-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Tulisan (1)

Wednesday, August 30, 2006 | August 30, 2006 WIB Last Updated 2006-08-31T02:01:06Z

Telah Kritis Terhadap Haraqah Tajdid

Oleh Ibn Ghifarie

Kata-kata Haraqah Tajdid atau bisa juga ditulis al-haraqaah al-tajdid, sudah lama dan barang kali muncul di langit Indonesia. Lebih dari 82 tahun yang lalu Persaatuaan Islam (PERSIS), mendeklarassikan dirinya sebagai penganut aliran haraqah tajdid.

Berdirinya Persis, 12 September 1923 merupakan mata ranta yang tak dapat di pisahkan dari gerakan pembaharuan, yang sedang belangsung hampir diseluruh dunia islam[1]. Gerakan kebangkitan islam internasional, yang dipelopori oleh tiga serangkaian; Syaikh Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897), M Abduh (1845-1905), dan Syaikh M Rasyid Ridha (1865-1935). Tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kebangkitan islam para pendahulunya. Tecatatlah beberapa tokoh ulama seperti imam Ibnu Taimiyyah (1263-1328), Ibnu Al-Qayim Al-Jauziyyah (1296-1350), dan Muhammaad Bin Abdul Wahab (1703-1787). Mereka itu merupakn serangkain angkatan pertama, yang diikuti oleh tiga serangkain angkatan kedua; Al-Afghani, Abduh dan Ridha.

Setelah tiga serangkain angkatan kedua inilah, maka bermunculan para ulama yang mempengaaruhi dan mewarisi tongkat perjuangan mereka semua. Semisal Syaikh Waliyullah Ad-Dahwali, Ahmad Khan, Al-Maududi, Imam Asyadih Hasan Al-Banna, Syaid Quttub dll. Hal ini selalu di identikan oleh Fazlur Rahmaan, seorang pemikir muslim asal Pakistan dengan sebutan Neo-Revivalis.

Gerakan Haraqah Tajdid itu tidak di klaim oleh kelompok yang tergabung dalam nama Persis semata. Tapi organisasi kemasyarakatan yang menamakan diri Muhammadiyyah pun mengidentikan dirinya sebagai gerakan pembahru yang modernis. Meskipun dari kedua gerakan Haraqah tajdid itu berbeda dalam titik tekannya. Kalau Persis lebih bereorientasi pada pendidikaan dan fiqh an sich. Sedangkan Muhammadiyyah yang mengedepankan aspek-aspek sosial, melalui pendidikan, pelayanan masyarakkat; rumah sakit, pantia asuh dan jompo.

Namun, diakui atau tiak diakui seiring dengan perubahan zaman, yang terjadi pada satu tatanan masyarakat. Persis sebagai salah satu gerakan Haraqah Tajdid, mengalami beberapa kemunduran alias pasang-surut. Terutama dalam masalah ‘gagasan pembaharuan”, hingga memunculkaan sebuah hipotesa baru yang diungkapkan oleh Fahri Ali dan Bahtiar Efendi, bahwa ormas-ormas islam pembaharuan, seperti halnya Persis, Muhammadiyyah, Al-Irsayad dan yang lainya. Ternyata kini telah mengalami keterbelakangan, bahkan kehilangan ruh dinamika ataupun pembaharuannya. Organisasi-organisasi pembaharuan tersebut telah berhenti berfikir, karena tidak mampu lagi menangkap semangaat zaman dan megantisipasi kearah mana masa depan akan berkembang.

Dengan kata lain, munculnya sebuah pernyataan yang dialamatkan kepada Persis secara khususnya, yang sejak awal berdirinya selalu berupaya melakukan Haraqah Tajdid. Bahkan umat banyak memberikaan semacam trnde mark sebagai Jamiyyah Tajdid. Sehinga bermuculan sederetan pertanyaan-pertanyaan; yang menuntut sekaligus jawabannya. Semisal; masih relevankan Persis disebut sebagai Jamiiyyah Tajdid? Atau apa sesunguhnya yang dinamkan Haraqiah Tajdid itu?,

Haraqah Tajdid Masyrik VS Haraqah Tajdid Magrib.

Untuk lebih lanjut, sebelum menjawab dua pertanyaan tersebut. Sekiranya, terlebih dahulu kami berharap kedua persoalan ini, haruslah menjaadi agenda utama Persis dalam Mukhtamar Ke-XIII nanti. Di samping, permaslahan-permasalahan; sosial, ekonomi, budaya, politik dan yang lainnya. Sebab acara Mukhtamaar, yang selalu diadakan setiap lima tahun sekali dan menelan biaya yang sangat banyak. Tentunya tidak hanya bersifat ceremonial belaka. Yakni hanya “hajatan” pemilihan ketua umum atau pemimpin pusat Persis semata. Akan tetapi kegitan ini merupakan wahana kawah candra dimuka Persis dalam menata masa depan.

