-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Suhuf (16)

Friday, April 13, 2007 | April 13, 2007 WIB Last Updated 2008-01-30T20:30:02Z
Hanya Ada Satu Kata Bubarkan IPDN
Oleh Ibn Ghifarie

Kematian Cliff Muntu, Praja Madya Institus Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor Sumedang (02/04) telah membuat deretan panjang kekerasan terselubung di kampus STPDN. Mulai dari Erie Rahman (2000), praja asal Bandung meninggal akibat disiksa seniornya; Wahyu Hidayat (2003), praja asal Bogor tewas, juga meninggal tak wajar akibat ulah kepongkahan seniornya; sampai Cliff Muntu.

Seakan-akan pihak IPDN tutup telinga dari pelbagai masukan sekalipun cacian, makian yang dialamatkan padanya. Malahan Institusi itu terkesan melanggengkan budaya barbar. Betapa tidak, segala persoalan yang menimpa anak didiknya harus diselesaikan dengan tradisi bogem.

Mesji bukan kali pertama kematian Cliff Muntu, malah Inu Kencana Syafei, salah satu Dosen IPDN mengabarkan mengenai adanya kematian 34 praja sejak tahun 1993. Tujuh belas praja di antaranya meninggal dunia tidak wajar.

"Saya kirimkan surat tadi pagi pada Presiden dengan lampiran data mengenai kematian praja di lingkungan IPDN (dulu STPDN, red). Ini untuk meluruskan pemberitaan kalau saya hanya omong kosong belaka. Memang tidak semua kematian itu tidak wajar, tapi telah saya tandai kematian yang tidak wajar dan saya sampaikan kepada Presiden (Galamedia, 10/04).

Mencoreng Sisitem Pendidikan Bangsa

Mendarah dagingnya tradisi kekerasan di lembaga pencetak calon pemimpin bangsa tersebut. Tentu saja, perlakuan ganjil praja itu telah mencoreng sisitem pendidikan nasional. Pasalnya, cita-cita mulia pendidikan adalah upaya menempatkan manusia sebagai subjek dimana dalam proses belajar mengajar, guru dan murid harus dipandang sebagai subjek, demikian tutur Bambang Sudibyo, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas).

"Sebab pendidikan adalah upaya mendidik manusia seutuhnya dan mengembangkan potensi yang dimilikinya, sehingga lahir manusia yang berakhlak dan bermoral, serta memiliki keterampilan," jelasnya. (Antara, 08/04)

Tak ayal, ditengah-tengah keterpurukan sisitem pembelajaran dan meroketnya biaya sekolah. Kini, satu-satunya lembaga milik pemerintah memberikan contoh tak wajar. Bahkan seakan-akan mereka bangga dengan kebiasaan barbar tersebut.

Padahal, dalam peraturan pemerintah UU No 23/2000 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) telah diterbitkan, sejatinya tidak ada lagi pendidikan S-1 yang bernaung di bawah suatu departemen (Depdagri), kecuali Akademi Kepolisian dan Akademi Militer. DI luar itu tidak diperkenankan. Mendiknas Bambang Sudibyo sebagai pemegang kebijakan pendidikan pun berkata demikian.

Sistem Militer; Kuatnya Senioritas
Kebobrokan di IPDN merupakan buah dari pola pendidikan ala militer yang diterapkan setengah-setengah karena tanpa pengawasan yang tegas. Lemahnya pengawasan itu terlihat dari betapa leluasanya para praja senior menghajar praja junior di dalam kampus. Meski sudah digabungkan dengan Institut Ilmu Pemerintahan (IIP), rupanya pola pengajaran dan pengasuhan yang penuh kelemahan di sekolah dinas itu belum juga diperbaiki. Malah menelan korban lagi.

Pola pembelajaran di institut jatinangor itu merupakan warisan zaman Orde Baru yang ingin menciptakan calon pamong praja, juga pejabat berpikiran seragam, maka tak ada cara lain dalam mewujudkan cita-cita mulia itu dengan penggemblengan praja yang seragam.

