-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kitab (10)

Friday, January 23, 2009 | January 23, 2009 WIB Last Updated 2009-02-25T02:56:12Z
Bercermin Toleransi dari Kelenteng
Oleh IBN GHIFARIE

Judul dan subtansi tulisan ini terinspirasi oleh hasil laporan bedah buku Jerusalem: Kesucian, Konflik dan Pengadilan Akhir karya Trias Kuncahyono, Wakil Pimpinan Redaksi Harian Kompas di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung yang dimuat di Harian Kompas Biro Jawa Barat, Jumat (5/12) tentang indahnya keragaman dan pentingnya toleransi yang mulai terkikis dari kehidupan keseharian antarumat beragama di Nusantara ini.

Di akui atau tidak kemerdekaan, keadilan, dan sikap keterbukaan menjadi barang langka di Bumi Pertiwi. Urusan keimanan saja pemerintah masih ikut mencampurinya. Mengerikan memang.

Mampukah kehadiran Imlek (1 Imlek 2560) yang jatuh pada tanggal 26 Januari 2009 kita akan mendapatkan pengalaman (sikap keberagamaan) yang terbuka, ramah, toleran, inklusif, adil dan pengakui perbedaan keyakinan (sekte, madzab, denominasi, aliran) untuk tumbuh dan berkembangnya dialog intra religius.

Nilai Nabi Kongzu
Salah satu pelajaran berhagra yang bisa kita petik dengan adanya pergantian tahun China ini adalah Kelenteng. Pasalnya, dari tempat ibadah ini terpancar sikap keterbukaan, toleransi, dan keragaman.

Semula pra di cabutnya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang segala aktivitas berbau Tionghoa dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 477/74054/BA.01.2/4683/95 oleh Presiden Abdurrahman Wahid Kelenteng selalu di identikan dengan Vihara (Budha). Kini, tidak lagi. Bahkan masyarakat keturunan China pun dengan leluasa dapat bersembahyang di depan Altar Langit (Thian Than) Sang Nabi.

Sebutan Tri Dharma (Tiga Ajaran Kebajikan) pun melekat pada tempat peribadatan Tionghoa sekaligus upaya memelihara, menjungjung nilai-nilai ajaran yang telah disampaikan oleh Kongzu. Lepas dari apakah mereka dikategoritan agama Budha, Tao atau Konghucu. Yang jelas mereka keturunan Konzi dan harus memelihara sekaligus menyebarluaskan ajaran kebaikan dan kebijaksanaan tersebut.

Adalah Kongzi, Khongcu atau Confucius hidup pada jaman Dinasti Zhou (551-479 sM). Kala itu, ia menganjurkan agar Dinasti Zhou kembali menggunakan Kalender Xia, sebab tahun barunya jatuh pada musim semi, sehingga cocok dijadikan pedoman bercocok tanam. Namun nasihat ini baru dilaksanakan Han Wu Di dari Dinasti Han (140-86 sM) pada 104 sM. Semenjak itulah Kalender Xia dipakai. Kini dikenal dengan sebagai Kalender Imlek.

Upaya penghormatan kepada Kongzi, perhitungan tahun pertama Kalender Imlek ditetapkan oleh Han Wu Di dihitung sejak kelahiran Kongzi, yaitu sejak tahun 551 sM. Itulah sebabnya Kalender Imlek lebih awal 551 tahun ketimbang Kalender Masehi. Jika sekarang Kalender Masehi bertahunkan 2009, maka Kalender Imlek bertahunkan 2009+551=2560. Pada saat bersamaan agama Khonghucu (Ru Jiao) ditetapkan Han Wu Di sebagai agama negara. Sejak saat itu penanggalan Imlek juga dikenal sebagai Kongli (Penanggalan Kongzi).