Hingga tidak ada stereotife lagi, seperti yang pernah dilontarkan oleh Atif Latif Hidayat, ketua PP Pemuda Persis, yang patut dipertanyakan adalah apa dan bagaimana sebenarnya firkrah persis itu?[2] Karena setiap Persis berganti tokoh dan bertukar masa kepemimpinan, maka cara atau gaya kepemimpinan tokoh tersebut selalu diidentikaan dengan fikrah persis. Ketika A Hasan menjadi tokoh sentral, maka hal itu selalu diidentikan dengan bentuk firkah Persis. Akan tetapi, tidak lantas persis menjadi Hasanisme atau Hasan Sentris, yang akan membawa umat Persis kedalam bentuk gerakan pembaharuan baru.

Demikian pula, dengan masa kepengurusan K H Isa Ansyari, K H E Abdurahman, K H Muhammad Natsir, K H A Latif Muhtar, dan K H Siddik Amin. Corak kepemimpinannya selalu menjadi tolak ukur dan standar penilaian dari fikrah Persis. Coba bandingkaan dengan Muhammadiyyah, yang telah memiliki fikrah dan garis-garis perjuangan yang baku. Sehingga tidak pernah terganggu dan terpengaruhi oleh gaya dan cara pemimpinannya yang selalu beragam. bak ujung bambu yang terombang-ambing ke arah utara, selatan, atau ketimur dan barat

Kembali lagi pada konsep Haraqah Taajdid (pembaharuan), yang menjadi landasan awal organisasi Persis. Secara etimologi pembaharuan artinya memperbahrui sesuatu. Sedangkan dalam terminilogi agama berarti menghidupkan kembali ajaran-ajaran islam setelah ditingalkan oleh umatnya.

Dengan kata lain, salah satu upaya “menyambung lidah” dalam bidang pemahaman-pemahaman agama daari rasulullah secara lebih luas, mulai dari menjelaskan hakikat kebenaran (sunnah) dari ajaran-ajaran imfor (bid’ah) serta berupaya sekuat tenaga guna mengembalikaan pemahaman islam, terutama padaa pola hidup, moral, individu dan masyarakat, kepada paradigma islam yang sesungguhnya yakni Al-Qur’an dan As-Sunah.[3]

Kata yang sepadan dengan Haraqah Tajdid adalah Reformer, revolusi, dan Teologi Pembebasan. Istilah tajdid ini, yang merupakan fi’il mudhore, yang berarti pembaharuan dan orangnya disebut mujadid. Maka di maata Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullaah Bin Baz, mengomentari bahwa kata mujadid berasal dari satu hadits nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud; “Sesungguhnya Tuhan Akan Membangkitkan Kepada Puncak Setiap Seratus (100) Tahun, Seseorang Yang Melakukan Tajdid Bagi Umat Ini Dalam Perkara Agama”.

Sementaran istilah mushil persamaan kata dari tajdid, masih menurut Syaaikh Abdul Aziz, berujar kata mushlih—yang kadang kala diterjemahkan dengan sebutan reformer, yang bersumber dari satu hadits yang diriwaayatkan olah A-Tirmidzi tentang Al-Ghuruba, Rasulullah bersabda “sesunguhnya agama ini bermula asing dan akan kembali menjadi asing, maka berbahagialah orang-orang asing. Yakni mereka yang mengadakan dan senantiasa berbuat islah (perbaikan) terhadap sunahku, yang rusak oleh umaat manusia sepeninggalku”

Jadi, sangatlah jelas inti tugas seoraang Al-Mujaadid atau Al-Mushih adalah upaya mengembalikan umat kepada ajaran-ajaran sunnah Rasululah secara utuh dan murni, sebagimana yang telah dirintis oleh As Shalaf Ash Shalih[4]

Sedangkan menurut Al-Imaam al-Qamy dalam syarah atau penjelasan tentang hadits yang berkenan dengan tajdid, menyebtkan bahwa yang di maksud dengan tadjid ataupun pembahruan adalah ‘menghidupkan kembali praktik-praktik apa saja yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mensosialisasikannya[5]

Menilik pendapat Dr. Yusuf Qardhawi, mengenai konsep tajdid harus berpikajak pada; pertama, menjaga dan memelihara bangunan asal. Tanpa mengganti pondasi yang telaah ada. Juga mempertahankaan karakternya, bahkan berupaya semaksimaal mungkin untuk menampilkan sisa-sisa positif, yang bernilai kualitaatif pada bangunan tersebut.

