-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kolom Agama dan Jalan Panjang Penghayat

Monday, January 03, 2022 | January 03, 2022 WIB Last Updated 2022-01-03T09:50:07Z



GHIFARIEBonie Nugraha Permana, menjadi penghayat pertama di Bandung Jawa Barat yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (e-KTP) yang di kolom agama e-KTP-nya tertulis: Kepercayaan. Tak hanya itu, Ketua Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Kota Bandung ini disumpah sesuai keyakinan seorang penghayat saat ia dilantik sebagai Kasubag Tata Usaha Unit Pelaksana Tugas Pusat Kesejahteraan Sosial (UPT Puskesos) Dinas Sosial Kota Bandung.

Sebelumnya, kolom agama di KTP hanya untuk enam jenis agama, ditambah lain-lain sebagai pilihan ketujuh yang biasanya dikosongkan (ditandai garis strip). Tentunya tak ada pilihan lain bagi penghayat kecuali memilih strip atau memilih salah satu agama.

Perubahan radikal pada kolom agama di KTP tak lepas dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi yang dilakukan sejumlah penghayat kepercayaan atas Pasal 61 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan yang mewajibkan mengisi kolom agama di Kartu Tanda PendudukSelasa, 7 November 2017.

Hasilnya, MK membuat Keputusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang intinya menyatakan penganut kepercayaan atau penghayat bisa mencantumkan aliran kepercayaan di kolom agama KTP mereka.

Uum Sumiati Sekretaris Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil menyebutkan ada 108 penghayat kepercayaan di Kota Bandung. Namun hanya enam orang yang baru mengajukan permohonan pembaharuan kolom agama di KTP-nya (Tempo, 21 Februari 2019; Liputan6, 22 Januari 2020).

Akar Diskriminasi dan Kebijakan Orde Baru

Akar permasalahan segala bentuk diskriminasi terhadap kaum minoritas bermuara pada tidak adanya pengakuan resmi dari pemerintah terhadap agama dan kepercayaan mereka. Akibatnya, mereka tak bisa menghindar dari efek domino diskriminasi.

Pertama, para penganut kepercayaan terpaksa (lebih tepatnya dipaksa) untuk memilih agama-agama yang diakui negara dalam dokumen-dokumen sipil kependudukan seperti KTP, akta kelahiran, akta perkawinan. Namun ketika mereka tidak melaksanakan ritual keagamaan seperti yang mereka sebut dalam kartu identitas, maka mereka mendapatkan kekerasan verbal, berupa sindiran sebagai penganut pura-pura, agama hanya di KTP.

Kedua, mereka dianjurkan untuk mengosongkan agama yang meraka anut. Namun pilihan ini membuat mereka dituduh macam-macam: tak bertuhan, komunis, tidak dimakamkan di pekuburan umum, dan seterusnya. Walaupun sesungguhnya tidak ada kaitan antara penganut kepercayaan dan komunis.

Ketiga, sebagian penghayat tidak mau mengurus kartu identitas. Tetapi keputusan ini justru membuat hak-haknya semakin terbatas. Ketika seorang penganut agama dan kepercayaan minoritas mengosongkan kolom agama (tidak memiliki KTP), maka bentuk distriminasi lain akan diterimanya (Syamsul Arifin, Nafik Muthohirin [editor], 2020:34).

Diskriminasi terhadap komunitas agama lokal merupakan sebuah ironi, jika melihat pasal 29 ayat 22 UUD 1945 yang menyarakan kebebasan beragama dan beribadah. Padahal komunitas penghayat menyakini bahwa nilai-nilai kegamaan yang mereka anut (pertahankan) bertalian erat dengan upaya untuk melestarikan budaya, identitas, dan jati diri bangsa.

Berbagi tuduhan sesat, kafir, bidah, bahkan tidak jarang sampai pada persekusi kerap dialami oleh para pemeluk kepercayaan lokal seperti Komunitas Agama Djawa Soenda (ADS) di Cigugur Kuningan.

