-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kitab (17)

Sunday, May 17, 2009 | May 17, 2009 WIB Last Updated 2009-05-30T05:42:41Z
Waisak dan "Ngamumule" Kearifan Lokal
Oleh IBN GHIFARIE

Artikel ini dimuat di Forum Kompas Jawa barat, 11 Mei 2009

Kerusakan lingkungan di Tatar Sunda merupakan cermin hilangnya kearifan lokal. Masyarakat tidak lagi peka dengan tanda-tanda alam dan cenderung mencari keuntungan materi semata.

Uniknya lagi, saat menjawab pertanyaan, "Mengapa Jawa Barat tidak maju dalam bidang apa pun?", Badan Perencanaan Daerah Jabar memberikan penjelasan, "Kondisi itu merupakan akibat dari masyarakat yang sudah tidak memerhatikan nilai-nilai budaya yang menjunjung tinggi etika dan keselarasan hidup dengan alam" dalam Kerangka Acuan Sarasehan Budaya (25/8).

Hadirnya perayaan Trisuci Waisak 2553 BE/2009 yang jatuh pada 9 Mei 2009 akankah bisa mengembalikan spirit keadilan, kemerdekaan sekaligus membuka ruang untuk saling melengkapi antara Dharma Sang Buddha dan tradisi leluhur yang ada dalam khazanah kearifan lokal.

Saatnya bangkit
Kala rembulan bulat sempurna pada bulan Waisak, dunia mengenang kembali tiga peristiwa bersejarah menyangkut kehidupan Buddha Gautama, yakni kelahiran, pencapaian Penerangan Sempurna, dan parinirwana (meninggal dunia).

Kata Buddha sendiri mengandung pengertian bangun, bangkit, atau sadar, seperti ditulis oleh Mahathera Nyanasuryanadi, Ketua Umum Sangha Agung Indonesia, Pembina Majelis Buddhayana Indonesia, yaitu "Buddha bukan nama diri, melainkan gelar untuk orang yang telah mencapai pencerahan. Ketika merayakan Waisak, lebih dari sekadar peringatan historis, kita selalu memperbarui semangat untuk bangkit, tidak lengah, tidak terlena."

Merenungkan Buddha berarti sadar, mengerti, dan peduli pada apa yang terjadi di dalam dan di luar diri kita. Seperti yang ditunjukkan oleh Pangeran Siddharta, yang dibesarkan di tengah kemewahan, ia menyadari bahwa semua makhluk, termasuk dirinya, merupakan sasaran dari penderitaan. Saat melihat dan memikirkan kesedihan orang lain, dukacita mereka menjadi miliknya. Ia menaruh peduli, karena itu bangkit untuk mencari jalan mengatasinya (Kompas, 19/05/2008).

Bila kita kuat memegang amanat Buddha, niscaya tak akan ada lagi dalih pembangunan (modern) dan keterbelakangan penduduk (tradisional) oleh pemerintah (pusat, provinsi, dan daerah), kelompok penguasa dan pemangku kebijakan tertentu, dan orang bermodal terhadap golongan (masyarakat adat) yang kuat memegang teguh tradisi leluhurnya. Seolah-olah mereka tak tersentuh pembangunan dan harus dimodernkan. Inilah wajah muram pemerintah dalam menghargai pelbagai khazanah kearifan lokal.

Kearifan lokal
Kerusakan alam, lingkungan, melemahnya budaya Sunda (sikap, perilaku), dan kurangnya perhatian kepada ajaran karuhun (nenek moyang) menjadi pemandangan keseharian kita. Padahal, sebelum agama Hindu, Buddha, Islam, Katolik, Protestan, dan Konghucu hadir di Tatar Pasundan ini, kearifan lokal sekaligus agama pribuminya (indigenous religions) telah terpatri dalam sanubari masyarakat Parahyangan sebagai pedoman kehidupan bersama.

Diakui atau tidak, Ahmad Gibson Al-Busthomie, pegiat studi budaya Sunda, menjelaskan, "Ketika budaya Sunda berinteraksi dengan kebudayaan dan sistem keyakinan (agama) lain dari luar: Hindu, Buddha, dan Islam, budaya Sunda mengambil peran dinamis dalam proses pertemuan sistem nilai tersebut. Secara khusus dalam proses pertemuannya dengan Hindu dan Buddha."