Kebaikan Nabi Kongzi tu, termaktub dalam Kitab Tiong Yong (XXX : 4) /Zhong Yong, “Maka gema namanya meliput seluruh Tiongkok, terberita sampai ke tempat Bangsa Ban/Man, dan Bek/Mo, sampai kemana saja perahu dan kereta dapat mencapainya, tenaga manusia dapat menempuhnya, yang dinaungi langit, yang didukung bumi, yang disinari matahari dan bulan, yang ditimpa salju dan embun, semua makhluk yang berdarah dan bernafas, tiada yang tidak menjunjung dan mencintaiNya.” (www.matakin-indonesia.org)

Dalam kontek Jawa Barat, terdapat sekitar 100 Kelenteng yang tersebar di Kabupaten/Kota. Vihara Satya Budhi (Yayasan Satya Budhi) merupakan Kelenteng tertua dan terbesar di Bandung yang dibangun pada tahun 1885, Jalan Klenteng No. 2, 23 A Kota Bandung, Jawa Barat. (Kompas, 15/01)

Kunci Perdamaian
Tibanya Imlek bagi umat Khonghucu harus menjadi momentum lambang semangat perjuangan dan kemenangan di dalam berusaha membina kehidupan agamanya. Juga Menjadi lambang persaudaraan di antara umat Ji Kau/Ru Jiao, Hud Kau/Fo Jiao, dan Too Kau/Dao Jiao.

Sekali lagi, perilaku toleran itu terlihat saat praktik Ibadah di Altar Langit (Thian Than) Kelenteng Tri Dharma. Memang indah dan sahdu. Seakan-akan perbedaan keyakinan (Budha, Tao, Konghucu) menjadi modal dasar dalam membangun kehidupan yang lebih baik lagi.

Menurut Muhammad Dawam Rahardjo dalam buku Demi Toleransi, Demi Pluralisme (2007) toleransi merupakan kunci perdamain dan kedamaian, kunci dari persamaan serta kunci proresifitas. Toleransi bukan berarti lemah dalam agama. Bahkan dengan toleransi dapat dipahami keyakinan orang lain lebih baik tanpa harus percaya.

Toleransi erat kaitanya dengan pluralisme. Melalui pluralisme kita bisa saling memahami. Saya berbeda pendapat, keyakinan, pemahaman dengan orang lain tanpa harus memusuhi. Baginya, dalam pelbagai diskusi yang dilakukan dengan banyak orang Ia merasa bahwa banyak temen-temen yang takut dengan pluralisme. Seolah-olah pluralisme sebuah ancaman atau menempatkan diri dalam dunia ancaman. Tetapi pengalaman saya tidak.Justru pluralisme dan toleransi membuat saya lebih damai.

Inilah pelajaran berharga dari Kelenteng bagi dialog intra religius. Kiranya, sabda Kongzi pun layak kita dengungkan “Bila suatu kali engkau menjadi baru maka tetaplah jaga agar engkau senantiasa baru (Da Xue II, 1) dan Gan Yan/Yan Yuan, bertanya bagaimana mengatur pemerintahan. Nabi bersabda, “Pakailah penanggalan Dinasti He” Kitab Lun Gi/Lun Yu,XV :11).

Sungguh perkataan Nabi Khongcu--yang di dalam seluruh hidupnya mencurahkan perhatian sebagai upaya mense sejahterakan dan membahagiaan rakyat. Sanagtlah wajar bila Ia bersabda kepada Gan Hwee/Yan Hui, tentang pemerintahan yang baik dianjurkan menggunakan penanggalan Dinasti He. Semoga keindahan dalam perbedaan mewujud di Indonesia. Selamat Hari Raya Imlek 2560/2009. Gong XI Fa Cai.

* IBN GHIFARIE, Pegiat Studi Agama-Agama dan Pemerhati Kebebasan Beragama.

Tulisan ini pernah dimuat di Harian Kompas Biro Jabar, Sabtu 24 Januari 2009
×
Berita Terbaru Update