-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kitab (7)

Thursday, November 27, 2008 | November 27, 2008 WIB Last Updated 2009-02-25T02:55:47Z
Dari Deklarasi Masyarakat Adat Ke Nuzulul Quran:
Membumikan Pesan Perdamaian dari Agama-agama
Oleh IBN GHIFARIE

Momentum dua tahun memperingati Deklarasi Hak Asasi Masyarakat Adat (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) yang jatuh pada 13 September 2008 ini dan bertepatan dengan hari ke-13 Ramadhan 1429 serta menyambut turunya Al-Quan (Nuzulul Quran) pada tanggal 17 puasa. Kendati Peringatan Hari Intrenasional Masyarakat Adat Se-Dunia dirayakan pada tanggal 09 Agustus 2008 lalu.

Sejatinya, Deklarasi Masyarakat Adat harus menjadi modal dasar evaluasi sekaligus semangat perdamaian bagi seluruh dialog antaragama dan pemerintahan yang memegang kebijakan dalam kebebasan beragama di Indonesia.

Warga Bumi Putra juga mesti dijadikan landasan (payung hukum) sebagai dokumen hidup, dasar pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat di Indonesia sekaligus memberikan kebebasan untuk menjalankan kepercayaanya sesuai dengan ajaran agama (lokal/asli) masing-masing.

Pasalnya, masyarakat adat merupakan 'kekayaan tak ternilai' bangsa Indonesia akan adat istiadat di Bumi Pertiwi ini.

Tak Ada Diskriminasi

Masyarakat Adat adalah Penduduk Asli; Kaum Minoritas; dan kaum tertindas atau termarginal karena identitas mereka yang berbeda dari indentitas yang dominan di suatu negara atau wilayah. (Sem Karoba: 2008)

Kehadiran, Deklarasi indigenous ini diharapkan dapat membawa angin segar untuk penduduk asli dalam menjalankan kepercayaanya. Bukan malah, mengkerangkeng masyarakat pinggiran.

Kiranya, perlakuan tak lazim yang menimpa kelompok masyarakat tertentu dalam prosesi administrasi pembuatan; KTP (Kartu Tanda Penduduk); Akta Kelahiran; Pernikahan guna mentaati peraturan pemerintah sebagai warga Negara yang baik tak ada lagi. Alih-alih 'identitas kedirian' yang tak jelas membuat mereka tak mendapatkan pelayanan yang membahagaikan layaknya warga Negara Indonesia. Ironis memang.

Padahal, penandatanganan tribal peoples telah menegaskan bahwa masyarakat adat berhak untuk menikmati secara penuh, kolektif maupun individual, keseluruhan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental sebagaimana diakui di dalam piagam perserikatan bangsa-bangsa, Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia dan hukum-hukum hak-hak asasi mansia internasional. (Pasal 1). Yang lebih penting lagi, pengakuan kesetaraan masyarakat adat dan terbebas dari diskriminasi (Pasal 2).

Pada pasal yang lain di Instrumen Internasional Pokok Hak- hak Asasi Manusia (2001:1104). “Negara harus melindungi eksistensi dan identitas bangsa atau etnis, budaya, agama dan bahasa dari kelompok minoritas yang ada didalam wilayah mereka masing- masing dan harus mendorong kondisi-kondisi untuk meningkatkan identitas tersebut”. (Pasal 1) dan “Negara harus mengambil tindakan- tindakan legislatif dan yang lain, yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. (Pasal 2)

Namun, apa yang terjadi keberadaan suku asli masih dipandang sebelah mata oleh golongan tertentu. Apalagi dalam urusan keyakinan. Ini terlihat dari hasil laporan alternatif pelaksanaan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial yang dikeluarkan oleh 25 NGo di Bogor 2007 menyebutkan, ada empat model diskriminasi terhadap masyarakat adat. Pertama, perampasan hak atas tanah. Kedua, Kebijakan Pembangunan. Ketiga, politik pencitraan dan Keempat, Diskriminasi akibat Regulasi Negara.

Melekatnya sebutan antipembangunan pada penduduk terbelakang, tak mau bergaul dengan masyarakat luar kelompoknya atau dianggap meresahkan penduduk lain karena alasan 'beribadah berbeda' yang memuja pohon, batu, cincin, kuburan para leluhurnya. Sungguh semakin memperburuk pencitraan (negative image) terhadap masyarakat pribumi.

Benarkan mereka tak peduli terhadap penduduk (alam) lainya. Mari kita tengok, salah satu ajaran 'Pancasila' Sunda Wiwitan ditengah-tengah iseu global worning, kering kerontang air bersih, tergerusnya tanah atau gundul hutan akibat ilegaloging yang mengakar dan rakusnya manusia. Siapa yang lebih dulu sekaligus peduli terhadap lingkungan sekitarnya?