Dengan tegas harus kita katakan, penganut satu kepercayaan bukanlah para misionaris. Mereka cukup puas dan merasa aman hidup serta berteologi dengan menggunakan caranya sendiri.

Dalam konteks Jabar, umat Buddha aliran Theravada selalu sembahyang dan menjalankan ajaran Dhamma di Vipassana Graha yang berada di bawah Yayasan Bandung Sucino Indonesaia. Yayasan ini sebagai Pusat Meditasi Buddhis yang berlokasi di Jalan Kolonel Masturi Nomor 69, Lembang, Kabupaten Bandung.

Sejak dibangun pada tahun 1992, kompleks Vipassana Graha merupakan kawasan terpadu bagi umat Buddha. Di tempat ini, terdapat berbagai macam bangunan, dari tempat ibadah, sekolah tinggi, hingga rumah para biksu.

Candi Panca Bala sebagai bangunan utama dari Vipassana Graha ini memiliki lima puncak candi yang mengartikan nama Panca Bala itu sendiri. "Panca berarti lima, dan bala itu kekuatan," ujar seorang rohaniwan Vipassana Graha Bhante Thitasddo, saat ditemui detikbandung.

Lima kekuatan tersebut antara lain Saddha yang berarti keyakinan; Viriya yang berarti semangat; Sati yang berarti kesadaran; Samadhi yang berarti konsentrasi; dan Panna yang berarti kebijaksanaan.

Keharmonisan Buddha dengan khazanah kearifan lokal di Vipassana Graha ini terlihat jelas waktu membuka secara resmi dan memberikan kuliah perdana di Kampus B, Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Dharma Widya, Program Kepanditaan dan Jurusan Guru, Sabtu (8/11/2008).

YM Phra Wongsin Labhiko Mahathera, Ketua Sangha sekaligus Pembina STAB Dharma Widya, lebih mengutarakan visi dan misi Dharma Widya, yakni berprestasi dalam pendidikan, pengajaran, dan pengetahuan. Di samping itu, juga harus berbudi pekerti luhur, mandiri, dan berguna bagi masyarakat lokal.

Salah satu bentuk membudayakan kearifan lokal, acara peresmian ini dipadu oleh Angklung Gita Pundarika NSI, penyanyi solo Maitreya, dan kesenian dari grup seni Jabar Tan Deseng (http://www.walubi.or.id).

Dengan demikian, Waisak harus menjadi momentum kebangkitan khazanah kearifan lokal. Bukan malah sebaliknya kita sengaja menabur ayat-ayat penuh kebencian dan fitnah pada tradisi leluhur.

Petuah Buddha Gautama di khotbah terakhir di hutan Sala milik suku Malla, di antara pohon sala besar di dekat Kusinara, menyebut Pasal 4, yaitu "Praktikkan ajaranku. Ajaranku yang terpenting adalah; Anda harus bisa menaklukkan diri sendiri. Jauhkan keserakahan dan nafsu keinginan. Berjalan di tempat yang benar menjalankan hidup suci dengan kejujuran dan kebenaran. Selalu mengingat; kehidupan dan tubuh ini sangat singkat dan sementara. Bilamana dapat merenungkan sedemikian rupa, Anda akan bisa menjauhkan keserakahan dan nafsu keinginan, dendam, dan amarah. Anda bisa menjauhkan kejahatan."

Inilah makna terdalam Waisak bagi ngamumule kearifan lokal. Terwujudnya kedamaian, kerukunan, dan bersahabat dengan alam merupakan cita-cita masyarakat Jabar yang beradab. Selamat Hari Raya Waisak 2553 BE/2009. Sabbe satta bhavantu sukhitata. Semua makhluk berbahagia.Sadha, sadha, sadha. Semoga.

IBN GHIFARIE, Pegiat Studi Agama-agama dan Pemerhati Kebebasan Beragama


×
Berita Terbaru Update