-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Suhuf (6)

Monday, June 18, 2007 | June 18, 2007 WIB Last Updated 2008-01-30T20:31:00Z
Meretas Gerakan Pemikiran Alternatif
Oleh Ibn Ghifarie

Maraknya aksi bentrokan antar kelompok di pelbagai daerah membuat sebagian masyarakat tertentu mencibir peranan kaum ulama. Betapa tidak, di tengah-tengah keterpurukan bangsa dan gencar-gencarnya pemberantasan teroris hal itu terjadi.
Kini, hampir setiap hari golongan intelek sekaligus pewaris nabi acapkali berbuat ganjil, mulai dari aksi rusuh, tawuran, kekerasan fisik dan psikis, sampai tradisi menghilangkan nyawa orang lain.

Slogan islam sebagai agama pembawa rahmat lil alamin pula hanya slogan semata. Pasalnya, perbedaan pendapat tak dipahami sebagai khazanah islam yang harus kita bina dan pelihara. Malah keragaman dianggap sebagai suatu keniscayaan dan tak boleh terjadi. Ironis memang.

Tak hanya itu, jargon islam yalu wala yula alaih, mustadhafien, mujtahid dan satu-satunya agama yang diridhoi oleh Allah ikut punah seiring derasnya arus baku hantam di kalangan kaum muslim. Seolah-olah melekatnya status cendekia tak berbanding lurus dengan kebiasaan tak terpuji saat siswa.

Adalah budaya tawuran, adu fisik dan saling kafir mengakafirkan dalam menyelesaikan segala persoalan yang sedang dihadapinya. Terlebih lagi saat MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengaluarkan 11 fatwa (2005). Walhasil, perang menjadi jurus pamungkas yang tak bisa ditawar-tawar lagi.

Bara Itu Bernama Fatwa MUI
Tengok saja, kekerasan yang terjadi di Malang, yakni Ponpes Ma’dinul Asro, yang dipimpin oleh H Yusman Roy (2005); di Bekasi, tepatnya di daerah Bantar Gebang, yang terdapat Mazlis Dzikir Ponpes al-Musyarofah yang dikepalai oleh Syaikh Maulana (2005). Lembaga ini dinilai mengajarkaan ajaran sesat, sebab salah satu ajarannya adalah menghalalkan perbuatan zinah. Apalagi perlakuan bejad ini dilakukan secara langsung oleh kepala Ponpes tersebut kepada jemaahnya; di Probolinggo pun terjadi hal yang serupa.

Namun, berbeda caranya. Yakni dengan mengeluarkaan buku habis gelap terbitlah terang. Konon, isi buku tersebut mengajarkan kepada kita untuk berbuat zina dengan siapa pun termasuk dengan ketua ponpesnya.

Yang unik lagi, saat menjamurnya sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) di daerah Indaramayu terdapat satu calon Bupati dan Wakil Bupati itu melakukan kampanye dengan membubuhkan potonya di sampul al-Qur’an (2005). Tentunya naif sekali.

Hal yang sama bentrokan sekaligus pengrusakan Universitas Mubarak di Parung Bogor, gara-gara dianggap menyebarkan paham Ahmadiyyah. Pasalnya, mereka tak mengakui rasulullah sebagai penutup nabi. Malah Mirza Gulam Ahmad sebagai utusanya.
Di penghujung tahun 2005 peristiwa serupa pun menimpa Kelompok Lia Eden. Karena mereka telah melecehkan sekaligus mencemarkan agama. Yakni dengan mengakui Lia Aminuddin sebagai Tuhan dan Rahmat, salah satu muridnya sebagai nabi terakhir.

Lebih tragis lagi ini tuduhan sesat pula dialamatkan kepada Alih ulama terkemuka di Bobojong, Bogor harus kehilangan nyawanya (26/10/06). Karena menyebarkan risalah yang dapat meresahkan masyarakat luas dan menafikan Tuhan. Badanya hancur berkeping-keping akibat diseret masyarakat sekitar 700 meter.

Lain halnya dengan kelompok kajian Toko Buku Ultimus di Bandung, mereka di gerebeg sekaligus dibubarkan secara paksa oleh FPI dan Fron Anti Komunis (FAK) (2006). Karena mereka menyebarluaskan paham Karl Mark, yang dinilai embahnya ateis.

