-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Menebar Kebajikan, Meneguhkan Peradaban "Cinta Kasih"

Wednesday, May 26, 2021 | May 26, 2021 WIB Last Updated 2021-05-27T03:16:40Z



GHIFARIE-Umat Buddhis menyakini tibanya Hari Raya Tri Suci Waisak Puja (kelahiran, pencapaian penerangan sempurna, dan parinirwana; meninggal dunia) 2565 BE yang jatuh pada tanggal 26 Mei 2021 pukul 18.13:30 ini harus menjadi momentum yang tepat untuk menebar benih-benih kebajikan, meneguhkan peradaban cinta kasih (belas kasih, kasih sayang, welas asih) yang berbasiskan keimanan kokoh dan kemanusiaan yang mengacu pada Sidarta Sautama. 
 
Pasalnya, segala bentuk balas dendam, kejahatan, konflik, kekerasan dan peperangan itu bersumber pada kebencian. Gautama pernah mengingatkan kepada umatnya, tak pernah ada di dunia ini kebencian dihentikan oleh kebencian, tetapi kebencian hanya bisa sirna dengan cinta dan perjuangan menegakkan kasih sayang. 
 
Pesan Waisak 
Sejatinya kahadiran Waisak 2565 BE ini menjadi titik awal menebarkan sikap kebaikan dan berlomba-lomba untuk menciptakan perdamaian guna meraih kebahagiaan sutuhnya yang terpancar dari sosok Sang Agung Buddha ini.
 
Ikhtiar untuk meneguhkan peradaban cinta kasih ini, Jotidhammo Mahathera, Ketua Umum Sangha Theravada Indonesia  (Sanghanayaka) menegaskan cinta kasih adalah suatu kekuatan yang mengaitkan hati dengan hati untuk menyembuhkan dan menyatukan kita dalam kebersamaan yang sesungguhnya. Pikiran-pikiran cinta kasih yang sangat berkembang memiliki kekuatan magnetis yang dapat mempengaruhi dan menarik hati orang lain. 
 
Dengan cinta kasih kebahagiaan manusia bertambah, dunia menjadi lebih cerah, lebih mulia dan lebih suci, serta menciptakan kehidupan yang lebih baik. Cinta kasih merupakan pengharapan kesejahteraan dan kebahagiaan terhadap semua makhluk hidup, tanpa dibatasi oleh sekat apapun. Ia adalah sifat persaudaraan seorang teman yang penuh kebaikan. 
 
Dengan demikian, cinta kasih itu sebuah kekuatan mental yang aktif, setiap tindakan cinta kasih dilakukan dengan pikiran untuk membantu, menolong, menghibur, membuat orang lain lebih mudah hidupnya, dan lebih mampu untuk mengatasi kesedihan. (www.samaggi-phala.or.id) 
 
Menurut Bante Panyavaro Mahathera, tokoh Buddhist Indonesia, kebhinekaan tidak hanya dijaga dengan undang-undang dan toleransi belaka, namun perlu cinta kasih. Cinta kasih yang keluar dari hari nurani manusia, tidak hanya menghargai perbedaan tapi menerima dengan tulus perbedaan itu sendiri.
Buddh selalu memandang, apapun gejolak-gejolak yang muncul sebenarnya berasal dari mental manusia. Pada saat mental, pikiran, tidak bisa dikendalikan maka akan muncul sikap yang menimbulkan masalah sosial. (Kompas, Kamis, 11 Mei 2017 | 11:48 WIB)
 
Upaya menebarkan cinta kasih dan welas asih ini perlu kita renungkan dan peraktikan secara bersama-sama, seperti yang telah dicontohkan oleh Gautama. Bagi Sang Buddha usaha ini bukan hanya menghapus kebencian dari pikirannya, tetapi memastikan pikiran itu penuh dengan welas asih, menghendaki kesejahteraan bagi seluruh makhluk hidup. 
 
"Kebencian tak akan hilang dengan kebencian. Kebencian akan hilang dengan cinta kasih; Jika muncul suatu dendam terhadap siapa pun, maka orang seharusnya mengembangkan cinta kasih terhadapnya; Wahai para Bhikku, apa pun dasar yang ada untuk membuat agar perbuatan baik menghasilkan kelahirna yang akan datang. Semangat itu tidak akan menyemai satu perenambelas bagian dalam penyebaran pikiran cinta kasih. Penyebaran cinta kasih melampui semua itu dan bersinar cerah, terang benderang." (itivuttaka 27). 
 
