-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Oase Perdamaian

Tuesday, January 04, 2022 | January 04, 2022 WIB Last Updated 2022-01-04T05:10:33Z



GHIFARIE- Sejatinya kehadiran Hari Perdamaian Internasional (International Day of Peace) yang diperingati setiap tanggal 21 September menjadi momentum yang tepat untuk memperkuat cita-cita perdamaian dunia guna mewujudkan kehidupan 24 jam penuh tanpa kekerasan dan melakukan gencatan senjata.

Ibarat oase PBB mengajak seluruh masyarakat dunia pada peringatan Hari Perdamaian Internasional tahun 2021 ini agar ikut andil dalam mengupayakan pemulihan dunia, membentuk dunia yang adil, damai dengan melawan segala bentuk tindakan kebencian (online, offline), menyebarluaskan kasih sayang, kebaikan dan merawat harapan dalam memerangi Covid-19.

Setiap kepercayaan, agama pada dasarnya mengajarkan prinsip-prinsip kebenaran, kebajikan, kedamaian, kasih sayang, welas asih, dan melarang umatnya untuk melakukan tindakan kekerasan dalam bentuk apa pun guna memperoleh keselamatan dan kebahagiaan sejati.

Makna Damai

Harus diakui, segala tindakan kejahatan, kebencian itu bersumber dari nawa fasu, angkara murka. Jika kita kuat memegang sikap cinta, kasih sayang, welas asih ini niscaya hidup kita akan bahagia, damai dan mampu hidup berdampingan tanpa melihat segala perbedaan agama, suku, ras dan golongan.

Ingat, kedamaian merupakan tujuan utama dari kemanusiaan sekaligus kebutuhan manusia yang paling hakiki dan menjadi tanggung jawab semua umat untuk menciptakan perdamaian di tengah keberagaman dan perbedaan yang ada.

Untuk menciptakan perdamaian harus dilakukan upaya memenuhi rasa keadilan, kesejahteraan dan rasa aman individu (komunitas), baik dari ancaman fisik maupun ekonomi. Pasalnya, dengan kedamaian kita bisa mengontrol emosi dan pikirannya agar tidak melakukan tindakan yang merugikan orang lain yang bisa memicu terjadinya konflik, kekerasan atas nama agama secara terbuka.

Dengan demikian, membangun kedamaian tidak hanya sekadar tidak adanya perang, konflik, tetapi keadaan pikiran yang tenang dan santai, karena jika setiap orang merasa damai, maka ia akan memiliki pikiran dan perilaku yang positif dan dunia akan menjadi damai.

Alkisah, “Suatu hari seorang Guru memiliki murid Islam, Hindu yang sama banyaknya di India, ditanya mana yang lebih agung Islam atau Hindu. Dengan sejuk dan teduh Guru Nanak menyebutkan, baik Islam maupun Hindu sama-sama kehilangan keagungan kalau umatnya tidak berbuat baik. Siapa saja yang mengisi hidupnya dengan kebaikan, ia sudah menyiapkan lahan subur”.

Menurut Gede Prama, siapa saja yang tekun dan terus-menerus menyentuh kedamaian, ia akan melihat munculnya buah pohon kedamaian. Dalam hening, damai, pohon mengubah karbon dioksida menjadi oksigen yang dihirup tidak terhitung jumlah makhluk.

Dalam hening, damai, ia menghasilkan vibrasi kedamaian yang serupa dengan oksigen. Kendati tidak terlihat, namun amat dibutuhkan oleh tidak terhitung jumlah makhluk. Sebagian orang-orang tercerahkan cara bernafasnya berbeda. Ketika menarik nafas, ia bayangkan sedang menarik masuk semua kekotoran. Tatkala mengembuskan nafas, ia bayangkan sedang membuang semua hal yang bersih dan jernih. (Budhy Munawar-Rachman [Ed], 2015:16, 22, 48, 63)

Mulai Dari Diri

Untuk menebar kedamaian itu harus dimulai dari diri sendiri. Ini yang diyakini kuat oleh Mr. Javier Perez de Cuellar, mantan Sekjend PBB. “Kedamaian harus dimulai dalam hati setiap kita. Melalui refleksi yang tenang dan serius mengenai arti kedamian, cara-cara baru dan kreatif dapat ditemukan untuk mengembangkan pengertian, persahabatan, dan kerja sama di antara orang-orang.”