Tak berhenti sampai disitu saja, malahan di awal tahun 2007 kejadian membabi buta pula terjadi pada kelompok Papaenas (Partai Persatuan Nasional) saat konvoi, mereka dilempari batu oleh Fron Pembela Islam dan anti komunias. Sebab mereka dianggap mendirikan partai anti Tuhan. Padahal indonesia negara beragama.

Keragaman Sebagai Kehendak Tuhan
Mencermati ketidakberdayaan sekaligus tumpulnya akal dalam menuntaskan segala persoalan dengan arif, bukan memakai kekerasan. Apalagi saat MUI mendefinisikan SPL (Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme). Ketiga isme itu bagi MUI adalah haram dengan definisi liberalisme adalah pemikiran Islam yang menggunakan pikiran manusia secara bebas, bukan pemikiran yang dilandaskan agama.

Sekularisme merupakan paham yang menganggap agama hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan. Sementara, hubungan antara manusia dengan manusia tak bisa diatur agama.

Pluralisme diharamkan karena menganut paham semua agama adalah sama dan bahwa agama bersifat relatif dan tidak ada yang boleh mengklaim agamanya adalah agama yang paling benar. Padahal seseorang beragama karena keyakinannya akan suatu kebenaran.

"Yang boleh adalah pluralitas bahwa kenyataan masyarakat memiliki agama yang berbeda-beda dan karenanya harus saling menghormati dan berdampingan dengan baik," katanya. (Kompas, 28 juli 2005)

Tentunya, kehadiran fatwa 11 itu seolah-olah melegalkan kelompok tertentu untuk berperang. Yang jelas Pluralisme agama yang hidup dan ada di Indonesia, termasuk di dalamnya keanekaragaman pemahaman atau aliran keagamaan yang ada didalam tubuh interen umat beragama adalah kenyataan historis yang tidak dapat dibantah oleh siapapun.

Dengan kata lain, pluralisme menegaskan bahwa kemajemukan, keragaman dan perbedaan merupakan satu kenyatan kemanusiaan. Atau satu-satunya fitrah kemanusiaan, tidak ada satu fakta kemanusiaan kecuali heteroginitas.

Dengan begitu, fenomena di atas kerapkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Yaitu sebuah realitas yang mengandung dua sisi yang berbeda, bagaikan mata uang.

Pertama, Sisi manusia serius dengan aktivitasnya, sehingga orang yang berada di sekiatarnya tak dihiraukan.

Kedua, Manusia yang “terlalu peduli”, sehinggan ingin tahu urusan orang lain. Dua sisi itu berakhir dengan “kebinasaan” dan “peniadan”, salah satu pihak karena tidak adanya “kesaling-mengertian” dan “kesaling-pemahaman” tentang karakter lain. Dari hal-hal yang kecil berubah menjadi yang besar. Bukankah kita menemukan pada diri kita sendiri yang tidak merasa senang dengan mereka yang berbeda? bukankah kita sering menggagap sesat kepada mereka yang berbeda paham dengan kita?.

Padahal Rasulullah sangat mengecam perbuatan itu, dengan mengeluarkan sabdanya” mencaci maki orang muslim itu kufur, sedangkan membunuhnya juga kafir” (H R Bukhari-Muslim).

Kalau begitu, apalah artinya petuah Rasulullah mengenai perbedaan sebagai Rahmat. Jelas hal ini belum membuahkan hasil yang memuaskan hati kita. Sebab kita masih berkeyakinan bahwa dengan keseragaman (monolitik) kita bisa mengentaskan segala permasalahan yang kita hadapi dengan dalih mudah dikendalikan dan teratur.

Maka di sini kita patut bertanya, konsep ataukah manusianya yang melenceng? Saya kira jawabanya ada pada yang terakhir. Jika ini benar, maka yang rusak adalah sistem pengetahuan dan konstruk-budaya yang melekat pada diri kita.

Yakni cara pandang dan paradigma yang kita miliki perlu ditinjau ulang lagi. Jika perlu didekontruksi sekaligus direkontruksi menuju kepada Rahmat tadi. Dan kita sebagai manusia harus berani mengakui, baik secara nalar (episteme)—yang melahirkan beragam tafsir, maupun sikap dan jalah hidup (way of the lyfe) itu berbeda-beda.

