-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kitab (3)

Monday, July 07, 2008 | July 07, 2008 WIB Last Updated 2008-07-16T03:04:24Z
Menebar ’Pesan Suci’ Uero 2008
Oleh Ibn Ghifarie

Uero 2008 telah berakhir. Kesebelasan Spayol pun harus menjadi raja di penjuru Eropa. Kekalahan telak pula mesti ditelah patih oleh Jerman. Lantas pelajar berharga apa yang dapat kita ambil dari perhelatan akbar itu?

Pun bagi para pegiat studi agama-agama dan pemerhati dialog antariman yang kian hari berseteru soal keumatan (keimanan dan keyakinan). Seakan-akan ajaran suatau agama hanya mengedepankan aspek ketuhanan semata.

Karut-marut persoalan kebangsaan (kenaikan harga bahan bakar minyak, kisruh kejaksaan agung, polemik hasil penghitungan suara pilkada, kisruh verifikasi partai polikit yang akan mengikuti pelihihan 2009, keterbelakanan pendidikan, bocornya soal Ujian Nasiola, merebaknya viru flu burung, terjangkitnya busung lapar) pula luput dari perhatian kita. Ironis memang.

Harus diakui memang pascaditabuhnya genderang dialog antarbudaya di Eropa saat memasuki tahun 2008 oleh Parlemen dan Dewan Uni Eropa di Brussels dengan mendeklarasi tahun 2008 sebagai Tahun Dialog Antarbudaya (intercultural dialogue) untuk Benua Eropa. Tak tanggung-tanggung, kepada Komisi Kebudayaan yang dipimpin Ján Figel diberi budget 10 juta euro untuk kesuksesan Tahun Dialog Antarbudaya di benua malam.

Mengejutkan memang. Bukan lantaran karena anggarannya, tapi perubahan paradigma. Sejak PD II, Eropa bergelut dengan masalah derasnya arus imigrasi hingga berpuncak pada diskusi alot dan berkepanjangan tentang integrasi. Persepsi integrasi membias dalam pelbagai diskurs, pleidoi, dan klaim, baik pada penduduk asli maupun pada kaum pendatang. Dialog kadang dinilai sebagai usaha kelompok imigran yang ingin mendapatkan pengakuan.

Kini, kesan itu sudah berubah. Dengan mengagendakan 2008 sebagai Tahun Dialog, Uni Eropa beralih kepada pemahaman baru. Dialog bukan lagi hal sekunder yang dilaksanakan sebagai "pengemisan" warga minoritas untuk mendapat pengakuan dan perlindungan dari pihak mayoritas. Dialog adalah sebuah aksi timbal balik antara warga mayoritas dan minoritas, antara warga setempat dan kaum pendatang. Sebuah kebutuhan akan kualitas kehidupan yang lebih baik. Di sana ko-eksistensi yang berkualitas resiprokal itu lebih ditekankan. (Kompas, 26/2/2008)

Semangat Antirasis

Sejalan dengan semangat tahun 2008 merupakan Tahun Dialog Antarbudaya. Kahadiran Uero 2008 pun menelorkan ‘pesan suci’ bertajuk ‘Bersatu Melawan Rasisme’ (Unite Against Racism)
Masih terpatri dalam benak kita saat perwakilan tim yang lolos ke babak semifinal Piala Eropa harus membacakan ikrar antirasisme sebelum pertandingan dimulai. Pembacaan ikrar itu sebagai bagian dari kegiatan kampanye Bersatu Melawan Rasisme selama penyelenggaraan Piala Eropa 2008.

Adalah pernyataan dari organisasi Football Against Racism in Europe (FARE) bekerja sama dengan UEFA dan organisasi para pemain FIFPro, kapten dari setiap tim ditunjuk untuk membacakan ikrar antirasisme dan menghargai perbedaan. Pembacaan ikrar dilakukan di lapangan sebelum pertandingan.

Tengok saja, kala pertandingan antara Jerman dan Turki atau Spayol dan Rusia. Kapten tim nasional Jerman, Michael Ballack; Turki, Recber Rustu; Spanyol, Iker Casillas, dan Rusia tak boleh melewatkan ritual sekaligus sumpah suci tersebut.

Uniknya lagi, saat membacakan ikrar, kedua tim akan diapit oleh dua buah bendera Bersatu Melawan Rasisme dan sejumlah suporter akan diajak menarikan tarian antirasisme. Pesan antirasisme juga dibuat berupa hiasan untuk 40.000 kursi penonton di Stadion St Jakob Park dan 50.000 kursi penonton di Stadion Ernst Happel.

