

Penggunaan lumbung ini tecermin pada kehidupan masyarakat Sunda yang masih menggunakan lumbung untuk menyimpan hasil bumi. Permainan engkle yang ada di berbagai daerah pun bermakna perjalanan hidup seseorang dari hari ke hari sampai menuju surga. Kotak-kotak menandakan hari yang harus dilalui manusia hingga mencapai sebuah lingkaran besar yang menandakan surga. Setelah sampai di surga, ia melemparkan batu ke belakang untuk memilih tempat miliknya yang tidak bisa ditempati orang lain.

Kiranya permainan Sunda itu sarat dengan nilai ketuhanan, seperti hompimpa. Kalimat hompimpa alaium gambreng itu bermakna dari Tuhan kembali ke Tuhan, mari kita bermain (Kompas, 21/5).

Mudah-mudahan Festival Kaulinan Barudak Baheula di Kota Baru Parahyangan (2008), Festival Kolecer Kampung Bolang di Subang (2008), Kaulinan Barudak di Pesta Rakyat Hari Jadi Bogor (2010), dan Ujungberung Festival Ke-6 Kota Bandung (2010) adalah bentuk ngamumule khazanah kesundaan yang tak bisa ditawar-tawar lagi.

Meluncurnya film dokumenter Hebatnya Indonesiaku berkat kerja sama penerbit buku Mizan, Nestle Dancow, dan Garin Nugroho pun diharapkan mewariskan kebudayaan Indonesia yang beragam, toleransi, dan kebanggaan nasional di kalangan anak-anak melalui "Dan Kau Pun Anak Indonesia".

Inilah makna terdalam Hari Anak Nasional dalam menciptakan generasi unggul sekaligus melestarikan komunitas kaulinan barudak. Terwujudnya pusat kaulinan barudak memadai menjadi cita-cita tertinggi masyarakat Sunda. Semoga.

IBN GHIFARIE Pengiat Studi Agama-agama dan Pemerhati Kebebasan Beragama
×
Berita Terbaru Update