-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Merayakan Tradisi Hijriah, Merawat Harmoni Kosmik

Monday, January 03, 2022 | January 03, 2022 WIB Last Updated 2022-01-03T11:37:40Z



GHIFARIE-Sejatinya kehadiran Tahun Baru Islam (1 Muharram 1443 H) yang jatuh pada tanggal 10 Agustus 2021 diharapkan dapat memberikan keharmonisan (kosmik) hidup bagi orang Jawa Barat.

Pasalnya masyarakat Ki Sunda beserta kampung adatnya kerap melakukan acara muharaman (suro) saat menyambut 1 Muharam 1443 Hijriah, mulai dari pawai obor, lomba ngaji, adzan, kaligrafi, busana muslim, qori, (nadom) puji-pujian (anak-anak) di masigit dan madrasah, doa bersama di masjid Agung Tasikmalaya; pawai hijriah di lapangan Prawatasari Joglo Cianjur; Grebeg Syuro dengan mengarak tumpeng raksasa di Kecamatan Tambun Kabupaten Bekasi; 1 Suro bertajuk Helaran Budaya yang melibatkan Kesepuhan dan Kanoman, berziarah ke makam Sunan Gunung Jati, membaca salawat, tahlil, pembacaan Babad Cirebon, pembagian tumpeng dan penyucian jimat atau pusaka di Cirebon; sampai ziarah ke makam Prabu Tajimalela di Gunung Masigit, pergelaran seni budaya Sunda dan dibunyikannya Gong Renteng Kabuyutan (Pusaka Leluhur Kerajaan Sumedang Larang) di Sumedang.

Untuk di kampung adat Cireundeu Cimahi; 1 suroan ibarat lebaran dengan memakai baju baru pangsi warna hitam untuk laki-laki dan kebaya atau pakaian warna putih bagi perempuan; kampung adat Banceuy Subang; ruwatan dan hajatan bumi di Desa Cibeusi, Palasari, Ciater, Nagrak, Cibeusi, Cisaat, Cibitung, dan Sanca Kecamatan Ciater (Kompas, 17/12/09 dan 17/05/10)

Tentunya, urang Tatar Sunda ini setiap tahunnya akan selalu mengulang-ngulang dan mempertahankan tradisi yang telah dibentuk oleh para leluhurnya.

Waktu Asali

Kerinduan untuk menghadirkan kembali waktu mitos (mythical time) primordial (hijriyah) petanda manusia tradisional (homo religious). Ini dikemukakan Mircea Eliade (1907-1986) pakar Studi Agama-agama dan Fenomenologi saat memotret masyarakat arkais (purba) cenderung untuk hidup sebisa mungkin dalam kesakralan dan dekat dengan objek suci dan pusat dunia.

Sakralitas waktu menjadi bagian penting manakala setiap perayaan keagamaan, waktu peribadatan, reaktualisasi kejadian-kejadian sakral yang terjadi pada zaman mitos (permulaan) dapat mewujud dalam kehidupan sehari-hari kita.

Upaya mereaktualisai kosmogoni hadir dalam perayaan tahun baru. Pasalnya meindikasikan waktu diulang lagi mulai dari awal, yakni retsorsi waktu primordial, murni ada pada saat penciptaan sekaligus peserta pesta dapat menemukan kembali kelahiran pertama dari waktu sakral.Inilah menjadi alasan tahun baru merupakan kesempatan untuk pemurnian untuk penghapusan dosa, pengusiran setan (tolakbala), sekedar penghapusan dosa.

Prosesi pengusiran setan, dosa dan penyakit ini mewujud dalam ritus; puasa, pembersihan badan dan pemurnian; pemadaman api dan secara ritual menyalakannya dalm bagian kedua upacara; pengusiran setan melalui bunyi-bunyian (terompet), tangisan, pemukulan (pintu, kohkol, bedug) yang diikuti dengan pengejarannya melalui perkampungan dengan kebisingan dan hullaboloo (tolakbala); pengusitan ini dapat dilaksanakan dalam bentuk pepohonan, hewan dan manusia.

Dengan demikian, festival tahun baru ini hanya mengulang waktu asali (kosmik), mengaktualisasikan kosmogoni, perjalanan dari kekacauan (chaos) menuju keteraturan dan keharmonisan (cosmos) (Mircea Eliade, 2002; 53-58)

Bila kita kuat memegang pesan suci yang terkandung dalam tahun baru (hijriyah) maka tak ada lagi upaya menertibkan keyakinan orang lain dan mengrusak fasilitas Gereja St Albertus yang berlokasi di Kota Harapan Indah, Medan Satria, Kota Bekasi pascakonvoi peringatan 1 Muharram 1431 sekitar pukul 23.00 wib saat warga Babelan dan Taruma Jaya (wilayah Utara Kabupaten Bekasi) yang berjumlah 600 orang melawati Gereja di kawasan Harapan Indah ini. Mengerikan memang. 

Ingat, hijrah tak hanya dimaknai perpindahan fisik dari satu tempat ke tempat yang lain, atau hanya sekedar pergantain tahun saja, melainkan perubahan nilai dari ketertindasan (kacau) menuju keadilan  dan keadaban (aman, damai, harmoni). 

