-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Goresan (7)

Wednesday, August 30, 2006 | August 30, 2006 WIB Last Updated 2006-08-31T03:25:13Z
Membongkar Empu Dekonstruksi Menjadi Renyah
published on 5 Juni 2006 | Berita Mahasiswa

Himpunan Mahasiswa Aqidah Filsafat (HIMA AF) dan Himpunan Mahasiswa Tasawuf Psikotrafi (HIMA TaPsi) menggelar Diskusi dan Bedah Buku Deridda karya Muhammad Alfayyadl yang diterbitkan oleh LKiS Jogyakarta. Dengan tajuk “Dekontruksi, Realitas, Tubuh, Sejarah” di DPR (Di Bawah Pohon Rindang), senin (05/06). Hadir dalam acara tersebut tiga nara sumber; Muhammad Alfayyadl (penulis Muda Yogyakarta), Bambang Q Anees, M.Ag (Dosen Filsafat UIN BDG), Fahmi M.Hum (Dosen Filsafat UIN BDG) dengan moderator Ibnu Muhardi.

Wacana yang diangkat penulis bermula dari essai yang menguji kembali tentang kebenaran dalam kancah modernitas melalui bahasa. Pasalnya kita sering terjebak pada pengkotak-kotakan ilmu, truth claim, atau trend pada satu tokoh tertentu. Sambil mencontohkan pengaguman sebagian mahasiswa pada Karl Mark, sang maestro kiri atau Che Guevara, tokoh kiri dari Kuba, tanpa pernah mengkritisi pemikiranya, tegas Mahasiswa Teologi dan Filsafat UIN Sunan Kali Jaga itu.

“Kehadiran buku ini pun merupakan bentuk perlawanan terhadap pikiran-pikiran ruwet Deridda. Karena dianggap empu dekontruksi ini malah bikin tambah pusing orang lain dan mendobrak segala kemapanan lewat metode dekonstruksinya”, tambah Pria yang berkaca mata itu.

Menggapi kesukaran dalam membaca pemikiran Jeques Deridda ini, Fahmi menuturkan “membincang Deridda bagaikan memasuki belantara teks sekaligus sulap lautan teks”, katanya.

Namun, masih menurut Fahmi Deridda memberikan sock therapy dalam menggapi segala permasalahan, Apalagi yang berbau dualisme. “Artinya manusia berada dalam lautan ketidak sadaran, tuturnya.

Bagi BQ, sapaan akrab Bambang Q Anees, memasuki dunia Deridda kita mesti bermula dari keseriusan dan main-main. Tentunya, harus menggargai perbedaan-perbedaan kecil, sambil mengutarakan contoh dari akibat buang sampah sembarangan, ujarnya.

“Akibat mahasiswa tidak pernah mengkritisi pemerintah kota sampah tumpah ruah dimana-mana dan kita cenderung menerima makna, bahkan kita sering terjebak pada ke-benal-an kita yang menyerah pada kebenaran dan beranggapan satu hal hanya untuk satu makna”, kata Dosen Filsafat itu.

Lebih lanjut, Pria asal Banten itu, menambahkan buku ini luar biasa isinya. Terutama menyodorkan menu dekonstruksi yang menyeramkan itu menjadi renyah dan enak dibaca. Apalagi dalam pembahasan Agama tanpa agama, tapi saya tidak akan membahasnya pada kesempatan ini, tegasnya.

Senada dengan BQ, Gunawan Muhammad memberikan komentar dalam kata pengantarnya bahwa ini adalah sumbangan yang amat berharga dalam khazanah penulisan filsafat dalam bahasa kita, tulis mantan pemred Tempo itu.

Suasana bedah buku ini tidak terlalu mendapatkan perhatian lebih dari civitas akademik, kecuali mahasiswa AF dan pencinta Filsafat semata. Apalagi pembahasannya rumit dan belum akrab di telinga kita. Hal ini diungkapkan salah satu pedagang buku “Urang mah teu ngarti nanaon, emang ente nyaho saha ari Deridda teh? mendingan maca majalah Gontor edisi 80 tahun (saya tidak mengerti apa-apa, memang kamu tahu siapa Derida?, mendingan baca majalah Gontor edisi 80 tahun)", ungkapnya.

Paling tidak pentolan Post srtuktural itu memberikan kepada kita tentang cara pandang alternatif dan bergairah, dalam melihat, mengetahui dan memiliki perbedaan itu, sebab dari ketidakpastian (alternatif-red) selalu mendatangkan gairag-gairah baru, Ungkap BQ.

Terlepas dari perseteruan itu, yang jelas ditulisnya buku ini merupakan langkah awal supaya tidak terjebak pada serius kebenaran (truth claim) kata penulis. Secara tegas dalam tulisannya “Dekontruksi sebuah afirmasi akan yang lain. Ia meneguhkan pentingnya perbedaan di tengah dunia yang dibayang-bayangi hasrat akan kebenaran yang `utuh` dan tak `retak`". (Boelldzh.PusInfoKom, Foto ChandzaGufta)

×
Berita Terbaru Update