Oleh karena itu, kita harus berani bersikap bijak (wisdem) terhadap berbagai perbedaan di antara kita. Karena dengan itu, akan melahirkan masyarakat yang penuh Rahmat—kasih sayang dan perdamaian yaitu masyarakat madani (Sivil society). Sebagaimana Tuhan berfirman, …dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah menciptakan bumi dan langit serta berlain-lain bahasamu, dan warna kulitmua (QS Ar-Rum : 22); dan pada ayat lain, ….kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal dan menghormati satu sama lain (QS Al-Hujurat : 13); surat an-Naba 24-26; Katakanlah hai Muhammmad siapa yang membri rizki kepadamu dari langit dan dari bumi? Katakanlah Allah dan sesungguhnya kami atau kamu (non muslim) pasti berada dalam kebenaran atau kesesatan yang nyata, katakanlah kami (non muslim) tidak akan bertanggungjawab tentang dosa yang kami perbuat, dan kami tidak akan ditanya pula tentang apa yang kamu perbuat. Katakanlah tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian dia memberikan keputusan antara kita dengan benar dan dialah maha pemberi keputusan lagi maha mengetahui.

Bahkan nabi Muhammad sendiri pernah di tegur secara langsung oleh Tuhan melalui firmannya, ketika ia berkeinginan kelak, nanti umatnya itu menjadi satu golonganya. Artinya tidak ber-firkah-firhak hingga 73 golongan. Maka dengan jelas Tuhan berkata, seperti yang termaktub dalam kitabnya,; kalaulah Tuhan menghendaki, tentunya akan beriman semua orang yang ada dalam bumi secara keseluruhan, maka apakah engkau Muhammad akan memaksa manusia, sehingga mereka beriman semua (QS Yunnus: 99); atau dalam ungkapan lain sebermula sekalian umat manusia merupakan satu kaum dari Adam; kemudian mereka bercerai berai, jika tidak ada pernyatan Tuhanmu sebelumnya, niscaya di putuskan masalah-masalah mereka yang di perselisihkan. Tetapi manusia tidak berselisih pendapat mengenai kebenaran itu kecuali mereka yang telah menerima tanda-tanda yang jelas; dalam hal ini mereka melakukan dalam semata-mata.(QS Al-Baqarah : 213).

Sedangkan dalam tradisi yang lain seperti Kristen, kita kenal ungkapan Konsili Vatikan II; …. yang mengakui keselamatan juga terdapat dalam ajaran agama lain selain di lingkungan Katolik Roma.

Dari Monolitik Ke Pluralistik
Namun, lagi-lagi dalam kehidupan acapkali kita menemukan bahwa kearifan yang berdasarkan nilai-nilai Ilahiyyah dan Insaniyyah merupakan “kata-kata” yang lebih mudah di bicarakan dan sulit dijalankan. Sebab ia, adalah yang berdasarkan pada sikap bijak untuk menyikapi yang berbeda secara pemahaman dan cara pandang yang biasa kita anut—karena dalam masyarakat, individu satu dengan yang lainnya punya karakter, watak, sifat dan bentuk-bentuk budaya tertentu.

Berkenaan dengan hal ini, Henry Bergeson (Filusuf dari Prancis) membagi dua bentuk masyarakat. Pertama, masyarakat tertutup (fermes). Inilah masyarakat individu-individunya membentengi (ekslusif) dan membatasi dirinya dalam dinding-dinding asas, kepercayaan dan lembaga-lembaga yang diciptakannya.

Pada masyarakat ini, manusia terkungkung sekaligus statis; dan pada gilirannya tidak berkembang di karenakan kemandegannya.
Kedua, masyarakat terbuka (ouverte). Adapun masyarakat ini adalah kebalikan dari masyarakat yang tertutup. Yakni masyarakat yang tidak memiliki dinding-dinding yang membatasi sekaligus berani membuka diri dengan peradaban yang ada di masyarakat.

Pada masyarakat ini, keterbukan (inklusif), toleran dan sikaf kasih sayang antara sesama serta bijak dalam memahami orang lain merupakan kunci utamanya. Sebab mereka berada dalam landasan kesepakatan kontrak sosial yang mengacu pada nilai-nilai Insaniyyah dan norma kedamaian dan kesejahteraan bersama. Inilah yang pada masa Rasululah di sebut ummah. Dan berbentuk masayarakat Madinah Al-Wunamwwarah. Tentu pada masa itu, muncul nabi Muhammad SAW menjadi figur yang menyatukan perbedaan berbagai perbedaan yang ada di masyarakat Arab. Saat itu Rasalullah lewat Piagam Madinah yang di sepakati oleh berbagai suku dan agama, berhasil mewujudkan masyarakat yang betul-betul ideal di dunia ini.

