-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

kitab (6)

Monday, May 14, 2007 | May 14, 2007 WIB Last Updated 2008-01-30T20:45:04Z
Mengeja `Rapot Merah`Mahasiswa
Oleh Ibn Ghifarie

Maraknya aksi bentrokan antar mahasiswa di pelbagai Kampus. Membuat sebagian masyarakat tertentu mencibir peranan kaum pelajar. Betapa tidak, ditengah-tengah keterpurukan bangsa dan meroketnya biaya penididikan.

Kini, hampir setiap hari golongan intelek acapkali berbuat ganjil, mulai dari aksi rusuh, tauran, kekerasan fisik dan fisikis, penjualan narkoba, fee seks bebas, aborsi sampai tradisi menghilangkan nyawa orang lain.

Selogan wajib menempuh pendidikan sembilan tahun pula hanya seloga semata.Pasalnya, menuntut ilmu tak bisa menciptakan manusia seutuhnya dengan budi pekerti yang arif. Malah mencetak anak didik berwatak barbar. Ironis memang.

Tak hanya itu, jargon mahasiswa sebagai agen pengubah sosial, pembaharu, kontroling terhadap kebijakan pemerintah, mendobrak kemapanan dan panutan dalam soal moral ikut punah seiring derasnya arus baku hantam dikalangan kaum pelajar. Seolah-olah melekatnya status mahasiswa tak berbanding lurus dengan kebiasaan tak terpuji saat siswa.

Adalah budaya tauran dan adu fisik dalam menyelesaikan segala persoalan yang sedang dihadapainya. Terlebih lagi saat pencitraan sekolah sudah diinjak-injak oleh sekolah lain.

Walhasil, perang menjadi jurus pamungkas yang tak bisa ditawar-tawar lagi.

Catatan Kelam Bentrokan Mahasiswa
Tengok saja, kekerasan yang terjadi di IPDN dengan meninggalnya Wahyu Hidayat (2003) dan Chliff Muntu, UISU (Universitas Islam Sumatra Utara) Medan (09/10) akibat perseteruan dua kubu antara Helmi Nasution dan Saryani, Bentrokan terjadi di IAIN Ambon, (11/5) gara-gara tolak ajak demo, Universitas 45 Makasar Sulawesi Selatan (10/05 dan 14/05) antara mahasiswa Jurusan Planologi dan Teknik sipil serta arsitektur Fakultas Teknik kisruh dari aksi ditikamnya (Syamsuddin dan Saleh) rekannya dari jurusan Teknik Sipil. Hingga berbuntut aksi lempar batu yang dimulai oleh para mahasiswa jurusan Planologi sebagai aksi balas dendam bentrokan Kamis sore (10/5).

Padahal, ada beberapa perguruan tinggi yang tak luput dari perbuatan lalim tersebut. Sebut saja, Unhas (Universitas Hasanauddin) Makasar dan UMI (Universitas Muslim Indonesia) Makasar. Hampir setiap tahunya selalu kedapatan tauran antar jurusan, fakultas, Universitas atau dengan pihak keamanan.

Sebagai petanda maraknya aksi Bentrokan Mahasiswa UMI vs Aparat Keamanan. Memang diakui tau tidak bentrokan antara mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan aparat keamanan (Sabtu, 01 Mei 2004) bukan kali pertama, tapi memiliki sejarah yang amat panjang dan kelam. Namun, kasus mei itu, tergolong yang paling parah semenjak 1996.

Pertama, 24 April 1996
Terjadi bentrokan antara mahasiswa dan aparat. Aparat sempat menyerbu ke dalam kampus UMI. Tiga mahasiswa UMI tewas dan puluhan mahasiswa serta aparat luka-luka. Peristiwa ini dipicu oleh penolakan mahasiswa terhadap kenaikan tarif angkutan kota. Peristiwa itu dikenal dengan nama Amarah atau April Makassar Berdarah yang diperingati setiap tahun dan disebut-sebut sebagai peringatan atas kebrutalan polisi dan militer.

Kedua, 1998
Hampir sepanjang 1998 aksi mahasiswa UMI nyaris semuanya berakhir dengan bentrokan versus polisi. Militansi mahasiswa harus berhadapan dengan ketegasan Kepala Poltabes Yusuf Manggabarani.

Ketiga, September 2000
Mahasiswa UMI beraksi menolak masuknya beras impor ke Sulawesi Selatan. Dua mahasiswa UMI disel, yaitu Surya dan almarhum Nasrullah. Bentrokan bermula di gedung DPRD Sulsel dan merembet ke depan kampus UMI di Jalan Urip Soemoharjo.

Keempat, Juni 2001
Mahasiswa menuntut penghapusan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya. Mahasiswa UMI unjuk rasa di DPRD. Mahasiswa sempat diburu anjing milik aparat dan disiram gas air mata.

Kelima, 18 Februari 2004
Mahasiswa bentrok dengan aparat karena memprotes Mahkamah Agung yang memvonis bebas Akbar Tandjung. Mahasiswa ngotot menutup jalan, sementara aparat perintis berkeras membuka jalur jalan. Aparat sempat menerobos ke dalam kampus. Tiga mahasiswa ditangkap dan sebuah sepeda motor milik mahasiswa rusak.