Pada konteks pencantuman kolom agama di KTP, gugataan komunitas penghayat berhasil dikabulkan MK. Namun demikian, diskriminasi yang masih terjadi pasca-putusan MK membuat gerakan sosial yang dilakukan komunitas penghayat di Indonesia belum berakhir (Abdul Khobir dan Nur Khasanah, 2020:2-3).

Jika penghayat telah berhasil melakukan uji materi ke MK, masyarakat Baduy masih dalam proses perjuangan ke mahkamah tertinggi negara itu. Masyarakat Baduy ingin kolom di KTP-nya tertulis agama Slam Sunda Wiwitan (SWWT), kepercayaan yang mereka anut turun temurun, seperti ditegaskan Jaro Dainah. Bagi orang Baduy, Jaro mengatakan, mereka akan menerima kebijakan dari siapa pun yang penting ada pengakuan terhadap agama mereka.

Dahulutahun 1972, kolom agama di KTP mereka tertulis SWWT dan tidak ada yang mempermasalahkan. Namun pada tahun 2012, terutama sejak diberlakukannya E-KTP, kolom agama mereka tidak lagi menuliskan SWWTMereka ingin agama yang menjadi keyakinan mereka tercantum dalam KTP sebagaimana agama warga Indonesia lainnya.

Masyarakat Baduy sangat keberataan terhadap Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak yang sebelumnya mencantumkan SWWT pada kolom agama di KTP. Jumlah masyarakat Baduy yang mencapai 12.876 jiwa, sejak 1972 hingga 2010 masih mencantumkan pada KTP tertulis dengan Slam Sunda Wiwitan, tapi pada 2011 pencantuman agama itu tidak lagi ada dalam kartu indentitas tersebut. (Jurnal Harmoni Volume 13, Nomor 1, Januari-April 2014 :120).

Dalam catatan sejarahnya, Indonesia pernah tidak mencantumkan kolom agama dalam KTP. Pencantuman kolom agama dilakukan untuk menekan paham komunisme yang dilarang pada masa Orde Baru. Ini yang diyakini oleh Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos: "Kolom agama di KTP ada pada tahun 1967. Sejak Indonesia merdeka sampai tahun 1967, di KTP tidak ada kolom agama. Karena kebijakan antikomunis (oleh) Orde Baru, semua WNI harus cantumkan (informasi) agama."

Pencantuman agama dalam KTP adalah bentuk kontrol pada masa Orde Baru. Semua diseragamkan untuk mempermudah pengaturan oleh pihak yang berkuasa. (Kompas, 10/11/ 2014 | 15:44)

Ihwal identitas aliran kepercayaan, sebenarnya diakui oleh Mahkamah Agung (MA). Saat memutuskan kasus penipuan dengan terdakwa Basuki Nugroho, hakim tidak mempermasalahkan identitas agama terdakwa yang tertulis “Kepercayaan Penghayat Tuhan”.

Putusan MA yang tidak mempersoalkan identitas agama druang pengadilan itu mencapat sambutan positif dari banyak kalangan. Bahkan muncul desakan untuk menghapuskan kolom agama pada KTP karena dinilai menghambat hak-hak sipil untuk mengakses pelayanan publik.

Di mata Engkus Ruswana, Ketua Presidium Badan Kerja Sama Organisasi Kepercayaan, agama tidak bisa dipaksa. Jika perlu, kolom agama dihapuskan dari KTP sebab kolom ini dapat memecahbelah solidaritas masyarakat. “Jika kita datang ke suatu kelompok masyarakat lalu diperiksa KTP-nya dan ada agama dan ternyata berbeda agama, sambutannya jadi berbeda. Ada diskriminasi dan sebagainya,” ujarnya.

Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur menyebutkan penulisan agama di KTP dan berbagai persyaratan sudah tidak diterapkan lagi di berbagai negara. Agama merupakan hak asasi pribadi tiap individu. Contohnya, kata Ridwan, ia pernah menyidangkan Lia Eden di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Bagi Ridwan, perbuatan Lia Eden yang terbukti melanggar hukum adalah penistaan agama, bukan karena dia penganut ajaran tertentu (Reformata Edisi 168 Tahun X 1-31 Oktober 2013:18).