Di seluruh penjuru tidak ada seorang pun yang dicintai melebihi kecintaan terhadap diri sendiri; orang lain pun sangat mencintai dirinya sendiri. Oleh karena itu, mereka yang mencintai dirinya tidak seharusnya menganiaya makhluk lain. (khuddaka nikaya) Gautama menyadari lima "larangan"; tradisional tentang keadaan yang tidak membantu (akusala), menyakiti, berdusta, meracuni dan seks harus diimbangi dengan yang positif. 
 
Alih- alih sekedar menghindari agresi. Ia selalu bersikap lembut dan baik kepada segala sesuatu dan setiap orang, menanamkan pikiran penuh cinta kasih dan kebaikan, tidak berbohong dan perlu untuk memastikan apa pun yang diucapkannya itu bernalar, akurat, jernih dan bermanfaat. 
 
Pada setiap tahap perjalanan dan yoginya jauh ke lubuk pikirannya yang secara sengaja membangkitkan emosi cinta--"perasaan yang meluas dan tidak terukur yang tidak mengenali kebencian";--mengarahkan ke empat penjuru dunia tanpa pengecualian satu pun tanaman, hewan, kawan, lawan dari radius simpati ini. (Karen Armstrong, 2013:338-380). 
 
Dengan demikian, pikiran damai, sikap mental yang tenang berakar pada pengungkapan perhatian, kasih sayang, rasa berterima kasih, puji sukur, sebab cinta, kasih sayang, welas asih dan tenggang rasa merupakan watak dasar yang dibutuhkan segenap makhluk hidup untuk membangun kehidupan beragama dan meneguhkan peradaban cinta ini. 
 
Kekuatan Cinta 
Dalam kontek Indonesia yang tidak jelas arah kebijakan pemerintah ini kiranya kita perlu belajar dari Aung San Suu Kyi dalam menjalani kehidupan sehari-hari di bidang politiknya, yang menjadikan cinta kebaikan sebagai asas tindakan politis. Peraih nobel perdamaian ini mengakui, rasa takut adalah kebiasaan yang dapat dilepaskan dari didinya, sesuah Ia memiliki pengalaman bertahun-tahun di luar negeri. 
 
Rasa takut berjalan seiring dengan metta, kebaikan yang benuh kasih. Karena dengan metta rasa saling percaya dapat tercipta, meskipun selalu timbul pertentangan yang mengakibatkan rasa tidak aman, selau dapat terjadi juga rekonsiliasi. Metta, kebaikan yang penuh kasih bukalah konsep sentimental yang membuat orang-orang mengabaikan perbedaan-perbedaan di bidang politik. 
 
Dalam filsafat Buddha, metta sejalan dengan kemurahan hati, kesempurnaan, kesabaran, meditasi, kebijaksanaan dan rekonseliasi di antara berbagai cara untuk mencapai pembebasan. Untuk itu, metta harus dijadikan asas aktif dalam menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan terwujudknya dialog terbuka dengan lawan-lawan politik dalam suasuan saling percaya dan menyenangkan. Baginya, menunjukkan kebaikan tidaklah cukup. Itulah sebabnya ia menekankan pentingnya orang bertanggung jawab dan bertindak. (Hagen Berndat, 2006:85-87) 
 
Mari kita berusaha membumikan sabda Sang Buddha "Orang yang berkebajikan terlihat dari jauh bagaikan gunung Himalaya, yang menjulang tinggi tetapi orang yang jahat, tak terlihat walaupun ia berada dekat dengan kita, bagaikan panah dilepaskan pada waktu malam"; dan “Tidak seberapa harumnya bunga tagara dan kayu cendana; tetapi harumnya mereka yang memiliki sila (kebajikan) menyebar sampai ke surga)” (Dhammapada ; 56). 
 
Bila kita menjalankan hidup penuh dengan cinta, kasih sayang, welas asih yang bersumber dari ajaran agama, niscaya tak ada lagi konflik, peperangan atas nama kepercayaan yang melukai hati nurani dan kemanusiaan ini. 
 
Inilah salah satu upaya meneguhkan peradaban cinta kasih dalam kontek Waisak. Caranya dimulai dari diri sendiri dan saat ini kita berusaha untuk menebar benih-benih kebajikan (cinta, kasih sayang, welas asih) supaya hidup ini damai, sejahteran dan bahagia. Selamat Hari Trisuci Waisak 2565/2021. Sabbe satta bhavantu sukhitata. Semua mahkluk berbahagia. Sadha, sadha, sadha. Semoga.

IBN GHIFARIE, Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.
 
×
Berita Terbaru Update