-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kitab (14)

Sunday, April 12, 2009 | April 12, 2009 WIB Last Updated 2009-04-13T01:47:54Z
Wafat Yesus Kristus dan Semangat Pembebasan
Oleh IBN GHIFARIE


Menilik hasil laporan tahunan kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan tahun 2008 yang disampaikan Hendardi, Ketua Badan Pengurus Setara Institute kepada wartawan di Jakarta (13/1) menjelaskan Jawa Barat (73 peristiwa), menempati urutan teratas dari Sumatra Barat (56 peristiwa) dan Jakarta (45 peristiwa) bila dilihat dari wilayah terjadinya 367 tindak pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terjadi dalam 265 peristiwa.

Peristiwa terbanyak terjadi pada bulan Juni (103 peristiwa). Bulan Juni merupakan bulan desakan sekaligu persekuasi terhadap Ahmadiyah mengalami ekskalasi cukup tinggi, baik sebagai desakan terhadap pemerintah agar mengeluarkan Keputusan Presiden tentang Pembubaran Ahmadiyah maupun sebagai dampak serius dari adanya SKB Pembatasan Ahmadiyah.

Parahnya lagi, Ancaman demi ancaman terhadap keberagaman (pluralisme) Indonesia kian hadir seiring produk perundang-undangan yang diciptakan oleh lembaga konstitusi. Salah satunya adalah keputusan Mahkamah Konstitusi tentang parlementary treshold mengenai batasan kursi di DPR/MPR sebanyak 2,5% bakal mengancam minoritas di DPR/MPR.

Demikian disampaikan oleh Damianus Taufan dari Setara Institute, Ia menuturkan "Bahkan minoritas akan tenggelam, padahal belum tentu mayoritas yang mewakili pengambilan suara terbanyak itu menjadi hal yang benar," saat menjadi pembicara dalam diskusi publik Pentingnya Pluralisme Demi Menjaga Keutuhan NKRI di gedung Nusantara I, Jakarta, Selasa (17/3).

Ambil contoh, UU PMPS tahun 1965 pasal 1 dan 2. Pasal 1 tentang kebebasan kehidupan beragama tapi membatasi beberapa tindakan yang menyangkut perbedaan, dan pasal 2 tentang pengeluaran SKB tiga menteri (Agama, Sosial, Kesra) bila terjadi selisih paham antar pemeluk agama "UU PMPS itu bahkan masuk dan menjadi acuan dalam pasal 156 A KUHP," tegas Damianus, Sekjen Jaringan Aktivis Pro-Demokrasi Andrianto. (Kompas,17/3)

Mampukah kehadiran Wafatnya Isa Al-Masih yang jatuh pada tanggal 10 April 2009 dapat memberikan spirit keadilan, kemerdekaan sekaligus membebaskan ketertindasan manusia atas nama agama, keyakinan bagi kelompok minoritas.

Pesan Tri Suci

Momentum kematian Yesus Jeristus merupakan tonggak awal lahirnya peradaban Kristiani berbasis keimanan yang kukuh (penyayang, saling kasih, rela berkorban, mendidik). Penyaliban Mesias pun menjadi petanda peradaban Juru Selamat untuk menegakkan keadilan, kemerdekaan sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.

Singkatnya, pengorbanan Yesus ditiang salib yang dihianati oleh umatnya (Yudas) harus menjadi tonggak keteladanan yang mesti diserap dalam kesadaran (kehidupan) umat Kristiani sekaligus umat beragama ditengah silih menyusulnya bencana alam (Situ Gintung), kesemrawutan (Undang-undang dan Keputusan Surat Bersama 3 Mentri), ketidak pastian hidup (krisis ekonomi, sosial, politik) yang kian tak menentu.

Prosesi Jumat Agung ini tak bisa dilepaskan dari tradisi Kamis Putih, Jumat Agung dan Malam Paskah. Rasanya, tak berlebihan bila kita absent melewatinya kebiasaan itu, maka dapat dikategorikan kurang tulus dalam menjalankan ajaran Yesus ini.