Tak mau ketinggalan, Presiden UEFA Michel Platini juga menyambut baik kegiatan kampanye antirasisme tersebut. ”Kampanye Bersatu Melawan Rasisme menunjukkan bahwa kita menghormati perbedaan. UEFA menjamin pelaksanaan kegiatan sepak bola, seperti Piala Eropa dimainkan secara harmonis dan saling menghormati,” kata Platini. (Kompas, 26/06/2008)

Semangat Menghargai Perbedaan
Memang sepak bola memang mampu menghipnotis penduduk bumi untuk menghilangkan sekat-sekat atau batas-batas, baik itu sekat territorial, geografis, suku, agama maupun kewarganegaraan.

Orang merasa asyik bila bicara pelbagai hal terkait sepak bola. Tua-muda, kaya-miskin, laki-laki-perempuan, pejabat-penganguran, islam-kristen, hindu-budha, sunda wiwitan-kejawen ikut memeriahkan perhelatan akbar ini.

Apapun agamanya, Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu dan lainnya kalau dia sudah simpati dan menjadi fans berat David Beckham, maka kelompok fans ini akan bersatu dan mengeluk-elukan pemain Inggris ini sebagai idolanya.

Tengok saja, di Kuil itu, tahun 2000 silam, demikian penuturan Bikhu Budha, teronggok sebuah patung David Beckam, Kapten kesebelasan inggris. Ya, sepak bola telah menyihir dunia keberagamaan

Pasalnya, sepak bola telah mempertemukan akan manusia dari pelbagai penjuru dunia. “Bola sebagai media egaliter dan media persatu,” kilah Hery Prasetyo, Jurnalis Tabloid Bola Soccer.
Lebih jauh, Ia menuturkan, “Sepak boal legi sukses daripada serangkaian Konfrensi-konfrensi yang dilakukan untuk menyatukan seluluh umat di dunia. Di sini tidak ada lagi sekat entis, suku agama maupun warna kulit,” jelasnya. (Majalah Syirah Juni 2006)

Dengan demikain, sikap sportifitas, keterbukaan, toleran dan menghargai semuanya terangkum dalam persepakbolaan.

Tak ada, kisruh antar penonton (lain agama dan lain ras). Yang nampak kedamaian, keindahan dan baersatu dalam perbedaan.

Pengakuan perbedaan atas keragaman apapun (warna kulit, etnis, adat, budaya, maupun keyakinan keagamaan) tak sebatas diungkapkan dalam bahasa toleransi (al-tasamuh). Karena toleransi bermakna tenggang rasa terhadap pihak lain ketika mereka bersalah. Tapi lebih aktif untuk menerima dan menyongsong yang lain, bukan sekadar tenggang rasa.

Qabulul akhar (sikap menerima yang lain) lebih jauh menyeberang melampaui toleransi untuk menyongsong sang lain. Inilah yang dicita-citakan oleh Milad Hanna, seorang Kristen Koftik Mesir dan pegiat dialog antariman sekaligus pejuang Hak Asasi Manusia melalui bukunya "Qabulul Akhar:Min Ajli Tawashuli Hiwaril Hadlarat atau "Menyongsong yang Lain Membuka Pluralisme versi indonesia" (Milad Hanna, Cairo:2000)

Mencoba membumikan tahun dialog antarbudaya melalui bersatu melawan rasisme. Masih menurut Hanna, moodal utama dalam dialog antaragama adalah budaya qabul al-akhar (sikap menerima yang lain). Pasalnya, budaya ini dimulai dari saling memahami dan membuka diri. Nantinya jalan menuju qabul al-akhar akan terbuka sendiri. Jika kita telah memiliki budaya qabul al-akhar, kita akan dianugerahi hubb al-akhar (mencintai yang lain).

Nah, bila prilaku dan sikap menerima yang lain telah tertanam dalam diri kita, maka cita-cita luhur British Council dalam program-program yang bersinggungan dengan Dialog Antarbudaya akan tercapai: Pertama, Memperkuat pemahaman dan tingkat kepercayaan antara masyarakat dari UK dengan masyarakat lainnya. Kedua, Memperkuat konsensus untuk menolak semua bentuk ekstrimisme. Ketiga, Meningkatkan kemampuan individu-individu dan organisasi dalam menyumbangkan perubahan sosial yang positif dan memperkuat masyarakat sipil. Keempat, Meningkatkan penggunaan bahasa Inggris sebagai alat untuk komunikasi internasional dan pemahaman antar budaya. Semoga.

*Penulis adalah Pegiat Studi Agama-agama dan Pemerhati Kebebasan Beragama.
×
Berita Terbaru Update