-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Merawat Spirit Rayagung

Monday, January 03, 2022 | January 03, 2022 WIB Last Updated 2022-01-03T11:28:16Z

GHIFARIE-Rayagung merupakan salah satu bulan yang istimewa. Pasalnya, pada bulan zulhijah ini erat kaitanya dengan ibadah haji, Idulkurban, Iduladha, lebaran haji, puasa Arafah.

Dalam sebuah riwayat dinyatakan, bulan Zulhijah ini adalah salah satu bulan yang dimuliakan Allah disamping bulan Muharam, Ramadan. Rasul bersabda “Tidak ada hari-hari yang lebih agung dan amal shalih yang lebih dicintai oleh Allah padanya, melebihi sepuluh hari pertama bulan zulhijah, maka perbanyaklah pada hari-hari itu tahlil , takbir dan tahmid.”

Saking pentingnya, menjelaskan puasa Arafah bagi mereka yang tidak berangkat ke tanah suci (Mekah, Madinah), Rasul bersabda “Berpuasa di hari Arafah menghapuskan dosa setahun yang lalu dan dosa setahun yang akan datang.”

Bandingkan dengan bulan zulkaidah (bulan hapit) sangat sedikit masyarakat Sunda (pedesaan, perkotaan) yang melaksanakan hajatan (pernikahan, khitanan) ini.    

Makna Rayagung

Menurut Dede Syarif, keistimewaan bulan Rayagung menginspirasi cara beragama orang Sunda. Dalam kosmologi urang Sunda dikenal hari baik. Setiap waktu baik itu tiba, maka masyarakat melaksanakan berbagai perhelatan penting, seperti pernikahan, nyunatan anak, memulai usaha, bahkan membangun rumah. Salah satu bulan yang diyakini sebagai bulan baik adalah bulan Rayagung ini. Maka pada setiap bulan Rayagung tiba, kita menjumpai berbagai acara penting seperti resepsi pernikahan.

Pilihan pada bulan ini, barangkali dilatarbelakangi bulan ini merupakan bulan yang dimuliakan Allah. Dengan berharap pada keistimewaan bulan ini, maka acara penting dilangsungkan, terutama yang menyangkut taliparanti (life circle) dalam kehidupan masyarakat Sunda.

Rayagung dengan segala keistimewaannya telah menggoreskan sktsa pada potret kebudayaan masyarakat Sunda. Goresan ini menciptakan mozaik kekayaan tradisi yang menjadi energi dalam kehidupan sosial, keagamaan dan ekonomi masyarakat muslim di dunia (Sunda). Inilah titik yang dalam The Elementary Forms of Religious Life (1912) Emile Durkheim disebut sebagai ritual. Sebuah unsur keagamaan dimana masyarakat menciptakan nilai-nilai suci (sacral) yang akan mereka hormati untuk dijadikan aturan sosial (social order) dalam kehidupan mereka sebagai sebuah masuarakat beragama.

Ritual menjadikan agama, keyakinan tertentu menjadi unik, khas dan berbeda dengan keyakinan lain. Pada wilayah ini, agama merupakan ekspresi dan terjemahan para penganutnya dalam ruang sosial masing-masing. (Radea Juli A Hambali & Dede Syarif [ed], 20-10:99-103).

Sakralitas Ruang-Waktu

Bagi manusia religius, ruang dan waktu tidaklah homogen. Ia terbagi menjadi dua; ruang-waktu sakral (teofani) dan ruang-waktu profan (hierofani). Pada saat menghadapi ruang-waktu sakral, manusia merasa tunduk dan takluk dalam kekuasaan. Namun sakralitas alam kosmos (keteraturan dipercaya bermula dari ketidakteraturan (chaos). 

Kosmos ini dalam satu kurun waktu dirasa semakin pudar, karenanya harus dilakukan ritual pengulangan agar sakralitas tetap terjaga dan keteraturan bisa mengalahkan chaos.  Ada kesamaan antara Mircea Eliade dan Rene Girard dalam ini, jika Eliade menggap bahwa pengulangan ritual (termasuk korban) adalah untuk memperbaharui sakralitas ruang-waktu, maka Girard menggap bahwa pengulangan ritual untuk mereduksi hasrat kekerasan. (Ahmad Faizin Karimi, 2012:179)

Dengan demikina, sakralitas ruang-waktu menjadi bagian penting dalam setiap perayaan keagamaan, waktu peribadatan, reaktualisasi kejadian-kejadian sakral yang terjadi pada zaman mitos (permulaan) guna mewujudkan kesinambungan hidup sehari-hari yang selaras, harmoni. 

Berkenaan dengan Sidang uji materi pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan yang berbunyi “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu”. Ini yang melakukan gugatan materi dari empat alumnus dan seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yakni Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, Anbar Jayadi, dan Luthfi Sahputra perlu disikapi dengan serius oleh pemerintah, pemuka agama supaya tidak terjadi penafsiran ketidakpastian hukum tentang keabsahan perkawinan yang dikembalikan kepada agama dan kepercayaan masing-masing dan tidak melebar ke ranah pernikahan beda agama di Indonesia.

Memang hubungan antara Islam dengan isu-isu lokal menurut Mohamad Guntur Romli  adalah kegairahan yang tak pernah usai. Hubungan intim antara keduanya dipicu oleh kegairahan pengikut Islam yang mengimani agamanya: shalihun li kulli zaman wa makan—selalu baik untuk setiap waktu dan tempat. Maka Islam akan senatiasa dihadirkan dan diajak bersentuhan dengan keanekaragaman konteks. Dan fakta yang tak bisa dipungkiri, kehadiran Islam tersebut dalam setiap konteks tertentu; tak nihil dari muatan-muatan lokal yang mendahului kehadiran Islam.

Dalam ungkapan yang lebih bernas, Islam tidak datang ke sebuah tempat, dan di suatu masa yang hampa budaya. Dalam ranah ini, hubungan antara Islam dengan anasis-anasir lokal mengikuti model keberlangsungan (al-namudzat al-tawashuli), ibarat manusia yang turun-temurun lintas generasi, demikian juga kawin-mawin antara Islam dengan muatan-muatan lokal. (Jurnal Perempuan edisi 57, Januari 2008:57).

Inilah model keharmonisan, kesinambungan, keselarasan antara ajaran Islam dengan khazanah kearifan lokal budaya Sunda. Mudah-mudahan dengan adanya bulan rayagung ini bisa memberikan, menumbuhkan, merawat spirit,  semangat untuk tetap menjalankan peraktik keagamaan yang mengedepankan kepedulian bersama. Tentunya,  tidak hanya melaksanakan pesta (pernikahan, sunatan, membangun rumah). Semoga.

 

IBN GHIFARIE, Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.


Sumber, Ayo Bandung 19 Juli 2021: 21.00 WIB



×
Berita Terbaru Update