-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kitab (19)

Tuesday, November 20, 2012 | November 20, 2012 WIB Last Updated 2012-11-20T09:40:10Z
Momentum Saling Memaafkan
Oleh IBN GHIFARIE
Artikel ini pernah dimuat pada Podium Tribun Jabar edisi 15 Oktober 2012

Harus diakui, peringatan sepuluh tahun atas tragedi bom bali I (12 Oktober 2002) yang terjadi di Paddy Club dan Sari Club dengan merenggut nyawa 202 orang harus menjadi momentum awal untuk mengutuk sekaligus membumihanguskan aksi terorisme dan bunuh diri di bumi pertiwi ini supaya terciptanya kedamaian, kesejahteraan, penegakan hukum yang tak pandang bulu.

Pasalnya, tindakan tak terpuji ini bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan agama (kepercayaan) apa pun yang menjunjung tinggi saling menghormati berpedaan, penafsiran, menabarkan kasih sayang, cinta kasih dan perdamaian.


Saling Memaafkan
Upaya mewujudkan cita-cita ini dapat dilakukan dengan cara memaafkan terhadap para pelaku pengeboman. Cara ini yang diayakini oleh Gubernur Made Mangku Pastika dalam memupus terorisme. "Memang tidak mudah untuk melupakan tragedi yang begitu besar yang telah menelan korban jiwa dalam jumlah yang banyak, tetapi kini saatnya kita saling memaafkan. Mudah-mudahan kita semua bersedia dengan tulus ikhlas memaafkan," katanya.

Langkah memaafkan, dengan mengedepankan kedamaian dan toleransi sehingga ke depan dapat menatap masa depan dengan lebih baik.

Ihwal terorisme tidak bisa diatasi dengan hanya menangkap pelaku. Terorisme menyangkut ideologi dan mereka bisa muncul karena merasa termarginalkan, diskriminasi, ketidakadilan, dan ajaran yang sesat."Siapa yang menjamin di penjara tidak mempengaruhi penghuni yang lainnya atau dia ketika keluar menjadi lebih hebat lagi. Ini harus ada langkah menyeluruh, sampai kapan pun ditangkap tidak akan habis-habis, itu yang harus disadari," katanya.

Mengingat terorisme merupakan kejahatan trans nasional, tidak mengenal batas daerah dan mereka bisa bergerak kemana saja di seluruh dunia, dan bukan hanya di Indonesia. (Antara Bali, 10/10)

Ingat, maraknya gerakan fundamentalisme, radikalisme, terorisme, aksi bom bunuh diri di Indonesia merupakan petanda ketidakberdayaan, ketidaksiapan, kecemasan pribadi maupun kelompok dalam menghadapi segala persoalan keindonesiaan, kebangsaan dan keislaman yang tak kunjung selesai.

Bagi Ahmad Syafii Maarif mengurai secara gamlang ihwal penyebab utama kemunculan radialisme, terorisme, bom bunuh diri diakibatkan rasa frutrasi, marah dan putus asa menghadapi realitas yang dinilai semakin kejam dan tak teratasi. Apalagi filosofi yang digunakan adalah kebencian dan fanatisme dan konsep teologi yang sangat kacau, sebab tidak ada alasan rasional sama sekali untuk membenarkan perbuatan lalim ini. (M Haniff Hassan, 2006:XV-XXII)

Aksi tetorisme yang melibatkan sekelompok (kalangan muda) amat kecil muslim harus dibaca dari kacamata ketidakberdayaan atau keputusasaan dalam menghadapi realitas dan kekinian yang mereka rasakan sangat kelam dan menghimpit. (Ahmad Syafii Maarif, 2005:56)

Teologi Perdamaian
Mencermati aksi ideologi terorisme (kebencian, kejahatan, kekerasan) yang menelan banyak tragedi kemanusiaan yang telah mengakar dibelahan dunia manapun, termasuk Indonesia dengan semarak aksi teroris mengusik Milad Hanna, seorang intelektual Kristen Koptik dan pejuang toleransi Mesir untuk merancang sebuah dunia baru tanpa kebencian.

Hanna menilai, perkembangan dunia sekarang ini lebih didominasi oleh konsep-konsep dan tesis yang berisi semangat mengumbar kebencian kepada yang lain (karahiyatul akhar). Di antara konsep dan tesis itu; "konflik kelas" Karl Marx dan tesis "Clash of Civilization" Samuel P. Huntington (1996). Baginya, teori-teori itu dianggap berperan besar dalam menciptakan semangat kebencian. Pasalnya, baik konsep Marx dan perkembangannya maupun Huntington yang menjadi prediksi futuristik justru telah mendorong terjadinya tatanan dunia yang penuh konflik. Kedua teori itu melecutkan sentimen kolektif manusia agar saling memusuhi satu sama lain.