Pasalnya, ketiga aktivitas itu berturutan-berkaitan; menyatu-tak terpisahkan. Bersama-sama, ketiganya membawa pesan suci mengenai iktiar penebusan dosa, pembaruan hidup, pengharapan, semangat bertahan di tengah-tengah kegalauan kehidupan beragama ini.

Jika kita kuata memegang amanat Tri Suci itu niscaya tak akan ada lagi upaya 'penertibak keagamaan dan keyakinan' oleh aliran tertentu terhadap kelompok yang berbeda. Deretan 73 Kasus pelanggaran kekerasan, pencemoohan, pencacian, hingga berujung pada kematian pun tak akan ada lagi di Bumi Pasundan ini.

Semangat Pembebasan

Menurut Zuly Qodir Peneliti di Institute for Inter-Faith Dialogue in Indonesia (Interfidei) Yogyakarta menuliskan keimanan yang konsekuen adalah "keimanan yang mampu berdialog" dengan realitas sosial yang mengelilingi sekitarnya. Di sanalah sebenarnya spiritualitas Wafatnya Isa Al-Masih mendapatkan tempatnya.

Dengan demikian, kesalehan, ketundukan dan ketaatan menjadi modal utama dalam beragama supaya bisa membebaskan kelompok tertindas

Sekali lagi, pengorbanan Sang Juru Selamat disalib harus dimaknai salah satu ajaran agama yang bersifat membebaskan manusia dari sikap kepicikan, curang, angkuh, tak mau nerima pendapat orang dan argumennya mesti diikuti. Mengerikan.

Supaya Kematian Yesus ini menumbuh kembangkan semangat berkurban dan berjiwa pembebasan dalam membangun tatanan masyarakat berkeadilan, dinamis, sejahtera, elegan, dan toleran, maka dialog antaragama tak hanya dilakukan oleh segelintir pemuka agama (elitis), tapi harus menyentuh ke akar rumput (grass root).

Demikian diungkapkan oleh Pdt. Dr. A.Andreas Ewangoe Ketua Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia dalam Seminar Nasional Dan Temu Tokoh Lintas Agama di Auditorium UIN SGD Bandung bertajuk “Penguatan Terhadap Signifikansi Agama : Menjawab Krisis Global Menyongsong Tatanan Dunia Baru”, Rabu (18/3)

“Apa yang harus kita cari adalah kesamaan agar tumbuh kebersamaan. Para penganut agama sangat mungkin bekerjasama memerangi kemiskinan secara lintas agama,” katanya.

Semangat pembebasan yang diperjuangkan Yesus merupakan konsekuensi dari kesetiaan-Nya secara mutlak terhadap kehendak Allah dan kasih-Nya yang sempurna terhadap umat manusia. Ketaatan dan kesetiaan merengkuh pilihan untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan berujung pada penolakan dan hukuman salib yang harus dipikulnya.

Inilah makna terdalam Wafatnya Isa Al-Masih bagi kelompok tertindas dalam membangun persaudaraan sejati. Kiranya, kita terus mendengungkan renungan Leonardo Boff, teolog, filusuf sekaligus pendiri Teologi Pembebasan Gereja Katolik mencatan sejarah mengagungkan keberanian orang-orang yang menanggung kematian sekaligus penderitaan orang-orang yang rendah, dan mereka yang melakukan revolusi yang membebaskan hak-hak kaum miskin dan mereka yang tersisihkan.

Akhirnya, harapan Jaringan Kerja Pemantauan dan Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Jawa Barat dan Komisi III DPR pada 15 Desember 2008 berjanji untuk berkomitmen atas penegakan hukum yang merugikan minoritas pun segera mewujud di Jabar mandiri, dinamis dan sejahtera. Semoga.

*IBN GHIFARIE, Pegiat Studi Agama-agama dan Pemerhati Kebebasan Beragama
×
Berita Terbaru Update