-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kitab (2)

Sunday, January 13, 2008 | January 13, 2008 WIB Last Updated 2008-01-30T21:02:14Z
Menanti Ajal
Oleh Ibn Ghifarie

Di kala kondisi kesehatan Soeharto tak kunjung membaik. Malah kian hari kian kritis. Tanpa disabari seorang kawan memberikan informasi via pesan singkat ‘Soeharto sudah wafat’ kata Cak Nun dalam wawancara ELSINTA radio, 5 (lima) menit yang lalu. 11 Januari 2008. pukul 22.13; 41 wib.

Sontak saja, aku bersama kawan-kawan yang lagi ngumpul di Sekretariat Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung tanpa dikomandoi langsung melangkahkan kaki ke ruang tamu untuk melihat sekaligus mengecek kebenaran informasi tadi.

Setelah hampir setengah jam, mengklik remot Tv guna mengetahui kondisi terakhir Presiden zaman Orba itu, memang kritis dan terjadi kemunduran sangat drastic pada hampir seluruh fungsi organ bapak pembangunan tersebut.

‘Alah geuning berita (tina SMS [Sort Masage Service]-red) tadi the teu bener nya. [Wah berita (dari SMS [Sort Masage Service]-red) ga bener ya!]’ Cetus Jamhur, anggota Post (Sebutan Alumni) LPIK.

‘Pan sababraha kali ningalian jeung mindahkeun berita tina TV, euweuh anu nyebutkeun geus maot. Lamun geuring emang bener. Jadi mana anu bener yeuh? [Kan sudah beberapa kali liat berita dari Tv, tidak ada yang menyebutkan telah meninggal. Kalau sedang sakit memang ia. Jadi mana yang benar itu?], tambahnya.

Hal senada pula dilontarkan oleh Fardi, Bendahara Uum LPIK menuturkan ‘Cing tingali dina Metro. Biasana pan sok update [Coba liat di Metro. Biasanya kan suka update]’, cetusnya.

‘Geuning sarua euweuh anu ngaberitakeun maot Soeharto. Kalah geus ripuh geuringna [Memang tidak ada yang memberitakan meninggalnya Soeharto. Kian hari kondisinya semakin kritis’, jelasnya.

Berulangkali memindahkan cenel, kabar kematian penguasa 32 tahun itu pun tak kunjung datang juga. Obrolan malam malah beralih pada asal-muasal lengsernya Presiden Ke 2 Indonesia. Hingga wacana susahnya kematian pentolan keluagra Cendana itu.

Salah satu dari kami menanggapinya dengan polos, ‘Nya kitu ari ngelmu kejawen wae. Pan rek paeh oge meuni hese jeung ngariweuhkeun ka kabeh masarakat [Ya begitu kalau mempelajari mantra kejawen. Untuk meninggal saja susahnya minta ampun dan menyushkan masyarakat banyak]’ ungkapnya.

‘Ini harus jadi pelajaran bagi kita. Siksaan bagi yang berbuat lalim tak hanya di perhitungkan kelak, tapi sekarang di dunia pula dilihatkan,’ paparnya.

Lepas dari persoalan susahnya melepas aspek badani, kemunculan iseu pemeriksaan dugaan korupsi terhadap Ayah Tomy ini, Hikmat anggota LPIK menuturkan, ‘Kalau sudah sakit begini, baru di wacanakan untuk memeriksa kekayaannya, tapi saat sehat jarang orang-orang menggembar gemborkan dugaan korupsi tersebut,’

Bukankah ini cara lain untuk mengalihkan persoalan Indonesia yang sedang mendera bangsa kita, mulai dari bencana, susahnya minyak tanah, pendidikan yang terbelakang, sampai pencaplokan seni oleh Malayasia. Hingga kita disibukan dengan berita kritis Soeharto itu ungkapnya.

Diskusi jelang pagi pun, mulai pudar seiring merayapnya malam. Satu persatu dari kami meninggalkan tempat ngumpul itu. Hanya suara semilir angina dan bunyi-bunyian binatang malam yang menemani kegelisahan aku.

Kendati ajal telah di depan matanya. Ku hanya bisa berdoa dan berharap semoga lekas sembuh. Bila memang tak bisa sehat lagi, berikanlah ketabahan pada keluagnya dan mohon maaf kepada seluruh warga negara Indonesia atas segala kehilafan yang telah Ia perbuat. Semoga Tuhan mengabulkan permintaanku. Amien. [Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 12/01/08;03.25 wib
×
Berita Terbaru Update