Sejak, ribuan tahun silam mereka menjalankan syariat Wiwitan; Pertama, Menaman 5 pohon sebelum menembang 1 pohon. Kedua, Tidak bermukim di bagian hulu atau mata air. Ketiga, Tidak bermukim di bagian sungai. Keempat, Dilarang menebang pohon di lereng gunung atau daerah perbukitan. Kelima, Dilarang menebang pohon di hulu sungai. Mereka menyakini seluruh tanah merupakan pinjaman dari Hyang yang harus dikelola sebaik-baik dan seadil mungkin secara bersama-sama. Oleh karena itu, masyarakat Cigugur jarang merasakan kesulitan pangan yang berarti. Berbeda dengan kita yang telah jauh meninggal tradisi nenek moyang.

Perdamaian Inti Ajara Agama-Agama
Agama boleh berbeda-beda. Namun, pada dasarnya semua agama mengajarkan kebajikan, perdamaian dan persatuan. Tak ada satu doktrin setiap agama yang selalu menyerukan untuk berbuat jahat; saling hujat-menghujat, cami-memaki dan tega merusak jagat raya ini.

Anehnya, perbuatan dan budaya bajik terlahir [melekat] pada mereka yang kita anggap tak punya kebudayaan. Mengerikan memang.

Beriringan peringatan dua tahun Masyarakat Adat dengan ritual tahunan Puasa harus senapas dengan pesan mulia ramadhan. Adalah takwa yang mengutamakan kepedulain sosial daripada pribadi untuk membangun bangsa damai dan sejahtera ini.

Kita kenal, visi perdamaian dalam Ramadhan menuntut kita untuk menghindari sikap permusuhan, benci, dengki di antara sesama manusia atau antaragama. Islam sendiri secara otentik dimaknai sebagai agama perdamaian (selamat). Karena itulah, makna puasa terdalam di bulan penuh rahmat ini adalah menciptakan perdamaian sejati, bukannya memperbanyak perselisihan, pertikaian, perkelahian dan peperangan atas nama apapun. Perbedaan pendapat dan cara pandang menjadi hal yang biasa dalam mencari kebenaran. Termasuk menafsir peristiwa turunya Al-Quran (Nuzulul Quran) secara berangsur-angsur.

Berangkat dari suasan inilah, perdamaian yang sejatinya menjadi paradigma fundamental dalam pergaulan antarsesama umat manusia meski berbeda suku, bangsa, dan agama. Sebab, perdamaian merupakan cita-cita bersama umat manusia. Ikhtiar ini akan terwujud bila umat manusia memiliki kesadaran tentang toleransi dan adanya keadilan (kesetaraan) dalam kehidupan sosial.

Meski dalam praktiknya perdamaian di tempat-tempat tertentu sulit diwujudkan, baik yang disebabkan oleh faktor agama, budaya, ekonomi, maupun politik, upaya merajut toleransi tetap menjadi agenda serius dalam upaya mewujudkan perdamaian.

Ajaran puasa di bulan penuh ampunan, seperti ditulis Khamami Zada sambil mengutip ungkapan Ismail al-Faruqi, adalah latihan terbaik dalam seni mengendalikan diri (the art of self mastery). Artinya, latihan untuk mengendalikan diri ini harus tercermin dalam gerak berkelanjutan, bukan sekadar terjadi selama bulan Ramadhan. Doktrin puasa--menahan lapar, minum, berhubungan seksual, dan menahan sifat marah, benci dan dengki--adalah sebuah latihan untuk mengendalikan diri dari godaan untuk berbuat yang menimbulkan permusuhan. (Kompas 12 September 2007)

Dengan demikian, setiap kelompok [intra dan antaragama] mengajarkan perbuatan yang baik dan mencegah perlakuan keji.

Inilah pentingnya upaya menggali tradisi keagamaan dengan serius, demikian kata Almarhum Cak Nur. Artinya, Alquran, sunah dan kitab kuning memberikan fasilitas yang sangat berharga untuk menjembatani 'ketegangan' antara keislaman dan keindonesiaan. Ia sangat menyadari betapa pentingnya tradisi sebagai jembatan menuju kemodernan. Sebab tanpa tradisi hampir bisa dipastikan bahwa kemodernan tidak akan pernah ada di muka bumi ini.

Secara tegas, dalam kata pengantar buku Menggugat Tradisi, Ia menegaskan bahwa setiap umat mempunyai local wisdom dan local genius. Pendek kata, setiap umat harus bekerja keras untuk menegosiasikan antara kearifan lokal (cinta terhadap alam dan lingkungan) dan kearifan teks (kewajiban berpuasa dengan menunggu Nuzulul Quran). Setiap umat harus bersusah payah untuk menegosiasikan antara tradisi dan kemodernan, antara keislaman dan keindonesiaan.

Di sinilah, kita dituntut untuk selalu memaknai Ramadhan dalam konteks 'kekinian'. Yakni mengakui adanya kebenaran--kedamaian, ketulusan, kesucian, kebaikan dan saling menghargai beda pendapat dari kelompok lain. Sekalipun masyarakat adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Semoga.

*IBN GHIFARIE, Pengiat Studi Agama-agama dan Pemerhati Kebebasan Beragama
×
Berita Terbaru Update