Melihat kenyataan ini, maka Hanna segera mengajukan sebuah konsep pembanding yang ingin menempatkan kedamaian dan penerimaan bagi "yang lain" di atas segalanya. Tawaran konsep ini disebutnya sebagai qabulul akhar. Dalam konsep ini, Hanna menyerukan untuk menjunjung pluralisme dan menerima keberbedaan atas yang lain. Tawaran konsep ini ditulis Hanna dalam sebuah buku berjudul Qabulul Akhar: Min Ajli Tawashuli Hiwaril Hadlarat (Mesir: al-I'lamiyyah Lin Nasy, 2002) yang edisi Indonesianya "Menyongsong yang lain,  Membela Pluralisme". (Majalah Syir'ah, edisi Juni 2006)

Dengan demikian, tindakan kekerasan (aksi terorisme, bom bunuh diri) bukan menjadi jalan terbaik dalam menyelesaikan segala persoalan. Jika kita tetap melakukan tindakan tak terpuji, maka perlu kita menjunjung tinggi etika yang disarankan Majelis Riset Islam di Universitas Al-Azhar, yang oleh banyak dianggap sebagai otoritas moral tertinggi dalam Islam membuat pernyataan yang tegas, otoritatif, melawan prakarsa-prakarsa Bin Laden; "Islam memeberikan aturan-aturan dan norma-norma etika yang  jelas, melarang pembunuhan terhadap warga sipil, baik itu perempuan, anak-anak, orang tua, melarang mengajar musuh yang kalah, membunuh musuh yang menyerang, melakukan tindakan kekerasan terhadap tahanan dan merusak harta benda yang digunakan dalam perang.”

Kearifan Lokal
Meskipun dalam kontek Bali tindakan aksi kekerasan ini harus dibaca melalui kearifan lokalnya. Akibat aksi teroris yang membunuh ratusan manusia dan yang membantu para korban datang dari relawan bimbingan Pak Haji Bambang, yang tak rela Islam dicemari oleh pelaku bom. Persaudaraan baru dibangun di dalam pembagian ratap tangis, saling bahu-membahu mencari keluarga yang hilang (luka).

Sungguh ajaran Tatwam Asi, yang menyatakan ”Kau adalah Aku” dapat menjawab bom bunuh diri. Memang, faktor ”kultural” adalah yang apriori paling menarik diangkat sebagai penjelasan atas reaksi lunak masyarakat Bali. Bila masyarakat itu menolak wacana kebencian, tiada lain karena perangkat pemikiran tradisionalnya menyediakan sarana tafsirnya.

Perlu diketahui, bom Kuta jangan dibaca oleh kebanyakan orang Bali dengan teropong identitas modern, sebagai serangan terhadap Bali, tetapi melalui kerangka pemikiran kosmis agama Hindu-Bali, sebagai pertanda gonjang-ganjing semesta. Iini diperkuat oleh kejutan peristiwa itu, yang hadir secara mendadak di tengah suasana sosio-ekonomis yang relatif nyaman, di mana sumber kegelisahan lebih bersifat ”moral” daripada ”sosial”. Maka, bom ”dibalas” bukan dengan wacana kebencian, melainkan dengan cara yang paling indah ala “Bali”, yaitu melalui ritual yang membersihkan dunia dari angkara dan keletehan (kotor).

Ritual agung itu, Pemarisudha Karipubhaya, yang diselenggarakan pada 13, 14, dan 15 November 2002. Kala mantra-mantra pembersihan yang dilantunkan oleh para pendeta diiringi kelintingan genta magisnya serta-merta menghilangkan kegelapan yang telah meliputi pulau yang ingin tetap disebut sebagai Pulau Dewata. Bali menjadi hening dan damai. (Kompas, 7/10)

Dengan menggali dan mengedepankan makna kearifan lokal diharapkan mampu memutus mata rantai kekerasan, aksi terorisme dan bom bunuh diri untuk mendorong perdamaian dan toleransi antara sesama (pemeluk) anak bangsa ini.

Kiranya, petuah Siddhartha Gautama tentang usaha menghentikan kebencian hanya bisa dihentikan dengan cinta, perjuangan menegakkan kasih sayang dan menebar perdamaian. "Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa membenci di antara orang-orang yang membenci, di antara orang-orang yang membenci kita hidup tanpa membenci."(Dhammapada, Sukha Vagga no. 1)

Apa pun alasan dan motifnya tindakan teroris, aksi bunuh diri merupakan tindakan yang paling merugikan kemanusiaan dan tidak dibenarkan dalam ajaran agama mana pun. Mudah-mudahan dengan adanya peringatan 10 tahun tragedi bom Bali I tidak hanya penting untuk diperingati dan direfleksikan secara bersama-sama, tetapi harus bisa dijadikan memontum untuk saling memafkan, sehingga terciptanya masyarakat Nusantara (Islam) tidak lagi mengajarkan perilaku bengis, anarkis, teroris, tapi hidup rukun, damai, toleran, menjunjung tinggi setiap perbedaan, dan tidak main hakim sendiri dalam menyelesaikan persoalan. Semoga.

IBN GHIFARIE, Alumni Program Religious Studies Pascasarjana UIN SGD Bandung dan peneliti Academia for Religion and Social Studies (ARaSS) Bandung.
×
Berita Terbaru Update