-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Guratan (4)

Wednesday, October 04, 2006 | October 04, 2006 WIB Last Updated 2006-10-04T08:33:33Z
G-30-SPKI; Mengeja Kecelakaan Sejarah

Oleh Ibn Ghifarie

Memasuki tanggal 30 september kita selalu dihadapkan pada satu peristiwa mengerikan, nanar, hingga nyaris hanyut dalam pangkuat sejarah ganjil. Betapa tidak, sebagian masyarakat menggugat tentang kebenaran PKI sebagai biang kerok kejadian tersebut.

Laksamana september kelabu. Kini, anggapan miring terhadap kaum komunis pun mulai perlahan-lahan dibantahnya. Seperti yang dilakuakn oleh Imam Soedjono dalam buku Yang Berlawan: Membongkar Tabir Pemalsuan Sejarah PKI, (2006;350) dan ditulis ulang oleh Syahrul Kirom dalam Media Indonesia (03/10)

Menurut Imam Soedjono, pemberontakan PKI 1926 harus dipahami sebagai bentuk perlawanan rakyat melawan kolonialisme. Sementara itu, peristiwa Madiun 1948 sebagai pemberontakan dalam mempertahankan diri dari serangan yang dilancarkan Red Drive Proposal (usulan pembantaian kaum merah) yang didanai Amerika Serikat (AS) untuk membendung kekuatan komunisme. Artinya bukan lagi pemberontakan antara PKI dengan pemerintah. Melainkan perseteruan rakyat jelata dengan penguasa modal.

Lagi, karena kuatnya pencitraan dan stereotip masyarakat terhadap PKI tetap buruk. Sejarah PKI yang sering disalahpahami di antaranya peristiwa pemberontakan PKI 1926, peristiwa Madiun 1948, dan peristiwa G-30-S serta pembantaian tokoh-tokoh Indonesia.

Tak salah kirannya, jika kemudian terjadi praktik rekayasa, manipulasi, imajinasi, penggelapan, pemalsuan, dan penghitaman peristiwa sejarah. Misalnya melalui buku-buku sejarah, pidato kenegaraan, film, khotbah, pemberitaan pers, khotbah agama, kemudian dijadikan suatu kebenaran.
Dengan demikian, upaya penghitaman sejarah komunis merupakan salah satu bentuk kecelakaan sejarah. Pasalnya, tak selamanya benturan sekaligus nyawa sebagai imbalanya dalam mempertahankan diri dari cengkaraman penguasa lalim.

Alih-alih menyelamatkan pancasila dari segala bentuk rong-rongan paham-paham tak berTuhan (ateis) dan melanggengkan kekuasaan Orde Baru (OrBa), Soeharto berusaha menutup-nutupi peristiwa sebenarnya, hingga dalam ranah keilmuan sejarah pun Ia berupaya menyeragamkan para sejarawan. Sudah tentu, bila mereka tak mau mengikuti selera Bapak Pembanguna, maka tunggu pembalsanya.

Pertanyaannya, bukankah ketika terjadi pemasungan secara besar-besaran terhadap ruang Intelektual. Hal ini merupakan kecelakaan sejarah? Ironis..[Ibn Ghifarie]

Cag Rampes,Pojok PusInfoKomp,03/10;08.34 wib.
×
Berita Terbaru Update