Surga Kearifan Lokal Itu Bernama Shahur
oleh Ibn Ghifarie
Probolinggo--Pondok Pesantren Zaenul Hasan Genggong, daerah genggong menggelar acara `Festival Musik Pengantar Sahur`selama bulan Ramadhan. Dengan menghadirkan para peserta dari daerah Gendongan dan atau sekiranya. Tantunya harus memakai pakian adat dan membawakan musik ala khas daerah.
Uniknya lagi, musik pengiring makan shahur itu, mesti berjalan mengelili daerah kurang lebih 10 km dan memakai iringan suara bedug, kohkol, hadrah, pentungan, sambil melantunkan puji-pujian, syair islami, lagu daerah sekalipun rok, dangdut dan keroncongan.
Dilain pihak saat media mewawancarainya, KH Mutawakil, selaku ketua Ponpes menjelaskan `Acara ini sudah menjadi khasan bagi kami selama 10 tahun. Terselenggarakanya kegiatan ini, tak lain guna mempererat ukhuwah islamiyyah antar sesama muslim, membantu siskamling dan yang terpenting dapat pahala. Pasalnya, mereka telah membangunkan orang-orang untuk bershahur, sebab dalam shahur itu terdapat barakah, paparnya. (An TV,05/10)
Tak hanya di Probolingo, di daerah Cipadung pun tak mau ketinggalan dalam membangunkan masyarakat. Bila menjelang pukul 02.00 wib dini hari atau sekira 02.30 wib, maka Arak-arakan para tua-muda, sekalipun anak mengelilingin gang-gang, masuk keluar jalan sambil menyuarakan lagu, dan diiringi irama pentongan serta bunyi-bunyian `Sahur, sahur, sahur. Sudah tentu, acara iring-iringan itu diadakan untuk memberikan pertanda bahwa waktu makan janari sudah dekat dan memelihara tradisi lokal.
Nyatanya, kedatangan bulan penuh barkah itu tak hanya dirasakan oleh orang-orang yang menjalankan ibadah shaum saja. Malahan bagi para pegiat dan pemerhati budaya lokalpun kehadiran puasa, terutama saat makan fajar merupakan `surga kearifan lokal`.
Thus, mari kita jaga sekaligus pelihara budaya-budaya daerah tersebut. Sebab kearifan lokal merupakan khazanah yang tak ternilai harganya bila kita ungkan. Haruskah segala bentuk lokalitas itu tergilas dengan kekezaman arus globalisasi dan ganasnya informasi? [Ibn Ghifarie]
Car Rampes, Pojok Sekre Kere, 05/10;12.45 wib
Uniknya lagi, musik pengiring makan shahur itu, mesti berjalan mengelili daerah kurang lebih 10 km dan memakai iringan suara bedug, kohkol, hadrah, pentungan, sambil melantunkan puji-pujian, syair islami, lagu daerah sekalipun rok, dangdut dan keroncongan.
Dilain pihak saat media mewawancarainya, KH Mutawakil, selaku ketua Ponpes menjelaskan `Acara ini sudah menjadi khasan bagi kami selama 10 tahun. Terselenggarakanya kegiatan ini, tak lain guna mempererat ukhuwah islamiyyah antar sesama muslim, membantu siskamling dan yang terpenting dapat pahala. Pasalnya, mereka telah membangunkan orang-orang untuk bershahur, sebab dalam shahur itu terdapat barakah, paparnya. (An TV,05/10)
Tak hanya di Probolingo, di daerah Cipadung pun tak mau ketinggalan dalam membangunkan masyarakat. Bila menjelang pukul 02.00 wib dini hari atau sekira 02.30 wib, maka Arak-arakan para tua-muda, sekalipun anak mengelilingin gang-gang, masuk keluar jalan sambil menyuarakan lagu, dan diiringi irama pentongan serta bunyi-bunyian `Sahur, sahur, sahur. Sudah tentu, acara iring-iringan itu diadakan untuk memberikan pertanda bahwa waktu makan janari sudah dekat dan memelihara tradisi lokal.
Nyatanya, kedatangan bulan penuh barkah itu tak hanya dirasakan oleh orang-orang yang menjalankan ibadah shaum saja. Malahan bagi para pegiat dan pemerhati budaya lokalpun kehadiran puasa, terutama saat makan fajar merupakan `surga kearifan lokal`.
Thus, mari kita jaga sekaligus pelihara budaya-budaya daerah tersebut. Sebab kearifan lokal merupakan khazanah yang tak ternilai harganya bila kita ungkan. Haruskah segala bentuk lokalitas itu tergilas dengan kekezaman arus globalisasi dan ganasnya informasi? [Ibn Ghifarie]
Car Rampes, Pojok Sekre Kere, 05/10;12.45 wib