-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kitab (8)

Tuesday, December 30, 2008 | December 30, 2008 WIB Last Updated 2009-02-25T02:55:59Z
Setiap Hari Adalah ‘Haji’
Oleh IBN GHIFARIE

”Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah. Aku datang memenuhi panggilan- Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat, dan segenap kekuasaan adalah milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu”

Rasanya tak berlebihan bila memasuki bulan Dzulhijjah dapat dipastikan pelapalan doa di atas akan selalu kita dengarkan. Apalagi bagi calon haji (Calhaj) yang mampu (istitho’ah) saat tiba di Miqotnya, lafal talbiyah itu akan terus dikumandangkang seraya mengagungkan Asma Allah SWT.

Namun, setiap kali ritual ibadah haji dijalankan, beberapa pertanyaan muncul; Apa sebenarnya pesan tersembunyi yang terkandung dalam ibadah haji itu? Haruskah pelaksanaan Ibadah Haji ini tetap digelar di Tanah Suci? Siapakah yang mendapatkan gelar Haji mabrur itu?
Secara etimologi, haji berarti menuju Ka’bah untuk melaksanakan ibadah (Zakariya al-Anshari, I, tt:134); juga bermakna al-qashdu yang berarti naik atau menuju. Seperti yang dikutif oleh Yusuf Burhanudin, Alumnus Universitas Al-Azhar Mesir menjelaskan ”Makna ini mengisyaratkan pelakunya siap meninggalkan sekaligus menanggalkan kesenangan duniawi yang individual (disimbolkan pengorbanan harta, waktu, keluarga, dan kampung halaman) menuju pengabdian sosial. Perpindahan fisikal dari Tanah Air menuju Tanah Suci tak lebih perpindahan artikulatif orientasi individual-material menuju misi sosial-spiritual terutama sepulangnya dari haji.” (Republika, 18/11)

Secara Syar’i, seperti yang termaktub dalam Al-Quran ” (Musim) haji adalah beberapa bulan yang sudah maklum (Syawal, Dzul Qa’dah dan Dzul Hijjah), maka barangsiapa yang memantapkan niatnya dalam bulan itu untuk mengerjakan haji, Maka tidak boleh berkata kotor, berbuat fasik dan berbantah-bantahan pada saat mengerjakan haji. dan apapun bentuk kebaikan yang kamu kerjakan, niscaya Allah mengetahuinya.(QS: 2: 197).”

Berangkat dari ayat di atas para ulama mendefinisikan haji sebagai suatu ibadah di mana waktu (al-hajju asyhurun ma’lumat), pelaksanaan ibadah (faman faradla fihinna al-hajj), zaman dan tempat (fala rafatsa wala fusuqa wala jidala fi al-hajj) telah ditentukan. (Rawai’ al-Bayan, juz. I, hlm. 185-189).

Dengan demikian, haji merupakan upaya meningkatkan derajat taqwa yang ditentukan waktu dan pelaksanaan Ibadahnya.

Kali pertama, ibadah rukun islam kelima ini dilakukan oleh Adam, bukan Ibrahim semata. Ibrahim beserta Ismail hanya meneguhkan sekaligus membiasakan peraktik Ibadah tersebut. Hal ini terlihat dari bangunan Kabah. Menurut sebagian riwayat Kabah telah ada sejak zaman Nabi Adam. Kala itu ka’bah masih berbentuk gundukan tanah. Allah memberikan bimbingan kepada Adam untuk memuliakan tempat itu sekaligus menyerukan untuk mengelilinginya. Kemudian Allah berfirman “Engkau adalah orang pertama yang melaksanakan ibadah haji” (Ramdhan al-Buthi, 1990: 77).

Dengan demikian, berhaji tidak hanya mengembalikan kesadaran relijius antara agama-agama Ibrahim, tetapi lebih luas lagi kepada tradisi kemanusiaan sepanjang sejarah. Melaksanakan haji berarti mengembalikan ingatan panjang tentang persaudaraan umat manusia secara universal yang telah dilupakan.

Membicarakan Haji erat kaitanya dengan kata Mabrur. Pasalnya, setiap Calhaj berkeinginan mendapatkan gelar Haji Mabrur pasca kembalinya ke Tanah Air. Menurut, Yusuf Burhanudin menerangkan ”Esensi makna mabrur yang mengisyaratkan diterimanya ibadah haji terbentuk dari kata al-birr, berarti pancaran kebaikan sosial. Firman-Nya: ''Kalian belum mencapai kebaikan (al-birr) hingga mampu mendermakan sebagian harta yang kalian cintai.'' (QS Ali Imran [3]: 92). Bahkan dalam riwayat, Rasulullah ditanya, ''Apa makna mabrur?'' Dijawab, ''Suka memberi makan (bantuan sosial) dan lemah lembut dalam bicara.'' (HR Ahmad).

Memang berat meraih kemabruran haji itu, seperti yang diceritakan oleh para Sufi. Alkisah, ada sepasang suami-isteri yang dikenal sangat taat beribadah dan mempunyai cukup bekal untuk berhaji. Karena kebiasaan dia menolong sesama, ketika bertemu dengan orang yang kelaparan, maka diberikanlah bekal yang seadanya tadi. Lalu pulang kembali ke kampungnya.

Walhasil, setibanya di rumah, mereka dikejutkan oleh orang yang berjubah putih-–menurut riwayatnya mereka itu malaikat--langsung menyalaminya. Dengan kaget mereka berkata, “kami tidak jadi hajinya”. Penyambut tadi berkata, “kalian sudah jadi haji mabrur, karena tadi telah menyantuni orang meski tidak berangkat ke tanah suci”.

Mencermati kisah Sufi ini, berarti mengajak kita sadar akan pesan suatu ibadah dan tak terjebak pada formalitasnya semata. Tentunya, dengan mengamalkan semua nilai-nilai luhur ibadah haji, yakni kemanusiaan universal, niscaya segala persoalan yang terus mendera Bumi Pertiwi ini dapat diselesaian.

Sejatinya, berbuat kebajikan terus kita tingkatkan dalam kehidupn sehari-hari. Sebab nabi Muhammd telah mewartakan pada umatnya ”Barang siapa yang hari ini lebih buruk dari kemarin, berarti Ia merugi. Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, berarti Ia celaka”

Kiranya, petuah Rasul ini harus dijadikan sandaran sekaligus dorongan untuk terus berupaya berbuat baik setiap hari. Inilah makna terdalam dari haji karena setiap hari adalah haji.

*IBN GHIFARIE, Mahasiswa Studi Agama-agama Fakultas Teologi dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung.
×
Berita Terbaru Update