Kedamaian itu erat kaitannya dengan rasa mencintai. Saking pentingnya mecintai daripada kebencian. Nelson Mandela berkeyakinan setiap orang bisa mengajarkan cinta kasih. "Tidak ada orang yang lahir untuk membenci orang lain karena warna kulit, latar belakang, atau agamanya. Orang harus belajar untuk membenci. Dan jika mereka dapat belajar untuk membenci, maka mereka juga bisa belajar untuk mencintai karena cinta datang lebih alami ke hati manusia dibanding kebalikannya."

Di mata Gandhi, gerakan antikekerasan itu harus dimulai dari dalam diri kita sendiri dan keluar dari sana. Nirkekerasan merupakan buah perdamaian batin dan persekutuan secara spiritual yang ada dalam diri kita.

Gandhi menyakini melalui pertobatan batin pribadi dan perdamaian batin, kita akan lebih peka untuk melayani Tuhan, dari sendiri, orang lain, orang miskin dan dunia ini.  Dengan demikian, kita akan menjadi hamba-hamba perdamaian dunia. Di sinilah letak kuasa nirkekekrasan itu. Saat hati kita dibebaskan Tuhan dari kekerasan batin ini, kita menjadi alat Tuhan untuk membebaskan dunia. Tanpa pertobatan batin ini, kita bisa sakit hati, kecewa, putus asa, musnah. Apalagi kalau usaha kita dalam mewujudkan perdamaian dan keadilan tidak menghasilkan apa-apa, sepertinya sia-sia dibandingkan dengan ketidakadilan yang adan di sekitar kita. Dengan pertobatan ini, kita belajar untuk mengabaikan "semua keinginan" termasuk merusak, menghancurkan, hingga menghilangkan nyawa orang lain.

Bagi banyak orang, hikmah kuno tentang hati, nirkekerasan, bisa terasa religius (ideal). Kalau dilihat dari sudut pandang dunia politik dan sains masa kini. Namun, bersama Gandhi menyakini kita perlu melangkah ke depan, ke arah suatu idealisme yang baru demi kemanusiaan secara keseluruhan. Kita perlu memperbarui hikmah nirkekerasan ini demi pembebasan dunia dari segala macam kekerasan, dan ikut andil dalam menciptakan bubaya nirkekerasan yang baru. (Walter Wink [ed], 2009 255-256).

Kiranya, kita perlu merenungkan petuah Santo Fransiskus Asisi tentang damai melalui puisi “Tuhan, Jadikanlah Aku Pembawa Damai”. Tuhan, Jadikanlah aku pembawa damai/ Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cinta kasih/Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan/Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan/Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian/Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran/Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku sumber kegembiraan/Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang/Tuhan semoga aku lebih ingin menghibur daripada dihibur/Memahami daripada dipahami, mencintai daripada dicintai/Sebab dengan memberi aku menerima/Dengan mengampuni aku diampuni/Dengan mati suci aku bangkit lagi, untuk hidup selama-lamanya.

Dengan demikian, hari perdamaian, gerakan antikekerasan itu harus didasarkan pada keimanan yang kukuh, cinta kasih, welas asih yang dimulai dari diri sendiri untuk terciptanya kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, bernegara yang harmonis, damai, toleran, merdeka dan sejahtera. Semoga.  

 

IBN GHIFARIE, Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.

 

Sumber, Ayo Bandung 22 September 2021

×
Berita Terbaru Update