Sebagai mana yang kita ketahui, ternyata dalam hadits-hadits, Rasulullah mewujudkan masyarakat itu berdasarkan pada nilai-nilai insaniyyah dan ilahiyyah. Kita tahu di dalamnya ada larangan dan aturan tertentu, sehingga hal-hal yang bersifat kesejahteraan dan kemanusian dalam masyarakat diprioritaskan.

Di sinilah sikap Pluralisme yang berdasarkan ukhuwwah Insaniyyah wa Ilahiyyah menjadi penting untuk di wujudkan dalam kehidupan kita. Apalagi masyarakat kita yang Multi-Budaya, Etis dan agama, tentu harus di realisasikan. Karena dengan itu, kita sebagai manusia tidak akan lagi tersesak dengan garis pemisah antara kita dengan “manusia” dan yang-lain sebagai bukan manusia—karena manusia sesunguhnya adalah “satu-makhluk” yang beranekaragam.

Dengan hadir dan maraknya aliran-aliran “baru”, bahkan dianggap “ganjil” oleh sebagian golongan termasuk MUI. Terutama di Malang, Probolinggo, Bekasi dan Indramayu, dll. Mudah-mudahan dapat memberikaan pemahaman yang baru dalam khazanah keilmuan Islam, yang pada akhirnya dapat membawa kita kepada derajat ketakwaan yang tebih tinggi. Itu pun akan terjadi mana kala kita mampu memahami dan mengakui perbedaan di antara kita. Baik dari segi agama, sekte/madzhab, Ormas, ras maupun etnis ini. Sehingga terbangunlah sisi persatuan dan kesatuan (kemanusiaan) yang tahun kemarin sempat awut-awutan, robek, hancur, bahkan sekaligus terkoyak.

Tak hanya itu, dengan memahami dan ikut andil dalam mewujudkaan pemahman pluralisme ini merupakan satu langkah awal menuju pintu kebajikan dan pembebasan dalam memahari keragaman yang ada pada manusia.

kendati demikian, pluralisme dalam kontek ke kinian pluralisme tidak hanya kesadaran atau pemahaman adanya heterogentas, tapi harus juga terlibat secara pro aktif dalam mengejawatahkan nilai-nilainya. Keharusan pro aktif inilah yang tidak disentuh, selama ini. Apalagi digumulai oleh orang-orang yang selama ini mengaku memehami pluralisme.

Jadi, bukan hanya mengakui tapi membiarkan orang lain yang bebeda dengan kita untuk berkretifitas dengan bebas.

Dengan demikian, pluralisme dalam pandangan Dr Alwi Shihab melalui buku Islam Inklusif (2001:41-42) harus dibedakan dari;
Petama, pluralisme tidak semata menunjuan pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pluralisme agama adalah bahwa tiap pemluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercipanya kerukunan, dalam kebinekaan.

Kedua, plualisme harus dibedakan dengan kosmpolitanisme. Kosmopolitanisme menunjukan kepada suatu realita di mana aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Ambil misal kota New York. Kota ini adlah cosmopolitan. Di kota ini terdapat agama Yahudi, Kristen, muslim, Hindu, Budha, bahkan orang-orang tanpa agama selakipun.

Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan elativisme. Seorang relativis akan berasumsi hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berfikir seseorang atau masyarakat.

Keempat, pluralisme agama bukanlah singkretis, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsure-unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut.

Hal yang tak kalah menarik pun di lontarkan oleh Nur Khalik Ridwan dalam buku Pluralime Borjuis; Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur) (2002:77) tentang Pluralisme.

Adalah sebuah paham yang menegaskan bahwa hanya ada satu fakta kemanusiaan, yakni keragaman, heterogenitas, dan kemajemukan itu sendiri.

Oleh kerena itu, ketika disebut pluralisme, maka penegasannya adalah diajukannya wacana, kelopmpok, individu, komunitas, sekte, dan segala macam bentuk perbedaan sebagai fakta yang harus diterima.

Di sinilah kita patut mengamini pernyataan Asep Gunawan, Direktur Eksekutif LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) menjelaskan Kehadiran JarIK (Jaringan Islam Kampus) diharapkan menjadi alternatif gerakan pemikiran atas persoalan keagamaan tersebut, katanya saat membuka Pelatihan Besic di LEC (Local Education Center) Cicalengka (25-27/05).

Momentum pelatihan ini harus dimanfaatkan sedemikian rupa. Sehingga cita-cita luhur itu dapat tercapai, jelasnya. Semoga [Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 28/05;23.35 wib
×
Berita Terbaru Update