Identitas Agama 

Rupanya identitas keagamaan yang berlebihan menimbulkan petaka akut, seperti yang dilontarkan oleh Abdillah Toha: "Salah satu masalah besar termasuk sebagian muslimin adalah menjadikan agama sebagai bagian dari identitas diri, lebih dari sekedar sarana untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Ketika orang lain yang tidak paham kemudian mencela (mencerca) agamanya, maka dia akan merasa diirnya atau kelompoknya telah dihina."

Pasca-1965, banyak warga komunitas adat atau penghayat yang memilih mengisi kolom agama di luar keyakinan mereka. Pilihan ini dilakukan untuk bertahan hidup. Kebangkitan dari apa yang disebut "Masyarakat Adat" terjadi pasca-1998  juga merupakan momentum dari revivalism agama lokal.

Di sejumlah tempat mulai banyak penganut agama lokal yang mulai menunjukkan keberaniannya memperoleh hak kebebasan beragamaPengakuan ini misalnya dilakukan komunitas Samin di Blora yang memilih mengosongkan kolom agama di KTP-nya. Para pengikut Sunda Wiwitan di Cigugur Kuningan, dikabarkan telah kembali memeluk agama mereka yang asli dan keluar dari agama resmi yang selama ini mereka ikuti.

Tuntutan untuk mendapatkan pengakuan dari negara yang berdasarkan konsitusi dengan menjunjung tinggi keyakinan setiap warga, saat ini semakin besar sejalan dengan tuntutan masyarakat adat akan hak-hak ulayat atas tanah dan hutan yang mereka miliki secara turun temurun. Kebangkitan masyarakat adat dan revival agama lokal merupakan bagian dari gerakan masyarakat sipil yang semakin penting agar negara tidak dibajak oleh kepentingan-kepentingan yang bersifat sektarian.

Ketika agama menjadi politik dan dikontestasikan di ruang publik, maka menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai representasi negara untuk memenuhi janji konsitusi bahwa setiap warga negara harus diakui dan dilindungi keyakinan dan hak-haknya untuk menjalankan ajaran yang menjadi keyakinannya.

Warga komunitas agama dan penganut agama lokal berhak mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari negara. Krusialitas hubungan antar-agama dan negara harus diselesaikan dengan melihat agama sebagai politik dengan berbagai insititusinya yang bersifat publik, bukan dengan melihat keyakinan yang merupakan "inner life" dari individu-individu yang menganut keyakinan dan ajaran agama.

Memang keberadaan masyarakat adat, penghayat, agama dan negara saling membutuhkan dan mengokohkan demi mewujudkan peradaban sebuah bangsa yang beradab. Sejatinya, penguatan identitas keagamaan, kebangsaan, tidak boleh dipisahkan, apalagi dipertentangkan demi kepentingan pribadi (golongan).

Marcia berasumsi bahwa dalam identitas keagamaan memiliki empat status dasar identitas untuk mencapai sebuah gambaran diri yang dapat diterima akal sehat dan kesatuan psikologi yang baik: foreclosure, bahwa sebuah pilihan identitas terbentuk tetapi tanpa adanya eksplorasi; diffusion, tidak ada identitas yang terbentuk dan belum ada eksplorasi; moratorium, belum ada identitas yang terbentuk, tetapi sudah dilakukan ekplorasi; dan identity achievement, identitas mulai terbentuk setelah eksploitasi dilakukan (Maulin, 2013:1)”.

Identitas sejati merupakan gambaran tentang diri manusia untuk mendapat pengakuan dari manusia lain. Identitas berasal dari berbagai kategori seperti ras, suku, agama, etnik dan sebagainya. Setiap kategori memperlihatkan identitas diri manusia dalam kehidupan bermasyarakat.

Identitas keagamaan didapatkan manusia sejak seorang manusia merepresentasikan diri dengan menjalankan upacara atau ritus keagamaan. Agama adalah bagian dari identitas yang seringkali menjadi alat utama dalam menjalankan politik identitas. Sebagaimana ditegaskan oleh Huntington, bahwa identitas-identitas primordial memang menjadi faktor utama dalam gesekan-gesekan antarperadaban.