Kedua, memperbaiki hal-hal yang dianggaap perlu tanpa meleburkan identitas dan memeksakan untuk menyesuaikan dengan pola hidup modern. Hal ini berarti mengakomodir dan mengembangkan fikr Islam dengan teap mempertahankan ke khasan yang baku[6].

Berbeda dengan pendapaat sebelumnya, hal senadapun di kemukakan oleh Syaikh Al-Ghazalie, Hujjatul Islam, menjelaskan pengertian pembaharuan merupakan menjaga pokok-pokok ajaraan islaam, memernikannya dari noda dan tambahan. Tajdiid ibaraat kita yang sedang mencuci baju. Pasalnya, debu atau sejenisnya menempel dalam pakaian tersebut. Maka kita diwajibkan untuk menghilangkannya. Singkat kata, kita harus membersihkan wajah Islam, setelah dilaikan oleh para pemeluknya.[7]

Dari pendekatan terminologi agama, berdasarkan para pendapat ualma klasik (salaf) ataupun ulama kontemporer (kholaf), kata tajdjid dapat diterjemahkan kepada “proyek Pemurnian” (purifikasi) ajaran islam dan penyebaran luas pemahamannya, sehingga melahirkaan amalan nyata dalam pola fikir dan kehidupan umat.

Sebagai ilustraasi fenomena di atas bak air. Ia bukan saaja dapat dipengaaruhi tanpa menghilangkan karakter aslinya sebagaai air. Namuan, juga setelah melalui perjalanan panjang dari mata air (hulu). Ia mengalami pencemaaran; limbah, sampah, kotoran yaag dapat memrlukan penjernihan, yang relatif lama pada saat tiba diujung samudra—bermuara dihilir. Begutu pula, sama halnya dengan agama islaam, yang telah sekian lama terputus berita wahyu dengan pulangnya Rasulullah ke raahmatulaah. Maka berakhirnya masa kemasan. Seperti yang dinbuatkan oleh nabi. Yakni tiga generasi yang akkaan mengisi tiga kurun waaktu. Dengan dalih sabda nabi bahwa sebaik-baiknya generasi adalah generasi abadku, kemudiaan generasi satu abad selanjutnya dan kemudian generasi setelahnya (H R Bukhari). Selain itu, juga melalui persingngan dengan pemahaman mulai daari kearifaan lokaal yang bersifat kulturaal, maaupun tantangaan arus globaalisasi.

Dengaan demikian, pemahmaan tentang ajaran islaam perlu di segarkan atau di cerahkan kembali. Kalui perlu didekontrukssi sekaligus rekontruksi, sehingga tetap terjaga keorisinilannya atau keautentikannya—meminjam istilah Robet

Terlepas dari kata tajdid, reformer, atau revolussi.Yang jelas hampir mirip dikategorikan kedalaam makna tajdid adalah teologi pembebasan di mata orang-orang barat.

Kilas Balik; Pembaharuan ala Persis

Pada tangal 12 September 1923 atau bertepatan dengaan 1 Shafar 1342 H. kelompok ‘tadarussaan” di kota Bandung, yang dipimpin oleh H Zam zam dan H M Yunus dengan angota sekitar 20 orang giat melakukaan dan menkaji ajaran-ajaran islam. Mereka berkyakinan dan sadar aka bahaya; TBC (Tahayul, Bid’ah, dan Khurafat), kejumudan, dan keterbelakangan pemahaman Islam. Yang membuaat mereka melakukan gerakaan tajdid. Secara resmi golongan pengajian ini diberi nama Persatuan Islam, yang disingkat Persis.

Pengambilaan nama ini, dan satu-saatunya ormas yang ada di Indonesia yang memakai bahasa pribumi, bukaan arabisasi. Berdasarkan firman Tuhan yang termaktub dalam surat al imran : 103 “dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (agama) tuhan dan janganlah kalian berceraai berai”. Pemahaman ini, bukaan semata-mata menghargaai bahasa loka, tapi diharapkaan dari nama itu, terpancar ruhul jihad dan ijtihad bak sinar matahari keseluruh penjuru dunia. Maka guna mengejawatahkan cita-citaa yang maha ideal tersebut tentunya tidak semudah embalikan telapaak tangaan tapi bembutuhkan waktu yang relatif lama serta keuletan daan ketabahan dari semua pihak yang bersangkutan..

