-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kitab (20)

Friday, January 24, 2014 | January 24, 2014 WIB Last Updated 2014-01-24T21:55:27Z
Imlek dan Ngamulyakeun Cai
Oleh IBN GHIFARIE

Artikel ini pernah dimuat pada Opini Galamedia edisi 08 Februari 2013

Harus diakui banjir yang mengepung Ibu Kota Jakarta dan kota-kota besar (Bandung, Jogyakarta, Semarang, Surabaya, Makasar, Medan) merupakan bukti nyata atas perbuatan lalim manusia. Betapa tidak, kuatnya sikap serakah dan perilaku jahil yang tertanam dalam sanubari kita membuat alam murka sekaligus unjuk kekuatan.

Tibanya musim hujan malah menjadi petaka yang tak bisa terelakan. Karena kita sering alfa mensyukuri segala anugrah dari Tuhan ini. Sejatinya kehadiran peringatan Hari Raya Tahun Tionghoa (Xin Nian) (1 Imlek 2564) dengan sio ular air yang jatuh pada tanggal 10 Februari 2013 dapat memberikan keselarasan, keseimbangan, keharmonisan antara manusia dengan alam supaya lebih arif?


Ajaran Confucius
Ajaran utama Confucius yang terdapat dalam kitab Lun yi tertuju pada manusia. Menurut Confucius, kodrat manusia tak terpisahkan dari alam semesta. Alam semesta diselidiki oleh manusia bukan untuk dikuasai melainkan untuk dipahami hubungannya dengan diri manusia supaya segala tindakan sesuai dengan alam.

Hubungan manusia dengan alam harus mencapai titik indah dan harmonis. Confucius memperkenalkan manusia sempurna (budiman) dengan istilah kiun tse/chin-tzu. Pada intinya, seseorang yang memiliki cinta kasih terhadap sesama manusia, berbudi luhur, menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, kesusilaan, layak dipercaya, konsisten dengan kata-katanya, setia, bertenggang rasa, memuliakan takdir Tuhan, memuliakan orang-orang besar, memuliakan sabda luhur para nabi, dan mengutamakan kepentingan umum.

Untuk urusan mengelola kehidupan bernegara, pemerintah, dan rakyat bukanlah hukum. Namun kesusilaan (kebajikan), sesuai dengan petuahnya, "Seorang pemimpin yang mengatur negara harus sanggup menaati aturan-aturan kesusilaan dan mempunyai kerendahan hati yang tulus."

Ingat dalam cerita Cina, raja memiliki peranan penting untuk mengelola kosmos. Tentunya, penguasa yang memerintah harus berpijak pada kebajikan guna menjaga keharmonisan manusia, alam semesta.

Confucius berkeyakinan segala sesuatu yang berhubungan antara manusia dan manusia lain mesti diatur menurut kesusilaan (li). Kendati, sebelum masa Confucius, li berarti kurban dalam upacara persembahan untuk memenuhi kehendak langit. Bagi Confucius makna li diperluas menjadi kesusilaan yang meliputi semua nilai-nilai etika, tata krama, budi pekerti, kesopanan, norma sosial, dan moral. (Suara Baru Edisi 19/IV/Januari-Februari 2008:54-55)


Memuliakan Air
Mircea Eliade, pegiat studi agama-agama menguraikan, air memiliki nilai-nilai religiusitas yang sangat tinggi, baik melalui fungsi maupun simbolnya. Sekarang simbolisme air memegang peranan yang menentukan kehidupan religius manusia; melalui simbo-simbollah dunia menjadi transparan dan mampu menunjukkan yang transenden.

Air mencerminkan sejumlah virtualitas universal; fons et origio, "sumber dan asal-usul" dari segala kehidupan; mereka mendahului setiap bentuk dan menjadi penopang setiap ciptaan. Kendati air dalam berbagai cara memiliki fungsi; menghancurkan, meluruhkan bentuk-bentuk, membasuh dosa, menyucikan sekaligus menumbuhkembangkan keberlangsungan hidup.

Kesakralan air, struktur kosmogoni, dan apokalips akuatik hanya dapat diungkapkan dengan sempurna melalui simbolisme air yang merupakan satu-satunya sisitem yang mempu menyatukan semua penyingkapan partikular yang tak terhitun jumlahnya.

