-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kitab (1)

Wednesday, May 02, 2007 | May 02, 2007 WIB Last Updated 2008-01-30T20:22:38Z
Hardiknas Momentum Introspeksi Bersama
Oleh Ibn Ghifarie

Momentum Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh pada 2 Mei 2007 ini. Sejatinya, harus menjadi modal dasar evaluasi sekaligus pencerahan bagi seluruh civitas akademika dan pemerintahan yang memegang kebijakan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Hardiknas juga mesti dijadikan barometer sebagai ajang refleksi seberapa jauh kualitas pendidikan nasional semenjak bangsa ini merdeka.

Pasalnya, pendidikan merupakan investasi masa depan. Kini, pendidikan mulai tak terkontrol lagi. Bahkan cita-cita luhur memanusiawikan manusia pun raib tak tau dimana rimbanya. Malahan Hardiknas kali ini masih dilingkupi rasa keprihatinan begitu mendalam atas pelbagai kasus yang menggelayuti dunia pendidikan kita.

Mulai kasus minimnya pemerataan fasilitas, sarana dan prasarana penunjang pendidikan, kualitas pendidik, mengakarnya praktek tauran antar pelajar atau mahasiswa sekaipun, mendarahdagingnya tradisi pembocoran lembar soal dan jawaban oleh segelintir guru beserta kepala sekolah saat ujian nasional (UN) tiba demi ambisi dan pencitraan sekolah, sampai terjadinya tindakan kekerasan yang menewaskan salah satu praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) bernama Cliff Muntu. Sungguh mengerikan.

Ironis memang. Di tengah-tengat gencarnya upaya pemberantasan buta hurup, megencarnya wajib sekolah sembilan tahun dan tanpa dipungut biaya bagi kalangan tertentu. Nyatanya, masih banyak lembaga pendidikan tertentu yang akrab dengan budaya pungutan liar. Alih-alih peningkatan kualitas dan sebagai sekolah percontohan tradisi lali itu kian terjadi.

Padahal menuntut ilmu secara formal merupakan sektor strategis dan kunci bagi bangsa ini untuk menapakan kaki ke arah kehidupan bangsa yang lebih baik. Saking pentingnya sektor ini, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 kita pun telah mengaturnya sedemikian rupa. Hal ini termaktub dalam pasal 31 UUD 1945 dengan mengamanatkan secara tegas, setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan; kewajiban warga negara mengikuti pendidikan dasar dan kewajiban pemerintah membiayainya; penyelenggaraan sistem pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa; hingga prioritas alokasi dana APBN hingga 20%.

Nyatanya, pesan agung UUD 1945 itu hanya menjadi selogan semata supaya tidak ditertawakan oleh negara-negara lain. Terlebih lagi saat anak didik yang kurang mampu berkeinginan mengenyam pendidikan lebih tinggi harus rela menggalkan perbuatan mulia tersebut. Sebab pendidikan bermutu mahal ongkosnya. Maka wajar bila Eko Prasetio berujar `Orang miskin dilarang sekolah`.

Lebih parahnya lagi, sang pendidik pun harus rela pontang panting mencari kerja sampingan guna memenuhi dapurnya. Karena kebutuhan tarap hidup semakin meroket. Termasuk guru honorer, yang masih belum jelas nasibnya. Janji untuk mengangkat guru bantu tahun ini hanya isapan jempol semata.

Belum lagi kucuran dana sebesar 20% dari APBN masih menjadi wacana elit-elit politik. Pengalokasian biaya operasional pendidikan dari pusat ke daerah masih-masing masih sarat dengan kebiasaan tak terpuji. Tentunya, dengan prinsif ABS (Asal Bapak Senang), sebab kalau tak mengikuti tradisi akut itu jangan harap dana pendidikan akan sampai ke lembaga penddikan. Thus, minimnya biaya penunjang pendidikan tersebut.

Mencermati persoalan pelik itu, tak ada cara lain guna menumbuh kembangkan budaya baca-tulis pada masyarakat dan upaya peningkatan mutu pendidikan kita selain menjadikan hari Hardiknas ini sebagai titik awal evaluasi secara menyeluruh.
Bukan saja, membincang kesejahtraan umar Bakri, kampanye tradisi baca-tulis, dan pentingnya mengenyam pendidikan formal. Tapi lebih menyeluruh pada asfek kehidupan nyata.

Terkadang pendidikan malah hanya menjadikan anak didik cakap dalam keilmuan. Namun, tak unggul dalam moral. Hal ini terlihat dari maraknya budaya barbar dan preman dalam pendidikan kita.

Dengan demikian, segala elemen yang berkaitan dengan kualias pendidakan, mulai dari emosional, spiritual, intelektual harus melekat dalam pribadi pendidik dan anak didik serta pengambilan keputusan sisitem pembelajaran.

Nah, bila kehadiran Hardiknas tak dapat membawa perubahan positif pada masyarakat Indonesia yang lebih baik dan arif, maka wajar bila praktik belajar-mengajar secara jelas telah terkalahkan oleh kekerasan. Carut-marutnya praktik lalim pun telah mencoreng dunia pendidikan kita. Haruskah, kita tetap mempertahankan perayaan turun temurun itu? Sudikah sisitem pendidikan kita jauh tertinggal oleh negara-negara tetangga? [ ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 01/05;14.37 wib
×
Berita Terbaru Update