Padahal zaman sudah berubah. Kini, era demokrasi sudah di depan mata, segala mekanisme pencalona sekaligus pemilihan kepemimpinan pun tergantung pada pilihan rakyat.

Tak hanya, model militeristik dalam pengasuhan praja. Maraknya aksi biadab di IPDN berawal dari melemah sekaligus melunturnya temali persaudaraan dintara sesama praja. Senioritas pun menjadi jurang pemisah yang tak bisa dibantahkan lagi. Tantunya, tak ada ruang dialog dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi.

Bila kebiasaan ini yang terjadi, maka tertutup sudah budaya dialog. Terlebih lagi, manakali setiap praja tingkat, dua, tiga dan seterusnya memiliki prinsif superioritas dapat dipastika perlakuan tak manusiawi itu akan terus tumbuh sumbur bak dimusim hujan, Hingga melekat dalam sanubari praja.

Nah, sebagai ajang balas dendam atas kepongkahan senior terhadap junior, maka tahun ajaran baru dengan praja baru melalui Ospek (Orientasi Pengenalan Kampus) dapat dipastikan menjadi bulan-bulanan senior.

Berawal dari penyambutan praja baru dengan tradisi militer dan kuatnya senioritas di setiap kontingan praja membuat kebiasaan balas dendam itu semakin mendarah daging, demikian penuturan salah satu adik kembar tersangka atas meninggalnya Cliff Muntu.
Ironis memang. Namun, inilah wajah-wajah calon pemimpin masa depan Indonesia.

Pembubaran IPDN

Kini, kampus tak menjadi pusat khazanah peradaban keilmuan dan teknologi. Malahan beralih fungsi menjadi ajang perpeloncoan dengan watak barbarian.

Mestinya kampus menurut Syafi’e Maarif, mantan ketua Muhammadiyyah berfungsi sebagai menarik moral yang anggun dan pusat intelektual yang unggul. Kampus yang lebih berfungsi sebagai perpanjangan tangan birokrat dengan segala yang membosankan.

Paling tidak kampus menjadi sebuah tempat yang di dalamnya hadir dual filar; Fikir (Nalar) dan Dzikir (Kesadaran akan kehadiran Tuhan). Namun, untuk menciptakan kampus yang handal secara Intelektual dan unggul dalam moral diperlukan pelabgai unsure yang mendukung, termasuk dari segi kurikulum, pengajaran dan mahasiswa, system serta didukung oleh UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa).

Maka wajar bila, Arif Rahman, pakar pendidikan menilai perlakuan tak wajar itu bukan saja dikategorikan sebagai kekerasan dalam pendidikan, tapi sudah termasuk pada kategori premasistik.

Untuk itu, dalam meminilalisir kekerasan tersebut, tak ada cara lain selain pangkas satu generasi. Yakni dengan cara menutup IPDN sekurang-kurangnya empat tahun.
Walau penutupan IPDN dari penerimaan praja bukan satu-satunya cara dalam mencegah praktik adu tojos. Paling tidak dengan pemutusan mata rantai pendisiplinan tubuh itu, negara dapat . menghemat anggaran yang selama ini digunakan untuk membiayai IPDN.
Tentunya, memberikan kesempatan terdapat perguruan tinggi di daerah dalam pengadaan program ilmu pemerintahan supaya bisa mengisi pos-pos pemerintahan. Hal ini akan menimbulkan dampak positif bagi pengembangan pendidikan tinggi di daerah karena termaksimalkan dengan baik. Apalagi dengan tampilnya putra-putra daerah dalam mengisi kursi pemerintahan.

Dengan demikian, pembubaran IPDN patut untuk diprioritaskan pemerintah dalam mengatasi berbagai kekerasan di IPDN. Haruskan kita tetap melanggengkan budaya kekerasan dalam mencari pemimpin bangsa? [Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 10/04;12.34 wib
×
Berita Terbaru Update