Eratnya air, dengan pohon, gunung, dan gua-gua telah memainkan peran penting dalam Taoisme yang tidak hanya merupakan perkembangan gagasan religius yang lebih tua; dari tempat yang sempurna yang mengkombinasikan kesempurnaan (gunung dan air) dengan ketenangan dan menjadi sempurna karena siklus ini sebagai miniatur dari dunia sekaligus surga, sumber kebahagiaan dan tempat keabadian. (Mercea Eliade, 2002: 132-132 dan 159)

Menurut Isyak Meirobie, S.Sn., Mantan Pendiri dan Presiden Himpunan Mahasiswa Tionghoa Indonesia (HMTI), selaku warga negara (masyarakat) seharusnya bertindak laksana air, lembut namun memiliki kekuatan dahsyat dalam berperan bagi bangsa dan daerahnya. Warga yang baik itu seperti air.

Air bermanfaat bagi semua tetapi tidak dapat disaingi di dataran tinggi. Air bergerak di dataran rendah di mana tidak seorang pun mengaguminya. Ini sama seperti orang baik tinggal di tempat sederhana. Ia tidak memaksakan diri maju dengan penuh ambisi politik, ini adalah ciri masyarakat yang sesungguhnya. Ia juga tidak berjuang untuk mencapai sesuatu. Ia adalah orang yang tenang, tulus, setia, rajin, dan penuh perasaan untuk mencapai sesuatu karena ia tahu bagaimana mengambil kesempatan dan mencapai tujuannya dengan jalan yang wajar. (Suara Baru edisi 15 Mei 2007 hlm. 53)

Jika kita bersahabat dengan air (hujan), maka niscaya tidak akan terkena petaka atas kekuatan air karena kita sering bersyukur dan berbuat baik dalam menjalani kehidupan ini. Oleh Karena itu, keterlibatan pemuka agama menjadi bagain penting dalam menciptakan lingkungan, alam ini.

Dalam konteks Jawa Barat, sudah selayaknya kita belajar arti memuliakan air, alam dari Prasasti Batutulis yang Mencari Gerbang Pakuan (2006) dan telah diperaktekan oleh masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya. Hasil penelitian T. Bahtiar menunjukkan pentingnya ngamulyakeun cai.

Paling henteu aya tilu hal penting nu kapanggih tina Prasasti Batutulis teh, nyaeta walungan, leuwung jeung talaga. Tilu hal eta rea ngamangaruhan kahirupan masyarakat, tangtu nalika eta sistim masih dipiara kalumangsunganana.

Walungan dina Prasasti Batutulis remen disurahan minangkala susukan pertahanan. Tangtu, susukan nu dijieun lantaran diparentah raja mah tangtu kudu dipara, nepi ka fungsina tetep bisa kajaga. Kaayaan walungan teu leupas tina kaayaan leuweung, nepi ka raja marentah nitah nyieun leuweung. Nalika cai ngagulidag, raja nitah nyiuen talaga.

Kumaha cai dimulyakeun nepi ka wargana bisa jadi leuwih hade, masarakat Lembur Naga sigana bisa dijieun tempat keur ngeunteung. Di ponclot jeung dina tonggong gawir ku nu darumuk didinya dijieun kebon pepelakan tareuas. Di bagean sejena, aya leuweung nu dikaramatkeun, nepi ka bisa tuluy kapiara, lantaran di didnya aya makam karuhun, luluhur ti anak incu sa-Naga. Angin ti madhab papat, disaring jeung dileuleuykeun dayana ku leuweung nu masih kapiara. (Majalah Cupumanik edisi Desember 2010:14-18)

Kiranya kita harus meniru dan berguru kepada Yu yang Agung tentang menghentikan banjir yang selalu melanda kita saat musim tiba. Berkat ketekunannya yang hidup pada masa Sungai Kuning yang sering meluap berhasil mengatur aliran air dengan cara membaginya menjadi sembilan aliran yang mengalir ke lautan.

Inilah makna terdalam Imlek untuk menyelamatkan keberlangsungan kehidupan manusia dengan cara menjaga, merawat, mencintai air, pohon, gunung. Terciptanya kawasan tata kota yang ramah menjadi dambaan kita semua. Semoga. Selamat Hari Raya Imlek 2564. Gong Xi Fa Cai.

Penulis adalah alumni Program Religious Studies Pascasarjana UIN SGD Bandung, peneliti Academia for Religion and Social Studies (ARaSS) Bandung.
×
Berita Terbaru Update