Dengaan kata lain, Persatuaan Islam itu ha\rus mengakomodir perbedaan-perbedaan mulai dari keragamaan pemikiraan, rasa, suara dan usaha kepada persatuan pemikiraan islam, persatuaan rasa isla, persatuaan suara islaam maupaun persatun usaha islam. Tentunya kehadiraan persis pada saat itu, dirasakan dapat mendobrak kejumudan pola pikir keagamaan dan juga berguna dalam mengaplikasikan nilai-nilai kebenaran. Sebab kelahiran persis, yang membawa missi dengan menitik beratkan kepada gerakan pemurniaan (purifikasi) aqidah dan pemantapaan ibadah serta muamalah dari bias (anasir) syirik, bid’aah, khurafat, tahayul dan munkarat. Hal ini tercermin dalam AD persis pasal IV, bahwa persis bertujuan untuk memperjuangkan dan berlakuknya hukum-hukum islam dan ajaran islam yang berdasarkaan al-Qur’an dan As-Sunnah dalam tatanan masyarakat.

Selain itu, hal yang serupa pun terdapat dalam AD pasal V, bahwaa persis berusaha tidak mengembalikan kaum muslim kepada Al-Qur’an dan As-sunnah, menghidukan ruhul jihad dan tajdid dikalangan umat, serta memperluas tersinarnya tabligh dan dakwah islam kepada segenap lapisan masyarakaat, mendirikan madrasah dan pesantren untuk mendidik generasi islam dengan Al-Qur’an dan As-Sunah[8]

Namuan, lagi-lagi dalam membumikan konsep yang ideal itu dalam kehidupaan sehaari-haari, tidaak semudah membalikan telapak tangan, tapi membituhkan kesabaran, keuletaan, ketabahan dan waaktu yang relatif panjang baik dalam gerakaan kultural maupaun struktural dal tubuh persis sendiri.

Kalau tempo dulu, gerakan Persis dapat mengayomi masyarakat baik yang kecil maupun yang kaya alias punya banyak modal. Lalu bagaimana dengan fungsi da n peran gerakaan Taajdid Persis dalam kontek kekiniaan?

Ketidak berhasilan gerakan Tajdid persis dalam memikat masyarakat khususnya dan umaat islam umunya, yang tesebar diseluruh penjuru dunia. Hal ini terlihat dari segi kualitas daa kuantitas angota Pesis. Meskipun, orang-orang Persis selalu berdalaih bahwa gerakan persis itu tidak terlalu mengedepankan atau mengutamakan banyaknya anggota. Tapi yang diharapkaan kader-kader persis dari segi kemampuannya dapaat diaakui oleh dirinya dan orang lain.

Akan tetapi kalu kita maau jujur dan legowo, secara kenggotaan pun keorganisasian persis sangaatlaah kecil dan memperihatinkan. Jika dibandingkaan dengan muhammadiyyah, yang mencapai sekitaar 3330 juta dari penduduk islam indinesia. Apalaagi dengaan ormaas yang terbaaung dalam sebutan NU (Naahtaatul Ulama), organiasasi terbesar dan tersbaar di bumi nusantaraa ini, sebab mayoritas penganut islam indonesia adalah orang-orang pengikut imaan syafi’ie, yang terkenal dengan sebutan kaaum naahdiyyin—meminjaam istilah Cak Nur.

Kembali lagi ke oorgaanisasi persis sebgai salah satu orgaanisasi masa islaam. Pesiss mempunyaa aangota deng jumlaah yang tedaptar secara resmi sampaai tahun 1983, sekitar 6000 orang anggota pesis, 7000 orang anggota persistri (persis Istri), 3000 orang pemuda persis, 2000 orang anggotaa pemudi persis, dan juga simpatisaan cukup banyak jumlahnya[9] salah saatunya mereka yang mengikuti dan tercatat sebagai anak didik di sekolah (pondok pesaantren) persis, sebab tidak semuaa orang yang menyekolahkaan anaknya ke pesantren persis itu orang-orang persis secara keangotan dan setiaap santri tidak dengan serta merta menjadi anggotaa persis. Namuan, harus mengikuti terlebih dahulu kegiatan persis, yang disebut ma’ruf (masa penerimaan dan perkenalan anggota baru), yang selalu diadakan oleh PD (Pimpinan Daeraah) Persis. Maka sangatlah wajar apabila ada sekelompok orang yang menganalogikaan persiss bak satu orang yaag menungangi maotor cross, seumpamanya. Sebab prinsip pengakderannya seperti yaag diutarakaan diaawal daan konsep gerakaa tajdid tidak biasa memilah dan memilih, mana yang termasuk kedalam keyakinana dan tradisi (kebiasan) saatu daaerah tertentu.

Dari Haraqah Tajdid Al-Fiqh Ke Haraqah Tajdid Al-Fikr.

