-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Menjaga Alam, Meneguhkan Kearifan Lokal "Pamali"

Monday, January 03, 2022 | January 03, 2022 WIB Last Updated 2022-01-03T10:08:33Z


GHIFARIESejatinya kehadiran Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2021 diperingati pada 5 Juni ini menjadi momentum yang tepat untuk membentuk generasi damai dengan alam yang memegang kuat khazanah kearifan lokal (pamali). 

Pasalnya segala bentuk gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, angin puting beliung, kekeringan, banjir, tanah longsor, gelombang pasang, kebakaran lahan dan hutan, pohon tumbang yang melanda pelbagai daerah di Indonesia ini menjadi bukti nyata atas segala ulah lalim perbuatan manusia.

Sumber Petaka

Sikap serakah, perilaku jahil yang tertanam dalam sanubari kita membuat alam murka sekaligus unjuk kekuatan. Tibanya musim penghujan dengan intensitas tinggi (50-300 milimeter per jam) malah menjadi petaka yang tak bisa terelakan sebab kita sering alfa mensyukuri segala pemberian (anugerah) dari Tuhan ini. 

Betapa tidak, sekitar 160 mata air yang terdata, hanya sekitar 67 yang masih memiliki air di Kota Bandung. Penyebab utamanya krisis air ini akibat lingkungan rusak dan alih fungsi lahan dari hutan menjadi pemukiman, areal bisnis.

Data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat menyatakan alih fungsi lahan di Kawasan Bandung Utara menyebabkan kawasan ini mengalami degradasi lingkungan yang sangat memprihatinkan. Maraknya pembangunan sarana komersial turut berkontribusi terhadap menurunnya daya dukung dan daya tampung Kawasan Bandung Utara (KBU).

Catatan Walhi Jawa Barat menunjukkan selama tahun 2019, dari total luas KBU sebesar 41.315 hektare kawasan yang sudah terbangun fisik seluas 11.765 hektare. Kawasan lindung KBU seluas 16.352 hektare yang pada dasarnya tidak diperuntukan menjadi kawasan terbangun, faktanya telah terbangun seluas 3.155 hektare (Liputan6, 04/01/2020, 15:00 WIB)

Akibat eksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan menyebabkan berbagai bencana. Ini diperparah dengan kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dan komitmen dalam menjaga lingkungan. 

Menurut Emil Salim kerusakan lingkungan hidup justru dianggap membahayakan kehidupan manusia secara global, karena mempengaruhi semua aspek kehidupan manusia mulai dari perlindungan terhadap hutan; alam yang merupakan paru-paru dunia; terganggunya lapisan atmosphere (ozone) yang mengakibatkan semakin memanasnya suhu dunia yang sangat berpengaruh terhadap iklim; terjadinya polusi air yang mengakibatkan banyak manusia tidak dapat lagi menikmati dan memanfaatkan aliran sungai akibat limbah industri; polusi air laut yang mengakibatkan rusaknya kehidupan kelautan yang semuanya berakibat pada kehidupan dan kesehatan manusia. 

Tentunya masalah ini memerlukan kesadaran semua umat manusia untuk mengembalikan dunia pada sistem ekologi yang normal berdasarkan hukum alam. (Nadjamuddin Ramly, 2007:13-14).

Mengingat terdapat lima tantangan lingkungan hidup yang harus dihadapi. Pertama, penyelamatan air dari eksploitasi secara berlebihan dan pencemaran kian meningkat, baik air tanah, sungai, danau rawa maupun laut. Kedua, merosotnya kualitas tanah, hutan akibat tekanan penduduk dan eksploitasi besar-besaran untuk keperluan pembangunan.

Ketiga, berkurangnya keragaman aneka hayati akibat rusaknya habitat lingkungan hidup, terutama tumbuh-tumbuhan dan hewan yang mengakibatkan hilang (musnah). Keempat. perubahan iklim, kadar pencemaran udara semakin tebal akibat dilepaskannya zat karbon ke udara oleh alat angkutan, listrik dan cerobong asap. Kelima, meningkatnya jumlah kota-kota berpendudukan banyak. 

Memang keakraban hidup sosial mulai bergeser ke arah pola masyarakat patembayan "gesellschaft" dengan semangat individualisme yang kental dan ikatan keakraban sosial yang longgar. Dengan perikehidupan masyarakat patembayan inilah mengendur dan melepas hubungan keserasian antara manusia dengan alam untuk berubah menjadi dominasi manusia terhadap alam. 

Tumbuhlah perilaku manusia menundukkan dan sering merusak alam. Untuk mengubah perilaku manusia dari perusak menjadi pelestari alam, sangatlah penting menumbuhkan kembali ikatan manusia dalam jejaring kehidupan sosial yang serasi dengan jejaring kehidupan lingkungan alam. Ini memerlukan penghayatan hidup beretika dalam diri manusia di dalam ruang lingkup masyarakat kekitaan yang menguat "engkau dan aku dalam kebersamaan".