Keenam, 1 Mei 2004
Polisi menyerbu ke dalam kampus UMI. Akibatnya, puluhan mahasiswa luka-luka dan di rawat di rumah sakit. Kasus ini menyebabkan Kapolda Sulses Irjen Pol. Jusuf Manggabarani dicopot dan polisi menuai kecaman dari banyak kalangan. (www.tempointeraktif.com)

Lagi Makasar, berdarah di Kampus Unhas antara Fakultas Teknik (FT) dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Sekadar mengingatkan, perkelahian mahasiswa yang berbuntut pembakaran kampus di Unhas pernah terjadi pada 1992 lalu. Kejadian itu kemudian dikenang sebagai 'Black September' dari tahun 2003-2005.

Pertama, 12 Desember 2003
Bentrokan antarmahasiswa di Kampus Unhas antara Fakultas Teknik (FT) dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP). Akibatnya, tujuh korban luka. Lima korban di antaranya berasal dari FISIP dan dua lainnya dari Fakultas Teknik.

Kedua, 14 Desember 2003
Tujuh mahasiswa dan seorang satuan pengaman (satpam) luka parah menyusul bentrokan antarmahasiswa di Unhas. Rektorat terpaksa membatalkan pelaksanaan ujian akhir. Sebab, tawuran melibatkan hampir sebagian besar mahasiswa Fakultas Teknik dan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Ketiga, 14 April 2004
Tawuran terjadi antara Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Karena tawuran ini, Albertu, Mahasiswa Fakultas Teknik, Jurusan Arsitektur tertikam di punggung sebelah kirinya dan dilarikan ke RS Wahidin Sudirohusodo.

Keempat, 16 Desember 2004
Dua kelompok mahasiswa Fakultas Teknik dan FISIP di kampus Unhas Tamalanrea bentrok, sekitar 14.00 Wita. Akibatnya, empat orang mahasiswa dikabarkan mengalami luka ringan akibat terkena lemparan saat terjadi tawuran. Dua di antaranya adalah mahasiswa FISIP dan lainnya adalah mahasiswa Fakultas Teknik.

kelima, 31 Agustus 2005
Terjadi tawuran antarfakultas di Unhas masing-masing FISIP dan Teknik, 31 Agustus 2005 di Pelataran Baruga Unhas. Pelaku penyerangan melakukan pembakaran dan menghanguskan empat ruangan lembaga kemahasiswaan di fakultas tersebut. Dalam aksi tawuran tiga korban dilarikan ke RS Wahidin. (www.fajar.co.id)

Dipenghujung tahun 2006 peristiwa serupa pun terjadi di IKIP Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Mataram, Nusatenggara Barat, pada Selasa (22/8/06) siang, mengakibatkan seorang mahasiswa, M. Ridwan (21) asal Lombok Timur, meninggal dunia.

Ridwan meninggal dengan luka tusuk dibagian dada sebelah kanan dan dibawah ketiak kanan. Ridwan, mahasiswa semester V Fakultas MIPA jurusan Kimia, meninggal sekitar pukul 19.45 wita setelah menjalani perawatan di ruang ICU RSU Mataram. Sementara tiga mahasiswa lainnya masing-masing Zainal Mutakin, Heru dan Asmani mengalami luka-luka.

Aksi pemblokiran jalan di depan Kampus Universitas Cendrawasih Abepura (16/03/06) oleh masyarakat dan mahasiswa yang tergabung dalam Parlemen Jalanan dan Front Pepera PB Kota Jayapura, berakhir dengan bentrokan berdarah, menyebabkan 3 orang Brimob dan 1 intelijen TNI AU tewas, seorang ibu mengalami luka tembak, serta puluhan lainnya dari pihak mahasiswa dan pihak aparat mengalami luka-luka. (www.jakarta.indymedia.org)

Tertutupnya Ruang Dialog
Mencermatiketidak berdayaan sekaligus tumpulnya akal dalam menuntaskan segala persoalan dengan arif, bukan memakai kekerasan. Sejatinya kita, harus mengamini pernyataan Arif Rahman, pakar pendidikan menilai perlakuan tak wajar itu hadir karena lunturnya budaya toleran, dan tertutupnya ruang dialog dalam menyelesaikan permasalahan.

Menjamurnya bentrokan antar mahasiswa bukan saja dikategorikan sebagai kekerasan dalam pendidikan, tapi sudah termasuk pada kategori premanistik.

Cita-cita mulia pendidikan sebagai upaya memanusiakan manis pun harus rela raib ditelan kepongkahan dan keserakahan kita dalam mendidik anak. Apalagi, sang pendidik memberikan contoh tak layak. Seperti yang terjadi di Ngawi seorang Kepala Sekolah rela membocorkan lembaran jawaban saat Unjian Nasional beberapa pekan yang lalu.

Alaih-alih pencitraan supaya sekolahnya termasuk kedalam deretan sekolah unggulan dan percontohan pula menjadi pemicu aksi tak beradab tersebut.

Lebih parah lagi, melunturnya budaya dialog tercermin dari seberapa sauh kita bisa menerima perbedaan dalam soal pendapat.

Bila ruang-ruang tuker gagasan saja, sudah tak nyaman, bahkan hilang, maka tunggu keseragaman ide akan menjadi buahnya. Alhasil, kebiasaan bogem pula akan terus melekat dalam sanubari kaum terpelajar.

Keragaman merupakan sesuatu yang tak bisa kita nafikan. Namun, harus kita junjung lebih tinggi. Pasalnya, kemajemukan pertanda hukum alam.

Dengan demikian, kita harus mencoba mengarifi segala kemelut yang menimpa diri kita dengan lapang dada. Apalagi saat berselisih pendapat. Mestinya perbedaan bukan dijadikan sebagai laknat, tapi rahmat.

Thus, sederetan rapot merah mahasiswa pun tak akan disandang lagi oleh kaum terpelajar. [Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 10/05; 23.34 wib
×
Berita Terbaru Update