Menyikapi persolan-persoalan yang semakin pelik dan rumit itu. pokonamah pajalimet pisan. Entah harus dari mana memulainya untuk mencoba membuat wacana baru di kalangan Persis sendiri. Sebab gerakan pembaharuan Persis sampai hari ini dinilai hanya berkutat pada permasahan-permasalahan fiqh orentid semata. Artinya perlu adanya reorientasi terhadap nilai yang diperjuangkan oleh Persis di masa mendatang. Tentunya, tidak tertumpuk pada persoalan seputar syariah an sich. Mungkin gerakan peembaharuan Persis sampai saat ini, masih berpegang pada prinsip-prinsip, yang di jadikan jargon oleh K H E Abdurrahman, bahwa gerakan tajdidnya itu harus mengedepankan sebuah kejelasan hukum dari pada kepuasan.

Lebih jauh lagi, hal ini tercermin pada sosok A Hasan dalam menafsirkan Al-Qur’an, yang di utamakan tidak mencari aspek-aspek keindahan (sastra), melainkan kejelasan, ketertiban dan ketegasan. Bukankah zaman dan masyarakat sudah berbeda?

Selogaan “kembali pada Al-Qur’an dan As-Sunnah”, yang selalu di gembor-gemborkan oleh Persis itu. Walaupun, terbukti ampuh di awal dekade pendirian Persis sampai dekade pertengahan, tentunya belum memberikan jaminan yang begitu memuaskan bagi keberhasilan perjuangan Persis ke masa depan yang tercerahkaan (untuk tidak menyebutkan gagal perjuangan tajdid persis tersebut).

Reorientasi terhadaap nilai-nilaai yang di perjuangkan persis, bukan berarti menghilangkan kepada apa yang selama ini telah diperjuaangkan Persis dengan gigih dan tanpa pamrih. Yakni kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah secara tekstual, rigid dan kaku. Lalu, menggantikannya dengan pedoman baru. Akan tetapi, reorientasi di sini lebih mengarah kepada target pencapaian, mulai dari gerakan pembaharuan yang fiqh orientid, yaang bersifat Teosentris ke gerakan pembahruan pemikiran, yang bersifat Antroposentris.

Dengan demikian, bila selama ini selogan yang dipakai Back To Al-Qur’an And As-Sunnah An Sich. Yang justru akan menimbulkan segudang dan seabreg pertanyaan, seperti yang pernah dilontarkan oleh Kang Jalal—sapaan akrab Jalaluddin Rakhmat, ketikaa maraknya organisasi kemasyarakatan yang berkeinginan lepas dari hiruk pikuknya kehidupan yang jauh dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mengenai pertanyan tersebut diantaranya; Al-Qur’aan mankah yang akan menjadi landasan itu? Al-Qur’an versi Sunnikah atau versi syiahkah? Begitupun dengan As-Sunnah; As-Sunnah manakkah yang akan dijadikan pijakan itu As-Sunnah perspektif sunnikah atau syiahkah?[10]

Disadari atau pun tidak, pengklaiman tesebut masih melekat dan kerap akrab di pendengaran kita, bahkan pemahaman tersebut telah mendarah daging di kalangan masyarakaat. Sehingga dengan mudah mereka saling kapir mengkapirkan saatu sama lian. Yang pada akhirnya berujung pada peperangan (jihad) dengan mengatasnamakan Tuhan atau perang para Tuhan—meminjam istilah Hervey Cox—di antara kita dengan dalih berkadwah. Padahal, yang menjadi pegangan atau sumber rujukannya sama, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah. Namun, berjuta penafsiran, beral-Qur’an satu, tapi bermilyaran komentar dan beral-Qur’an satu, tapi bertriliunan sekte/madzhab[11]

Untuk itu, lepas dari pengklaiman tadi, Al-Qur’an dan As-Sunnah mana yang akan dijadikan kiblat oleh gerakan pembaharuan tersebut. Paling tidak menurut M Amin Abdulah, bahwa nafas Muhammadiyyah ataupun Persis sebagai gerakan tajdid, sesungguhnya terletak pada pergumulanya dengan persoalan historisitas keberagamaan manusia. Maka untuk membangkitkan dan menyegarkan kembali gerakan pembaharuan pemikiran keagamaan pada muhammadiyyah atau Persis dalam konteks pembangunan bangsa Indonesia pada abad ke-21, caranya adalah tidak lain dengan mencermati kembali makna normatif nas-nas Al-Qur’an dan As-Sunnah secara lebih kontekstual, bukan tekstual yang kaku dan rigid. Selain hal itu, tentunya sambil juga mengaitkannya secar langsung dengan persoalan-persoalan historis keberagaman islam kontemporer[12]