Semula Muhammad SAW dapat bertahan hidup bersama para pengikutnya di Mekkah (13 tahun), tapi karena  alasan ketidakadilan, keterpurukan mengetuk Rasulullah untuk pindah (hijrah) ke Yatsrib (12 Rabiul Awal/27 September 622 M) supaya hidup lebih baik sekaligus beradab. Kelak Yatsrid disebut al-Madinah--Kota yang menjungjung tinggi perabadan dan beradab.

Menurut Nurcholish Madjid, seperti dikutip Abd Rohim Ghazali Kota Madinah berarti “ kota” dalam pengertian “tempat peradaban, hidup beradab, berkesopanan, teratur dengan hukum-hukum yang ditaati semua warga masyarakatnya”. (Kompas, 19/01/07)

Kuatnya ikhtiar untuk meraih hidup lebih baik itu, suasana terik musim panas (16 Juli 622 M) tak menjadi halangan, rintangan supaya cepat berhirjrah, sekitar 70-an orang pengikut Nabi Muhammad  lebih dulu sampai di Madinah, menyusul Nabi Muhammad, Abu Bakar, Ali, dan beberapa keluarganya. (Montgomery Watt, 2006:121-126)

Memang bila kita menyejarah, maka perpindahan ke Yatsrib merupakan cikalbakal penetapan tahun hijriyah, seperti yang dilontarkan Jalaluddin Rakhmat "Nabi Muhammad yang ditemani sahabat Abu Bakar hijrah ke Madinah pada 12 Rabiul Awal, bukan pada 1 Muharam sebagai tanda dimulainya tahun hijriah," katanya.  

Harmoni

Namun, kuatnya kepemimpinan Umar Ibn Khottob (634-644) penetapan tahun baru islam pun dimulai dari bulan Muharram. Ini sejalan dengan kebiasaan masyarakat Arab pada waktu itu.

Lepas dari silang pendapat atas pemulaan perayaan hijriah antara 1 muharram dengan 12 rabiul awal yang jelas usaha pemeliharaan pengalaman keagamaan (waktu hijrah) supaya tidak terulang perbuatan lalim dan terlahirlah kebajikan. Ini diamini oleh William James (1842-1910) ahli Studi Agama-agama dan Psikologi saat mengurai pengalaman keagamaan erat kaitanya dengan nilai-nilai luhur karuhun dengan berakar pada kesadaran mistis yang meliputi pemikiran, penghayatan, keyakinan, dambaan, dan tindak-tanduk yang berkaitan dengan religiusitas.

Keberadaan dunia nyata ini bagian dari jagat spiritual yang lebih luhur tingkatannya dan memberi makna pada bumi yang kita diami ini. Dengan demikian, harmoni di antara keduanya merupakan tujuan hakiki manusia guna meraih kebahagiaan lahir batin. (Kompas, 17/07/05)

Dari keharmonian ini tumbuhkembangnya agama cinta. Pasalnya, beragama bukan hanya bermuara kepada tuhan semata. Melainkan aspek perdamaian dan keselamatan atas kelangsungan kehidupan manusia pun harus menjadi acuannya.

Dalam konteks khazanah kesundaan pengulangan waktu primordial dalam perayaan tahun baru ini sarat dengan alam (makro dan mikro kosmos).

Ini terlihat dari penamaan waktu, seperti ditulis Raden Wiraatmadja Suriaatmadja; jam 12.00 (tangage); jam 13.00 (lingsir/panon poe lirgsir ngulon); jam 14.00 (kalangkang satangtung); jam 15.00 (mengok) jam 16.00 (tunggak gunung/pononpoe tunggak gunung); jam 17.00 (sariak luyung); jam 17.30 (sareupna); jam 19.00 (hariem beungeut); jam 20.00 (sareureuh budak); jam 21.00 (tumoke); jam 22.00 (sareureuh kolot); jam 23.00 (indung peuting) jam 00.00 (tengah peuting); jam 01.00 (tumorek); jam 02.00 (janari leutik); jam 03.00 (janari gede); jam 04.00 (kongkorongok hayam); jam 05.00 (balebat); jam 06.00 (carangcang tihang); jam 07.00 (meletek panonpoe); jam 08.00 (ngaluluh taneuh); jam 09.00 (haneut moyan); jam 10.00 (rumangsang); jam 11.00 (pecat sawed)

Berkat uletan Ali Sastramidjaja Kalender Sunda yang sempat terlupakan bisa kita nikmati. Hitungan Kala Sunda yang mengacu pada konsep Candrakala (bulan-waktu) yang terdiri dari 12 bulan (Candra) dan 30 hari dalam sebulan. Ihwal nama-nama hari menggunakan; Radite (Ahad), Soma (Senin), Anggara (Selasa), Buda (Rabu), Respati (Kamis), Sukra (Jumat), Tumpek (Sabtu)

Kiranya, petuah kokolot urang saat kita bermain kaulinan baheula di waktu sore selalu mengingatkan kita bila masuk waktu sareupna "Enggal uih jang. Bisi aya sanekala.... burukeun.... bisi dirawu ku kelong wewe..."

Inilah makna terdalam hijriah bagi keharmonisan kehidupan di Parahyangan ini. Terwujudnya keteraturan, damai, aman menjadi cita-cita tinggi warga Sunda ini. Semoga. Selamat Tahun Baru Hijriah 1 Muharram 1443 H. 

 

IBN GHIFARIE, Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.

Sumber, Ayo Bandung Kamis, 12 Agustus 2021 | 23:11 WIB

×
Berita Terbaru Update