-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Suhuf (1)

Friday, June 15, 2007 | June 15, 2007 WIB Last Updated 2008-01-30T20:54:05Z
Hanya Ada Satu Kata Copot Widodo
Oleh Ibn Ghifarie

Apa pun alasannya, menembaki warga sipil dengan senjata api secara brutas sekaligus membabi buta tidaklah dibenarkan. Pasalnya, aksi penembakan oleh tentara terhadap penduduk Desa Alas Tlogo, Pasuruan, Jawa Timur (30/05) perlu dikutuk keras. Hingga mencopot petinggi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).

Tragisnya lagi, kejadian ini sampai menewaskan lima warga, satu di antaranya bocah ingusan yang baru berusia tiga tahun. Ironis memang.

Adalah Choirul bin Sutrisno, balita itu, meninggal di rumah sakit setelah dadanya tertembus peluru dari senapan laras panjang SS1. Saat terjadi penembakan, ia digendong ibunya, Mistin, yang berada di rumah. Sang ibu, yang juga tertembak di bagian kiri dadanya, langsung meninggal. Tiga korban lainnya juga tewas secara mengenaskan di kampung mereka sendiri.

Kelima korban itu jadi tumbal sengketa tanah ratusan hektare antara warga Alas Tlogo dan TNI Angkatan Laut. Tanah yang dikuasai 256 keluarga itu dipersengketakan sejak 1970-an. Ujungnya, Pengadilan Negeri Bangil memenangkan Angkatan Laut pada Maret lalu. Kendati kalah, warga meminta agar tanah itu tidak diutik-utik karena mereka sedang meminta banding. (Tempo, 31/05).

Wajah Muram Tentara
Inilah wajah muram Pertahanan Nasional Indonesia, yang dalam sejarahnya lahir dari rakyat, justru tega menembaki warga sipil.

Sikap membabi buta tentara dalam mempertahankan tanah juga tak klop dengan kebijakan pemerintah memberdayakan warga yang tak punya tanah. Bukankah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono justru berencana membagi-bagikan tanah buat rakyat miskin?

Tentunya, tak sesuai dengan undang-undang angraria. Sekali lagi, mestinya menteri pertahanan beserta jajaranya dapat mengayomi sekaligus melindungi kaum lemah. Bukan malah sebaliknya. Mentang-mentang peluru berasal dari hasil keringat rakyat dengan seenaknya tentara dapat mengambil nyawa wong cilik.

Bila perilaku ini yang terus terjadi, maka dimankah cita-cita luhur tentara sebagai pemegang kendali atas persoalan bangsa dari serbuan negara lain.

Wajar jika penduduk indonesai sudah tidak taat lagi pada pemimpinya. Karena para pejabat sudah tidak berpihak lagi pada mereka, kecuali demi kepentingan pribadi atau kelompok.

Buah dari Sistem Tentara Top Down
Menyoal bentrokan antar rakyat dan tentara tak ada cara lain selain mencopot Widodo. Sebab dala kehidupan militer di negara manapun termasuk di lingkungan TNI dalam kaitanya dengan tugas suci hanya mengenal azas top down.

Perintah merupakan hukum tertinggi. Bahkan bagi TNI soal kepatuhan dan ketaatan justru dijadiakn salah satu isi Sumpah Prajurit. Di samping juga sebagai salah satu butir kode etik moral TNI bernama Sapta Marga

Di sinilah maka dilingkungan TNI dan militer dimanapun berlaku prinsip dasar `Tidak ada prajurit bawahan yang salah` kata Saurip Kadi, Pati Mabes TNI AD berpangkat Mayor Jendral TNI dalam acara Stadium General; Menata Ulang Paradigma Kebangsaan Untuk Menemukan Suara Indonesai (04/06) di Ruang Sidang Rektorat UIN SGD Bandung yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Aqidah Filsafat (HIMA AF) dan Masyarakar Aqidah Filsafat (MAFI) Bandung.

Dengan demikian, segala sesuatu dan tingkah polah prajurit semuanya bersumber pada atasanya.

Lihatlah dalam keseharian tentara di barak-barak. Janagnkan menembak, untuk sekedar mengisi dan mengosongkan senjata dengan atau dari peluru saja atas perintah, tambahnya.

Segera Copot Widodo
Kendari menuai polemik saat terjadi penembakan antara versi tentara dan mansarakat. Yang jelas kaum lemah sudah tertindas akibat kepongkahan penguasa.

Pencopotan jabatan dan keanggotaan para pelaku pun harus menjadi skala prioritas seperti yang diutarakan oleh Komandan Korps Marinir Mayor Jenderal Safzen Noerdin.

Kalau perlu Widodo, Menhankam (Menteri Pertahanan dan Keamanan) pula harus dengan rela melepas jabatnya. Karena ulah prajuritnya. Bukan malah melindunginya dengan selalu berkata ‘itu hanya peluru pantulan saja, bukan asli tembakan prajuritnya`.

Lagi pula masyarakat melakukan penyerangan terlebih dahulu dan membawa benda-benda tajam. Maka wajar bila tentara menembakan pelurunya buat mempertahankan keselamatan, jelasnya.

Namun, kita tidak ingin melihat prosesnya berhenti di sini, masuk peti es, lalu dilupakan--seperti banyak peristiwa kekerasan militer di Tanah Air yang terdahulu. Sudah cukup kita memetik contoh kelam dari Aceh, Ambon, Maluku, Papua, makasar dan sejumlah wilayah di Indonesia.

walhasil, pelaku penembakan di Alas Tlogo wajib diproses secara hukum, diadili, dan ditindak. Persoalan tanah yang masih menjadi sengketa hendaknya diselesaikan oleh aparat penegak hukum.

Diakui atau tidak sedari awal mestinya polisi yang mengambil alih urusan pengamanan. Memang kita harus mengingatkan Tentara Nasional Indonesai (TNI) beserta marinirnya, mereka bukanlah aparat penegak hukum. pengawal tanah apalagi.

Kalaupun tanah itu benar milik TNI, haram kukumnya mengusir warga dengan peluru tajam. Hanya upaya penegakan hukum yang patutlah bisa sedikit memulihkan rasa keadilan. [ Ibn Ghifarie]

Cag Rampes Pojok Senat, 04/06;13.36 wib
×
Berita Terbaru Update