Jka pada awal periode pendirianya Persis telah berhasil membuat gerakan kultural terutama dalam wilayah pendidikan, yakni dengan diterapkannya sistem pendidikan sekolah atau pondok pesantren—mengacu dan memakai metodologi ala barat—dalam lingkungan umat islam Indonesia. Untuk itu, dalam era sekarang Persis dituruntut sekali untuk menorobos dan membuka lahan ijtihad baru. Selai itu, Persis juga harus berpacu dengan waktu untuk berfikir keras guna merancang pola pendidikan yang dapat mendatangkan produk-produk unggulan yang kompetitif, bukan berselisih tidak karuan dan terus berkutan pada persoalan sistem pendidkan yang Juni-Juli (JJ) dan Syawal-Shaban (SS) semata. Akaan tetapi, harus mampu mewujudkan pendidikan Universitas A Hasan, yang selalu di dengung-dengungkan oleh K H A Latif Muhtar. Dengan menerapkan gaya kepemimpinan “terbuka”, yang di rumuskan dalam ungkapan “Persis harus mandiri, tetapi tidak dengan cara mengisolasi diri”.

Sementara langkah gerakan kultural yang dilakukan oleh A Hasan, agaknya lebih cocok untuk di sepadankan dengan pemahaman atau pengertian ijtihad sebagai prinsif gerakan dalam islam—meminjam istilah M Iqbal, sebab ketika kita membicarakan Persis tanpa melibatkan sosok A Hasan sebagai bahan pembicaraan, serasa sayur tanpa garam. Dengan demikian, besarnya pengaruh A Hasan dalam Persis, seolah-olah Persis selalu identik dengan A Hasan.

Tidak hanya itu, Persis pun dalam era A Hasan sangat identik sekai dengan pemikiran pembaharuan. Sosok A Hasan, yang terkenal sangat radikal. Terutama dalam membahas masalah hukum. Ide-ide pembaharuan A Hasan sangat kental mewarnai gerakan Persis, bukaan untuk waktu itu saja bukankah berlanjut sampai berlanjut pada generasi selanjutnya.

Saat itu, Persis sangat aktif dalam menyerukan pemberantasan prilaku umat yang “menganjal”. Seperti perbuatan syirik, TBC (tahayul, bid’ah dan khurofat) dan permasalahan keagaman lain. Baik melalui pengajian, diskusi maupun dengan cara berdebat sekalipun.

Bercermin dari langkah yang telah ditempuh oleh A Hasan, tampaknya beliau tiadak begitu ambil pusing dengan pelbagai persyaratan ketat dan berat untuk melakukan ijtihad dan tajdid, yang bisa dilakukan pada wilayah kajian apa saja, bukan pada kajian fiqh semata.

Jika memang demikian, gambaran ijtihad dan tajdid, yang dilakukan oleh generasi periode awal Persis, sebenarnya generasi muda dan generasi penerus PERSIS sekarang tinggal melanjutkan saja usaha yang telah dirintis oleh para pendahulunya, serta bergegas untuk membuka lahan dan lapak baru dalam berijtihad. Sehingga tidak adanya ungkapaan miring, seperti yang di lontarkan oleh Atif Latiful Hayat, bahwa semangat pembaharuan Persis seolah-olah berhenti sepengiggalnya A Hasan. Sementara generasi berikutnya bukan lagi generasi tajdid, tapi hanya sebatas pelanjut pemikir A Hasan dengan modifikasi yang berbeda. Padahal, intisari dari fikrah A Hasan adalah semangat tajdidnya, bukan pola pikirnya. Karena boleh jadi pola fikir beliau sudah tidak releval dengan kondisi zaman saat sekarang.

Atau belakangan ini, ada rumor bahwa Ormas Persis merupakan Haraqah Tajdid, yang menuntut proses itu terus dilakukan dan bergulir terus. Ketika berhadapan dalam segala permasalahan-permasalahan yang belum ada sebelumnya. Namun, pada kenyatannya gerakan tajdid itu justru “taaklid buta”. Pasalnya kita hanya “mengamini” kepada hasil keputusan satu dewan yang diemban anamat guna tangaap dan pandai menyelesaikan segala persoalan kekinian, yakni Dewan Hisbah. Bahkan di perparah lagi, dengan pengambilan satu keputusan tersebut bukan merupakan hasil musyawarah para Dewan Hisbah semata. Tapi hanya hasil ijtihad segelintir orang saja atau sekelompok orang tertentu yang dikultuskan oleh para pengikutnya.

