Dalam
sebuah riwayat dinyatakan, bulan Zulhijah ini adalah salah satu bulan yang
dimuliakan Allah disamping bulan Muharam, Ramadan. Rasul bersabda “Tidak ada
hari-hari yang lebih agung dan amal shalih yang lebih dicintai oleh Allah
padanya, melebihi sepuluh hari pertama bulan zulhijah, maka perbanyaklah pada
hari-hari itu tahlil , takbir dan tahmid.”
Saking
pentingnya, menjelaskan puasa Arafah bagi mereka yang tidak berangkat ke tanah
suci (Mekah, Madinah), Rasul bersabda “Berpuasa di hari Arafah menghapuskan
dosa setahun yang lalu dan dosa setahun yang akan datang.”
Bandingkan
dengan bulan zulkaidah (bulan hapit) sangat sedikit masyarakat Sunda (pedesaan,
perkotaan) yang melaksanakan hajatan (pernikahan, khitanan) ini.
Makna
Rayagung
Menurut
Dede Syarif, keistimewaan bulan Rayagung menginspirasi cara beragama orang
Sunda. Dalam kosmologi urang Sunda dikenal hari baik. Setiap waktu baik itu
tiba, maka masyarakat melaksanakan berbagai perhelatan penting, seperti
pernikahan, nyunatan anak, memulai usaha, bahkan membangun rumah. Salah satu
bulan yang diyakini sebagai bulan baik adalah bulan Rayagung ini. Maka pada
setiap bulan Rayagung tiba, kita menjumpai berbagai acara penting seperti
resepsi pernikahan.
Pilihan
pada bulan ini, barangkali dilatarbelakangi bulan ini merupakan bulan yang
dimuliakan Allah. Dengan berharap pada keistimewaan bulan ini, maka acara
penting dilangsungkan, terutama yang menyangkut taliparanti (life circle) dalam
kehidupan masyarakat Sunda.
Rayagung
dengan segala keistimewaannya telah menggoreskan sktsa pada potret kebudayaan
masyarakat Sunda. Goresan ini menciptakan mozaik kekayaan tradisi yang menjadi
energi dalam kehidupan sosial, keagamaan dan ekonomi masyarakat muslim di dunia
(Sunda). Inilah titik yang dalam The Elementary Forms of Religious Life (1912)
Emile Durkheim disebut sebagai ritual. Sebuah unsur keagamaan dimana masyarakat
menciptakan nilai-nilai suci (sacral) yang akan mereka hormati untuk dijadikan
aturan sosial (social order) dalam kehidupan mereka sebagai sebuah masuarakat
beragama.
Ritual
menjadikan agama, keyakinan tertentu menjadi unik, khas dan berbeda dengan
keyakinan lain. Pada wilayah ini, agama merupakan ekspresi dan terjemahan para
penganutnya dalam ruang sosial masing-masing. (Radea Juli A Hambali & Dede
Syarif [ed], 20-10:99-103).
Sakralitas
Ruang-Waktu
Bagi
manusia religius, ruang dan waktu tidaklah homogen. Ia terbagi menjadi dua;
ruang-waktu sakral (teofani) dan ruang-waktu profan (hierofani). Pada saat
menghadapi ruang-waktu sakral, manusia merasa tunduk dan takluk dalam
kekuasaan. Namun sakralitas alam kosmos (keteraturan dipercaya bermula dari
ketidakteraturan (chaos).
Kosmos
ini dalam satu kurun waktu dirasa semakin pudar, karenanya harus dilakukan
ritual pengulangan agar sakralitas tetap terjaga dan keteraturan bisa
mengalahkan chaos. Ada kesamaan antara
Mircea Eliade dan Rene Girard dalam ini, jika Eliade menggap bahwa pengulangan
ritual (termasuk korban) adalah untuk memperbaharui sakralitas ruang-waktu,
maka Girard menggap bahwa pengulangan ritual untuk mereduksi hasrat kekerasan.
(Ahmad Faizin Karimi, 2012:179)
Dengan
demikina, sakralitas ruang-waktu menjadi bagian penting dalam setiap perayaan
keagamaan, waktu peribadatan, reaktualisasi kejadian-kejadian sakral yang
terjadi pada zaman mitos (permulaan) guna mewujudkan kesinambungan hidup
sehari-hari yang selaras, harmoni.
Berkenaan
dengan Sidang uji materi pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan yang berbunyi “Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan
kepercayaannya itu”. Ini yang melakukan gugatan materi dari empat alumnus dan
seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yakni Damian Agata
Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, Anbar Jayadi, dan
Luthfi Sahputra perlu disikapi dengan serius oleh pemerintah, pemuka agama
supaya tidak terjadi penafsiran ketidakpastian hukum tentang keabsahan
perkawinan yang dikembalikan kepada agama dan kepercayaan masing-masing dan
tidak melebar ke ranah pernikahan beda agama di Indonesia.
Memang
hubungan antara Islam dengan isu-isu lokal menurut Mohamad Guntur Romli adalah kegairahan yang tak pernah usai.
Hubungan intim antara keduanya dipicu oleh kegairahan pengikut Islam yang
mengimani agamanya: shalihun li kulli zaman wa makan—selalu baik untuk setiap
waktu dan tempat. Maka Islam akan senatiasa dihadirkan dan diajak bersentuhan
dengan keanekaragaman konteks. Dan fakta yang tak bisa dipungkiri, kehadiran
Islam tersebut dalam setiap konteks tertentu; tak nihil dari muatan-muatan
lokal yang mendahului kehadiran Islam.
Dalam
ungkapan yang lebih bernas, Islam tidak datang ke sebuah tempat, dan di suatu
masa yang hampa budaya. Dalam ranah ini, hubungan antara Islam dengan
anasis-anasir lokal mengikuti model keberlangsungan (al-namudzat al-tawashuli),
ibarat manusia yang turun-temurun lintas generasi, demikian juga kawin-mawin
antara Islam dengan muatan-muatan lokal. (Jurnal Perempuan edisi 57, Januari
2008:57).
Inilah
model keharmonisan, kesinambungan, keselarasan antara ajaran Islam dengan
khazanah kearifan lokal budaya Sunda. Mudah-mudahan dengan adanya bulan
rayagung ini bisa memberikan, menumbuhkan, merawat spirit, semangat untuk tetap menjalankan peraktik
keagamaan yang mengedepankan kepedulian bersama. Tentunya, tidak hanya melaksanakan pesta (pernikahan,
sunatan, membangun rumah). Semoga.
IBN
GHIFARIE, Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and
Future Analysis (IRFANI) Bandung.
Sumber, Ayo Bandung 19 Juli 2021: 21.00 WIB