-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Nukilan (6)

Thursday, September 14, 2006 | September 14, 2006 WIB Last Updated 2006-09-14T22:26:46Z
Sifat Kesukuan Itu Bernama Organisasi.
oleh ibn Ghifarie

Memang benar, bila melihat persoalan motiv di balik kata-kata secara sepintas, seakan-akan tak ada hubungannya kemunculan ‘jargon’ dengan dalih litarafu (Al-Hujurat;13). Namun bila kita telisik lebih jauh dan arif, maka akan nampak terbuka tabir-tabir terselubung tersebut.

Nuansa politis di UIN lebih kental bila dibandingkan dengan PT (Perguruan Tinggi) lain. Meskipun tak ada Fakultas FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik). Sampai-sampai ada pameo di masyarakat Lamun hayang jago dina bag-bagan politik. Omat tong sakola ka Unpad (Universitas Padjadjaran) atawa UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), tapi ka IAIN wae.

Apalagi dengan adanya kegiatan Ta’aruf. Sudah tentu, sarat dengan kepentingan Organ Ektra (organisasi ektra kampus) sebagai ajang kaderisasi organisasi tertentu, mulai dari HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) sampai KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Kini, malah menjelma dalam bentuk baru bernama Partai Mahasiswa. Entah itu, PKM (Partai Kampus Merdeka), PIS (Partai Intelektual Society) dan Partai Nurani.

Kuatnya kultur pepeletekan, daripada keilmuan, maka melahirkan perubahan sekecil apapun selalu dimata-matai. Terlebih lagi, buat mahasiswa Fakultas Filsafat dan Theologi, yang dinilai sebagian mahasiswa urakan, bahkan selalu bikin onar. Walaupun, tak begitu akrab dengan nuansa politis.

Mengakarnya tradisi pergerakan, bahkan sudah sampai mendarah daging di lingkungan UIN membuat kaum pelajar lupa pada tugas mulianya. Yakni menuntut ilmu. Hingga suatu waktu, bila datang acara pemilihan Presma (Preside Mahasiswa) dan Wapresma (Wakil Presiden Mahasiswa) BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) UIN atau acara tahunan bernama Ta’aruf, sejenis Ospek (Orientasi Pengenalan Kampus di PT lain) setiap organ ekstra mereka berani mati dalam memperjungkan kelompoknya.

Perseteruan antar partai pun tak terelakan lagi. Bahkan menjadi jurus pamungkas. bila tak tercapai keinginannya sebagai pemimpin. Pendek kata, kepanatika yang berlebih-lebihan tanpa didasasi pemikiran jernih dan lapang dada akan menjadikan seseorang lupa diri atau malah membabi buta. Ujung-ujungnya mereka beranggapan bahwa golongannya yang paling baik. Sementara di luar kelompoknya tidak.

Mencermati perilaku berwatak 'barbar' tersebut, bukankah ini merupakan pergulatan antar suku berwajah modern. Pasalnya, tak ada ruang dialog dalam menyelesaikan apa saja. Berpikiran arif dalam menengarai permasalahan yang menimpa pula tak ada. Malahan mereka lebih membanggakan patronnya. Singkat kata, mereka lebih mementingkan adu tojos daripada adu otak.

Meskipun konteksnya berbeda. Bila meminjam istilah Ibnu Katsir. Namun, karena lain waktu, lain pula generasinya, maka perwujudan sifat kefanatikanya pun berkedok perhimpunan mahasiswa.

Konon, Q.S. Al-Hujurat;13 turun disaat manusia lupa pada dirinya, hingga menisbikan Tuhanya. Pasalnya, manusia tak lagi ramah dan menyapa perbedaan antar sesama manusia. Malahan, pada saat itu mereka lebih mengutamakan satu kafilah tertentu dari kalain lain. Sampai-sampai mereka berani mati dalam mempertahankan harkat dan martabat demi nama kelompoknya sendiri.

Kini, pemandangan serupa, seolah-olah tak tampak. Padahal, peperangan yang lebih memilukan, bahkan berkedok baru pun mulai tumbuh dan berkembang. Tengok saja, setiap hari kita selalu disuguhi berita mengerikan tauran antar pelajar. Konon, mereka kaum intelektual. Tapi pada, kenyataanya jauh tak manusiawi.

Dengan demikian, jelas perwujudan dari sifat keekslusifan klain itu bernama organisasi.

Adalah pemisahan kaum hawa dan adam merupakan simbol dari organisai tertentu yang terlalu membanggakan kelompoknya. Terlebih lagi, mereka yang tidak menerapkan aturan itu dikategorikan tak islami. Seolah-olah islam hanya milik golongannya sendiri.

Padahal, islam merupakan bentuk penyerahan diri, sifat taat dan tunduk, patuh terhadap aturan itulah yang dinamakan muslim. Lepas, apakah dia menganut ajaran Islam, Kristen, Yahudi, Budha, Hindu, Mazusi, Zoro Aster, bahkan sekalipun Sunda. Asalkan mereka berbuat baik, percaya kepada Tuhanya dan hari akhir (Al-Maidah). Untuk itu, berlomba-lombalah dalam kebajikan supaya mendapatkan kebahagiaan hakiki bernama takwa.

Selain itu, bila kita meminjam istilah K Bartesz, pemikir hermenetik Barat dalam mengurai slogan tersebut. Ia berujar ‘Jika teks hadir, maka matinya sang pengarang’. Terkecuali teks itu sendiri dan motiv si pembaca.

Begitupun dalam mengeluarkan pernyataan tersebut, Tak ada niatan untuk meniadakan Tuhan. Apalagi mengusik keyakinan orang (masyarakat luas) dan mencemarkan nama baik Tuhan, hingga menyeru untuk tak beragama.

Namun, karena semuanya tergantung para pembaca, maka wajar bila ayat litaarofu tak ada hubunganya dengan interaksi manusia. Entahlah, yang jelas beda latar belakang, maka beda pula penapsiranya. Meskipun sumber rujukanya sama yaitu Al-Qur’an. [Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 06/09;22.24 wib
×
Berita Terbaru Update