Maka sangatlah wajar, apabila dalam Mukhtamar kemarin. Tepatnya pada saat Seminar Nasionaal PP Hima persis. Dra Husni Rofiqoh, selaku Ketua Umum PP pemudi Persis, melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang sangat “pedas” kepada Pimpinan Pusat (PP) Persis. Pertanyaannya sebagai berikut; pertama, pemikiran tajdid di tembongkeun leuwih boga sifat “apologi” keserjanaan, tanimbang realitas gerakan? Kedua, Persis leuwih condong kana fiqh orientid, teu nyoreang yen islam teh syumilu jeung kompetisip? Ketiga, katingalna teh Persis miara hal anu sifatna rutinitas jeung administartif, teu ngalahirkeun manuver-manuver pemikiran islam?

Tapi kan eta tilu pertanyan Inyana—biasa digentraan. Sorangan pemipin anu di hareup teh ngajawabna, poknateh kieu; kalau kita cermati perjalanan Jamiyyah Persis sejak periode awal sampai keempat (K H A Latif Muhtar). Setiap periode mampu menjalankan tugas kepemimpiannnya dengan menampilkan gaya aksentuasi yang berbeda. Tapi tetap dalam bingkai tajdid. Kusabab kitu Inyana mesen kapara nonoman “gunakeun mangasa ngora, samemeh datang mangsa kolot”, kitu poknaateh daria naker[13].

Coba bandingkan dengan Ormas-Ormas lain. Seperti Muhammadiyyah—gerakan tajdid yang modernis, yang begitu banyak melahirkan pembaharuan dalam pemikiraan keagamaan. Bahkan terdapat wahan yang menampung gerakan tersebut. Misalnya dengan adanya kelompok JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). Sedangkan dalam keorganisasian NU—yang selalu dinilai kolot atau kaum sarung untuk generasi tua tapi sungguh berbeda pada generasi mudanya, mereka dengan gigih melahirkan pembaharuan sebagai dinamikia baru dalam pemikiran keagamaan. Hal ini, terlihat dari marak dan menjamurnya gerakan yang tergabung dalam sederetan nama-namaa; Lapdaskem, JIL (Jaringan Islam Liberal), JIE (Jaringan Islam Emansipatoris), dan lembaga Islam Progresif.

Untuk itu, dalam memasuki Abad-21, tantangan dan gerakan kultural Persis tidak lagi harus berkisar pada persoalan pendidikan dan pemurnian ajaran islam dari “rong-rongan” perbuatan syirik dan TBC (tahaayul, bid’ah dan khurofat). Simbol-simbol kultural yang baru telah bergeser ke arah upaya memperkuat disiplin nasional; kebersihan lingkungan, budaya tertib lalu lintas alias budaya antri, kepeduliaan sosial—dengan mengadakan gerakan orang tua asuh (GNOTA) pasca korban gempa dan Tsunami di Aceh dan sekitarnya, gerakan lingkungan hidup, menepis konflik atas nama SARA-J dan isu-isu lainnya.

Berkaitan denga persoalan-persoalan di atas, yang diungkaapkan tanpa sedikitpun bernaksud mengecilkaan arti penting rumusan Persis yang menyangkut persoalaan fiqh an sich. Semisal bagaimana hubungan vasekstomi—tubektomi, pencangkokan organ tubuh dengan organ binatang, bank mata, bayi tabung dan sperma. Yang biasanya semua permasalahan yang menyangkut dan di amanatkan kepada Dewan Hiasbah saja dalam menuntaskannya. Namun, semua problematika tersebut lebih banyak terpusat pada peresoalan hukum islam. Hal ini belum menyangkut pada tingkat kesadaran moralitas dan etika secara luas.

Tak hanya itu, banyak juga persolan yang telah dipikirkan oleh Dewan Hisbah ini, khususnya yang terkait dengan persoalan-persoalan awal bulan puasa, hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, sampai kepersoalan fiqh yang lain. Namuan, lagi-lagi hal itu tentu saja belum cukup memadai untuk menghadapi isu-isu aktual-kontekstual, yang berkembang dengan sangat pesat di masyarakat luas.

Akhirnya, pada abad 21 nanti, agenda ijihad dan tajdid Persis perlu beralih perhatian dari persialan teosentris kepada beberapa pemikiran yang menyentuh langsung aspek antroposentris sebagai berikut; pertama, ke pemikiran politik—demoktratisasi, hak asasi manusia, hubungan yang jelas dan transfaran antara warga negara dan negara, penguatan masyarakaat sipil, yang selalu dikenal dengan sebutan Masyarakaat Madani (sivil society), hak dan tenaga kerja baik perempauan maupun laki-laki.

Kedua, ke pemikiran hukum—kesadaran hukum, persamaan hak dimuka umum, hak asasi manusia dan haak asasi sipil.