Untuk itulah Tuhan memberikan ajaran agama sebagai landasan mengambangkan etika dalam menegakkan manusia seutuhnya hidup dalam keserasian jejaring kehidupan masyarakat kekitaan. Perikehidupan seperti ini akan tumbuh subur dalam bangsa yang terintegrasi dalam kesatuan. Membangun manusia seutuhnya memerlukan perilaku kehidupan masyarakat kekitaan dalam ruang lingkup integritas bangsa. Bangsa yang terintegrasi dan hidup terpecah belah dalam hubungan permusuhan satu dengan lain tidak mungkin bisa membangun manusia yang utuh. Karena itu, usaha mengintegrasikan bangsa adalah prasyarat pokok dalam membangun manusia seutuhnya. (Emil Salim, 2010:xxvi-xxvii dan 170-173). 

Sakralitas Alam

Ulama, birokrat, ilmuwan, dan semua orang sepakat tentang pencemaran lingkungan karena telah mencapai titik rawan yang sangat meresahkan. Apalagi diperparah dengan mentalitas masyarakat yang minus kesadaran untuk melestarikan alam lingkungan. 

Rupanya ajakan Graham Parkes, Prof. dari University of Hawai kepada para ilmuwan, budayawan, pegiat studi agama-agama untuk berpaling kepada agama dan ideologi Timur perlu kita dukung secara bersama-sama. Baginya alam dan lingkungan tidak saja dinilai sakral, tapi mengandung unsur ketuhanan. Alam diyakini sebagai sumber dari segala bentuk kearifan. 

Saking pentingnya peran agama terhadap lingkungan membuat Henri Bastaman, berkomentar tentang konservasi yang membutuhkan keterlibatan peran agama. Menurutnya, kegagalan konservasi diakibatkan tidak melibatkan agama sebenarnya sudah jauh terlihat pada 20 tahun silam. Pada tahun 1972 telah diadakan pertemuan di Stockholm Swedia yang melibatkan 100 negara. 

Saat itu pendidikan yang diyakini dapat menyelesaikan masalah lingkungan adalah keilmuan. Namun, setelah dicermati 15 tahun di pertemuan New York pada 1987, hasilnya justru mengejutkan banyak pihak. Pertemuan itu menyimpulkan bahwa eskalasi kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup semakin tinggi. (M. Ziaulhaq, 2011: 3-4 dan 18-19)

Dalam masyarakat Sunda, sudah dikenal sejak dulu filosofi hidup untuk menjaga keutuhan alam. Kabuyutan, salah satu dimensi paling penting dalam budaya Sunda. Kabuyutan adalah kawasan yang harus dilindungi seperti terdapat dalam naskah kuno Amanat Galunggung, peninggalan Prabu Guru Darmasiksa yang memerintah di Sunda pada abad 12-13 M, yang berisi nasihat-nasihatnya kepada anak keturunan dan semua rakyatnya supaya jadi pegangan hidup, larangan dan keharusan yang mesti dipegang teguh semua urang Sunda. 

Di antara amanatnya adalah harus mencegah kebuyutan jangan sampai dikuasai orang asing. Siapa yang dapat menduduki kabuyutan, maka akan memperoleh kesaktian, unggul perang dan berjaya. Sebaliknya jika siapa yang tak bisa menjaga warisan leluhurnya justru akan mendapatkan kehinaan. 

Dengan sengat tajam diungkapkan "Sing saha nu teu bisa ngajaga kabuyutan, mangka leuwih hina hirupna tibatan kulit lasun di jarian," Ungkapan dalam Amanat Galunggung memberi makna alam dan lingkungan yang penting harus dijaga sebagai warisan leluhur untuk anak cucu masa depan.

Tanah dan air yang subur dan indah ini menjadi warisan yang harus dijaga. Jadi jangan sekali-sekali dihancurkan oleh kepentingan serakah. Kehadiran orang asing yang melakukan eksploitasi alam hanya semata demi mengeruk keuntungan materi. Ini harus dijaga. Itulah pesan moralnya. (Syafaat R. Selamet · 2017126).

Industrialisasi dan modernisasi mempercepat kerusakan alam secara global yang mendorong kepunahan berbagai macam spesies makhluk hidup. Kepulan asap kendaraan, asap dari pusat manufaktur, pembangkit listrik berbahan bakar fosil, hingga peternakan besar yang menyumbang emisi gas rumah kaca, memicu pemanasan global yang ekstrem. 

Justru industrialisasi dan modernisasi membuat budaya yang memiliki nilai luhur mulai terlupakan. Apalagi budaya leluhur sering dianggap kolot, tidak rasional oleh manusia modern semakin ditinggalkan dan dilupakan. Padahal banyak di antara nilai luhur budaya yang mendukung kelestarian alam. Salah satu nilai luhur warisan nenek moyang manusia di Tanah Sunda, berupa larangan kolot yang disebut pamali. 

