-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kitab (16)

Sunday, February 10, 2008 | February 10, 2008 WIB Last Updated 2008-02-10T14:48:17Z
Imlek dan Solidaritas Antarumat Beragama
Oleh Ibn Ghifarie

Pasca di cabutnya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang segala aktivitas berbau Tionghoa dan SE Menteri Dalam Negeri Nomor 477/74054/BA.01.2/4683/95 oleh Presiden Abdurrahman Wahid membuat komunitas Tionghoa Indonesia sedikit lega.

Betapak tidak, setelah hampir 32 tahun silam golongan non-pribumi ini tak bisa hidup bebas di Bumi Pertiwi. Kini, geliat kebangkitan masyarakat keturunan China pun mulai kelihatan lagi. Terlihat dari maraknya perayaan kalender China, mulai dari Imlek, pergelaran barongsay di halayak banyak, hingga Peringatan 600 Tahun Pelayaran Cheng Ho Ke Semarang, Mengenang Sang Raja Laut (2005).

Chang Ho; Risalah Ajaran Islam
Padahal, keberadaan mereka sangat jelas memberikan andil begitu besar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Khususnya, bagi penududuk Indonesia yang mayoritas beragama islam.

Kehadiran etnis Tionghoa tak bisa di pisahkan dari sosok Laksamana Cheng Ho, seorang pelaut muslim yang tangguh. Awal keberadaan Islam di tanah Jawa pula yak hanya dari Arab (Mekah) dan India (Gujarat), melaikan bermuara dari Sam Po Kong. (Slamet Muljana;Jakarta, 1968).

Adalah Laksamana Cheng Ho atau lebih dikenal dengan sederetan nama-nama; Cheng Ho (Tionghoa Tradisional:鄭和, Tionghoa Sederhana: 郑和 , Hanyu Pinyin: Zhèng Hé, Wade-Giles: Cheng Ho; nama asli: 马三宝 Hanyu Pinyin: Ma Sanbao; nama Arab: Haji Mahmud; Sam Po Kong (1371 - 1435).

Cheng Ho merupakan seorang kasim muslim, pelaut sekaligus penjelajah China terkenal yang melakukan beberapa penjelajahan antara tahun 1405-1433 saat kaisar Tiongkok Yongle (berkuasa tahun 1403-1424), kaisar ketiga dari Dinasti Ming.

Orang nomer satu di Kaisar Yongle memiliki nama aslinya; Ma He, atau Ma Sanbao (馬 三保), berasal dari provinsi Yunnan, bersuku Hui, suku bangsa yang secara fisik mirip dengan suku Han, tapi beragama Islam. Kala pasukan Ming menaklukkan Yunnan, Cheng Ho ditangkap dan dijadikan orang kasim.

Sejatinya kehadiran Hari Raya Imlek mestinya kita jadikan sebagai momentum evaluasi secara bersama, mulai dari nilai dinamika keberagamaan [antar, intra] kita, sampai sisitem pemerintah.
Pasalnya, tanpa kesadaran kolektif dari semua kalangan masyarakat niscaya sebuatan Nusantara yang toleran, terbuka akan semakin tenggelam. Beringas, murka akan semakin memperburuk pencitraan Indonesia di mata Internasional.

Tentunya, saling hujat-menghujat, bunuh-membunuh, kafir-mengkafirkan, hingga merusak tempat ibadah agama apa pula akn lebih semarak sekaligus membabi buta. Mengerikan memang.

Solidaritas Antarumat Beragama
Agama boleh berbeda-beda. Namun, pada dasarnya semua agama mengajarkan kebajikan dan perdamaian. Dalam agama islam dan Kong Hu Cu misalnya, terdapat banyak ajaran dasar mengenai kebajikan dan kedamaian. Hanya pengungkakannya yang berbeda.

Islam sendiri sudah bermakna salam (damai). Agama Konfusius senantiasa menyerukan sepuluh iman menjunjung Kebajikan (Cheng Juen Jie De) di bumi.

Bandingkan pula doktrin rahmatan lil alamin dalm islam dan Lima Sifat Kekekalan (Wu Chang); Ren (Cintakasih), Yi (Kebenaran/Keadilan/Kewajiban), Li (Kesusilaan, Kepantasan), Zhi (Bijaksana), Xin (Dapat dipercaya) dan Delapan Kebajikan (Ba De); Xiao (Laku Bakti), Ti (Rendah Hati), Zhong (Satya), Xin (Dapat Dipercaya), Li (Susila), Yi (Bijaksana), Lian (Suci Hati), Chi (Tahu Malu).

Di tengah-tengan keterpurukan bangsa dan konflik antar ras, suku dan agama kian menggebu-gebu. Tengoklah, hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) tentang "Toleransi Sosial Masyarakat Indonesia" yang dilaksanakan di 33 provinsi dengan 1.200 responden, menunjukkan tingkat toleransi antarumat beragama di negeri ini cukup rendah. Sebanyak 42,3% responden menyatakan keberatan jika penganut agama lain mendirikan tempat ibadah di lingkungannya. Hanya 38,1% saja yang tidak merasa keberatan. (detik.com, 7 Agustus 2006)
Jejak pendapat ini menunjukkan penghargaan masyarakat terhadap keberagamaan orang lain yang berbeda keyakinan dengan mereka masih tergolong amat rendah. Jika dikataakn tidak sama sekali.

Tentunya, pelbagai konflik pun sarat kepentingan ‘pemuka agama’. Hal ini menunjukan keterbukaan memang menjadi barang mahal ongkosnya. Belum lagi, kemelut yang menimpa satu agama menjadi perlengkap jarangnya dialog antar umat beragama. Semuanya memang mengerikan. Seakan-akan kehidupan beragama di negeri ini tak ramah lagi.

Belajar Dari Klenteng
Menilik ketidakharmonisan antar umat beragama. Mestinya kita menengok kembali terhadap Klenteng guna membangun solidaritas. Pasalnya, tempat ibadah itu memberikan kepada kita tentang keterbukaan, toleransi, dan keragaman.

Lihatlah, saat praktik ibadah. Pemeluk keturunan Tionghoa; agama Budha, Kong Ho Cu, Tao bisa bergandeng tanga di Kelenteng Tri Dharma. Satu atap lagi. Sungguh indah sekaligus syahdu. Seakan-akan perbedaan menjadi modal dasar dalam membangun kehidupan yang lebih bae lagi. (www.islamlib.com)

Kiranya, petuah ‘Perbedaan adalah rahmat’—ajaran islam pun telah diperaktikan oleh mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Beriringan Tahun Baru Masehi, Hijriah dan Imlek tak membuat kerukunan antar umat berkeyakinan semakin membaik. Malah saling mengecam satu kelompok agama dengan yang lainya. Hingga menyebabkan bentrikan dan berujung kepada kematian.

Nah, Bila memang perilaku ini yang terjadi dimanakah petuah Rasulullah Mencaci maki orang muslim itu kufur, sedangkan membunuhnya juga kafir.” (H R Bukhari-Muslim).
Jangankan untuk membunuh, saling caci-maki se-agama, atau antar beda keyakinan tak diperbolehkan.

Dengan demikian, sikap keterbukaan, toleransi dan menghargai keragaman menjadi modal utama dalam membangun solidaritas antarumat beragama. Apalagi saat menyambut datangnya Hari Raya Imlek [1 Imlek 2559]. Gong Xi Fa Cai ....!!. Semoga.

*Pegiat Studi Agama-Agama dan Pemerhati Kebebasan beragama.

[Pernah dimuat di Kompas Jabar, edisi 02 Februari 2008]
×
Berita Terbaru Update