Ketiiga, ke adilaan sosial—ganti rugi tanah untuk kepentingan umum secara lebh manusiawi. Akibat derasnya arus pembangunanisme dan era globaisasi, UMR (upah minimum pembantu rumah tangga), gaji guru, kesetaran gender.

Kempat, ke pemikiran etika sosial—budaya antri dan tertib lalu lintas, sehingga daapat meminimalissir kecelakaan-kecelakaan di jalan raya.

Kelima, ke pemikiran budaya teknologi modern dan lingkungan hidup—pendaya gunan hutann (flora dan fauna), reboisasi besar-besaran, tata guna lahan, taat wilayah kota dengan memakai amdaal.

Keenam, ke pemikiran alterenatif, yang berkaitan dengan isu-isu aktual—pluralitas agama (mazdhab/sekte/ormas), menggagas teologi lingkungan hidup sebagai upaya menepis tragedi kemanusiaan, menggagas pendidikan berbasis kemanusiaan sebagaai upaya mewujudkaan pendidikan yang memanussiakan manusia bukan pendidikan gaya bank—meminjaam istilah Paoule Freire, menggagas pendidikan berbasis gender, fiqh lintas agama, ideologi islam inklusif, pluralis, humaanis, toleran, liberal, emansipasi, progresif, equality, teologi pembebasan, ktitis, dan dialog partisipatoris.

Dengan demikian, gerakan Persis di harapkan dapat mengejewatahkan gerakan dakwah yang berpijak pada satu ungkapan “amanr maruf naahi munkkar”. Alih-alih sebagai gerakan tajdid dan ijtihad. Jadi, persis juga dapat memasuki wilayah yang selama ini hampir di ketegorikaan bukan termasuk kedalam wilayah keagamaan, sihingga tidak terdengar gaunya secara nasional. Semoga [200205] .



[1] FOSPI Kairo Mesir, Siapkah Persis Menjadi Mujadid Lagi? (Upaya Mewujudkan Wacana Persis Baru) (Bandung, Al-Qap Rint Jatinangor, 2000) hal. III

[2] Drs Dadan Wildan, M. Hum, Sejarah Perjuangan Persis 1923-1983 (Bandung; Gema Syahidah, 1995) hal. VII

[3] M Abdulah Al-khaatib, mafaahim taarbaawiyyaah Vol. 2, (Kairo; Darul Manaar Al-Haditsah, 1411/1990) hal. 165

[4] Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz, Al-Imam Muhammad Ibn Abdul el-Wahab Da’watuhu Wa Siraatuhu, (Kaairo; kuliaah umum taaanpaa teks oleeh Syaikh Abdullah, 1419/1998) haal. 18. Terj Rahmat Al-Arifin Muhammad Bin Maruf. Atau lebih laanjut bisaa lihat al-Fikr As-Saaami Fi Taaarikh Al-Fiqh Al-Islami Juz 4. haal 194. alinea 1011 dengan judul “Abu Abdullaah Muhammaad Ibn Abdul El-Waahaab Attaamimi Annaajadi” (Kerajan Saudi daan Depaartemeen urusaan keeislaman, waakaaf, daakwah, daan bimbingan Islaam kaantor atase aagaamaa di jakkaarta)

[5] Syamsul Abbadi, “Aunul Mma’bud Vol II”, (Kairo; Darul Kutub Ilmiah) hal. 260

[6] Dr Yusuf Qordhawi, “Al-fiqbul Islami Baina Al-Ashallaah Wa Al-Tajdid”, (Kairo; Darus Sohwah, 1406/1986) hal. 19

[7] Op. Cit, Abdullaah Al-Khatib, hal. 165

[8] Lihat lebih lanjut dalam QA (Qonun Asasi) dan QD (Qonun Dahili)

[9] Lok. Cit FOSFI Kairo Mesir, hal. 60

[10] Jalaluddin Raakhmaat, dahulukaan akhlak diataas fiqh, (Baandung; Mutaahohhaari perss, 199), hal vii-xii

[11] (Ed) May Rahmawaati dan Yudi R Haartono, Al-Qur’an; Buku Yang Menyesatkan Dan Buku Yang Mencerahkan, (Bekaasi; Gugus Press, 2002), hal. 12

[12] M Amin Abdullah, Dinaamika Islaam Kultural (Pemetaan Atas wacana Keislaman kontemporer) (Bandung; mizan, 2002) hal. 42

[13] Lihat lebih lanjut majalah Ibier No 414/th. XXXIV/4 Jumadil Ula 1423/15 juli 2002 M, hal. 17

×
Berita Terbaru Update