Pamali diterapkan dengan konsekuensi tertentu. Di bagian pegunungan Malabar, Jawa Barat, masyarakat memperlakukan hutan di sekitar perkampungan sebagai hutan gerot (sanget, sakral, angker). Terdapat suatu nilai di masyarakat yang melarang manusia berkegiatan secara intens di sana. 

Jangankan untuk menebang pohon di hutan, keluar rumah saat matahari terbenam (sareupna) merupakan tabu dilakukan oleh masyarakat, terlebih anak-anak. "Pamali, teumeunang kalur imah bisa aya sandekala" 

Sandekala merupakan sosok yang muncul sebagai mamala (konsekuensi buruk) karena telah melanggar pamali. Pamali dan mitos yang berkambang di tengah masyarakat menjadikan konsep hutan larangan yang dikenal angker.

Masyarakat percaya bahwa jika merusak, menebang pohon di hutan larangan, maka mamala akan menimpa masyarakat di sekitar hutan. Ini menciptakan kesadaran untuk menjaga dan menghormati alam. 

Di tengah hutan larangan selalu terdapat vegetasi yang lebat, terdapat sumber mata air yang berlimpah yang membuat masyarakat tenang, karena air bersih dengan selalu mengalir di setiap musim. Ketika masyarakat menjaga hutan, maka hutan memberikan kehidupan (air yang berlimpah). Meskipun hubungan harmonis antara masyarakat Sunda dengan hutan di sekitar pegunungan Malabar yang sudah terjalin lama, mulai terusik oleh eksploitasi tanah bumi pada pertengahan tahun 90-an. (Annisa Dewanti Putri, dkk, 2020:18-19) 

Ingat, di kampung adat, selalu ada pamali (semacam undang-undang, aturan main) yang berupa anjuran dan larangan yang harus ditaati seluruh warga. Umumnya pamali dimaksudkan untuk menjaga kerukunan, harmoni, baik antarsesama warga maupun dengan alam sekitar. 

Pamali (undang-undang mereka) ini tampak sangat sederhana, tidak ruwet (penuh muatan) kepentingan seperti yang biasa dibuat DPR, namun justru karena kesederhanaannya maka bisa dilaksanakan dan diamalkan. (Acep Zamzam Noor, 2018:26) 

Nilai-nilai kearifan lokal dan ajaran agama penting untuk disemai dan disebarluaskan agar manusia merasa bahwa menjaga alam dan lingkungan adalah bagian dari agama, sehingga alam dapat memberikan kekayaan untuk kemakmuran umat manusia yang mau berupaya untuk menjaga dan menghormati hak-hak alam. 

Segala khazanah kearifan lokal ini harus diwariskan kepada generasi penerus melalui pendidikan informal (keluarga dan masyarakat). Kearifan lokal sebagai bentuk budaya masyarakat diajarkan kepada generasi selanjutnya secara turun temurun melalui lembaga nonformal. 

Adanya budaya pamali dalam pengelolaan hutan adat Reban Bela yang terbukti menjaga kelestarian ekosistem di dalamnya, maka sumber daya air pun terjaga dengan baik. Dengan kearifan lokal (budaya) pamali berhasil merawat keasrian, kesejukan hutan dan sumber kehidupan (air) di Desa Lenek Daya. 

Kearifan lokal ini merupakan suatu bentuk aplikasi konservasi hutan dan air. Sistem pengelolaan lubuk larangan yang telah diterapkan oleh masyarakat menjadi sebuah kearifan masyarakat yang bersifat partisipatif, adaptif dan berkelanjutan dalam pelestarian sumber daya perikanan sungai, khususnya ikan lokal. (Iswandi U dan Indang Dewata, 2020: 47-48) 

Alam memang selalu beredar dan sejalan sesuai dengan hukum alam yang ditetapkan Tuhan. Segala yang di alam terjadi karena adanya sebab-akibat. Namun, semuanya tergantung pada sebab pertama. 

Mudah-mudahan dengan banyaknya melakukan aktivitas menanam pohon, menghijaukan kota, membangun kembali kebun, mengubah pola makan, membersihkan sungai dan pantai ini menjadi ikhtiar bersama untuk mengingatkan orang-orang tentang pentingnya memelihara alam, lingkungan dan bumi. 

Kewajiban dan tanggungjawab untuk menjaga, melestarikan alam, lingkungan, bumi bukan hanya tertumpu pada pemerintah, melainkan menjadi kemestian bersama guna merawat kearifan lokal, terutama budaya pamali, larangan merusak dan ikut andil dalam melestarikan hutan. 

Dengan demikian, inilah salah satu model menafsirkan kearifan lokal (pamali) sebagai instrumen penting demi pembangunan peradaban yang mewujudkan generasi damai cinta alam saat Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Semoga.

IBN GHIFARIE, Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.


Sumber, Ayo Bandung Sabtu, 5 Juni 2021 | 10:34 WIB

×
Berita Terbaru Update