Di Indonesia, sebuah negara yang menempatkan urusan agama sebagai bagian dari urusan negara, agama seringkali menjadi sumber kekuatan dalam melakukan tekanan-tekanan terhadap kelompok berbeda (Ibrahim, 2013:39-40, 48).

Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D, menegsakan: "Saya merasa bahwa tidak mungkin kita bisa hidup tanpa pengakuan pada identitas tertentu. Dalam era pluralisme di segala bidang kita harus berangkat dengan pengakuan bahwa kita mempunyai identitas tertentu. Tetapi identitas tertentu ini bukan produk yang sudah final, melainkan berada dalam proses untuk dibentuk lagi dalam perjumpaan dengan yang lain. Jadi bukannya tidak ada identitas, melainkan identitas yang ada didewasakan sehingga menjadi terbuka, tanpa kehilangan identitas itu sendiri (Ubed Abdilah S, 2002: xii).

Dalam konteks pemerintah Orde Baru, etnisitas, agama, ras dan kelas (dirangkum dalam singkatan SARA) secara politis merupakan wilayah terlarang dan menyiratkan bahwa segala macam wacana publik menyangkut topik-topik ini diawasi oleh pemerintah. Meskipun demikian, masih saja ada wacana-wacana tentang budaya, adat, agama, dan kesukuan.

Semua ini merupakan penghalang yang kompleks bagi pembentukan identitas. Isu-isu menyangkut agama dan adat benar-benar terus domonitor oleh aparat negara, sementara fenomena tentang kesenjangan ditutupi dengan paksa. Selain itu, kebudayaan dilembagakan dan dijadikan folklore.

Etnisitas secara formal dianggap tabu karena potensinya untuk meledak, sementara semboyan Bhinneka Tunggal Ika tampak begitu melegitimasi keberagaman. Namun justrtu interprestasi mengenai artinya keberagaman itu serta siapa yang dapat menentukannya.

Rita Smith Kipp menganalisis ambiguisitas dan alasan diperebutkan konsep-konsep seperti etnisitas, agama dan kebudayaan dalam era Orde Baru yang digambarkan, bagaimana sejak masa kolonial pemerintah telah mendukung prose pemisahan yang menurutnya berarti tidak adanya kerancuan akan identitas agama da etnis.

Berlawanan dengan pendapat lama bahwa intergritas nasional dan hubungan yang semakin erat antara berbagai kelompok yang berbeda akan mengikisi identitas enis, kebijakan pemerintah, migrasi dan mengintensifnya kompetisi untuk mendapatkan sumber-sumber daya yang langka sejak tahun 1980-an, semua itu justru telah meningkatkan kesadaran etnis. Perbedaan etnis mengurasi kesatuan agama, agama membuat kelompok-kelompok etnis, semakin plural baik etnisitas maupun agama meniadakan kelas. (Henk Schulte Nordholt, Gerry van Klinker dan Ireen Karang-Hoogenboom [editor], 2007:31-32)

Bila pencantuman kolom agama di KTP dikategorikan sebagai salah satu usaha pemerintah untuk melindungi umatnya dari rasa aman, nyaman, hak memilih agama dan kepercayaan masing-masing sekaligus menegaskan identitas kebangsaan dan kenegaraan Indonesia, maka sudah selayaknya ini menjadi cerminan dari kepribadian suatu bangsa beradab yang peduli terhadap kepercayaan dan khazanah kearifan lokal. 

Dengan demikian, keterlibataan semua unsur pemerintahan, warga, umat beragama sangat dinantikan guna menciptakan kehidupan bangsa dan bernegara yang menjunjung tinggi aturan, hukum. Caranya, dengan tetap mencantumkan agama (kepercayaan, penghayat) pada KTP ini. 


IBN GHIFARIE, Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.


Sumber, Bandung Bergerak 

×
Berita Terbaru Update