-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Mushaf (17)

Tuesday, May 25, 2010 | May 25, 2010 WIB Last Updated 2010-05-26T01:03:17Z
Kenaikan Yesus dan Fiksi Sunda
Oleh IBN GHIFARIE
(Artikel ini dimuat pada Forum Kompas Jawa Barat edisi Rabu 12 Mei 2010)

Harus diakui, ketidakbiasaan membaca yang ditanamkan sejak dini membuat minat baca terhadap buku Sunda dikategorikan sangat rendah. Akibatnya, pemahaman kawula muda soal bahasa daerah (Sunda, Cirebonan, dan Melayu Betawi) di Pasundan semakin minim. Mengerikan memang.

Keberadaan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah; Perda No 6/2003 tentang Pemeliharaan Kesenian Daerah; dan Perda No 7/2008 tentang Penetapan Bahasa Daerah sebagai Bahasa Kedua di Sekolah hanya sebatas tulisan yang dimuat pada pasal-pasal undang-undang semata.

Tidak adanya pengepopan buku-buku Sunda semakin memperburuk dan memperlemah minat baca masyarakat Pasundan. Soal membaca surat kabar apalagi. Malah budaya menonton melalui media televisi menjadi andalan sehari-hari.

Mari tengok hasil Survei Sosial Ekonomi Daerah Provinsi Jawa Barat 2009. Sebanyak 5,3 juta penduduk Jabar ini memiliki kebiasaan membaca surat kabar. Jumlah itu hanya 15,4 persen dari total penduduk berusia 10 tahun ke atas yang tercatat 34,6 juta jiwa. Tentu persentase itu tidak banyak berubah dibandingkan dengan kondisi tahun 2004 dengan porsi pembaca koran 15,3 persen.

Parahnya, kehadiran perpustakaan sebagai lumbung ilmu di Jabar ini juga minim. Hanya ada 48 perpustakaan di seluruh kota/ kabupaten di Jabar. Untuk Kota Bandung tercatat 78 perpustakaan tingkat kelurahan di 12 kecamatan dan 3-5 pustakawan yang mengelola satu perpustakaan. Badan Perpustakaan Daerah yang membidani seluruh perpustakaan di bumi Parahyangan ini pun sangat memprihatinkan. Ironis.

Kekhawatiran akan memudarnya bahasa Sunda ini di mata Ajip Rosidi harus menjadi perhatian dan tanggung jawab semua. Beragam inovasi (buku ngepop, mobil baca, taman baca masyarakat, sanggar baca, rumah baca, dan klinik baca) sangat menentukan dalam memikat perhatian generasi muda (Kompas, 25/5/2009, 3/3/2010, dan 27/3/2010).

Mampukah kehadiran Kenaikan Yesus Kristus yang jatuh pada 13 Mei 2010 tidak hanya merayakan proses perjalanan (kenaikan) Isa menuju surga, tetapi juga dapat memberikan semangat kebangkitan untuk meningkatkan buku dan minat baca di Priangan?

Spirit Kenaikan
Kenaikan Juru Selamat ke taman surga merupakan rangkaian kebangkitannya pada hari Paskah. Peristiwa ini hanya dapat diselami dalam pengalaman Paskah saat Mesias dibangkitkan sekaligus diangkat dari kematian.

Ingat, kejadian agung ini merupakan bukti nyata keimanan yang teguh dan kokoh. Bila Paskah memberikan harapan akan kebangkitan badan dan penebusan dosa, kenaikan Isa memberikan pesan terdalam ihwal perutusan dan anugerah pencurahan Roh Kudus.

Umat Kristiani meyakini prosesi kenaikan sebagai bentuk dimuliakannya Yesus oleh Bapa. Hal ini dimuat dalam Kisah Para Rasul 1:6-11. Maka bertanyalah mereka yang berkumpul di situ, “Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel ?” Jawab-Nya, “Engkau tidak perlu mengetahui masa dan waktu, yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya. Tetapi, kamu akan menerima kuasa kalau Roh Kudus turun ke atas kamu dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Jerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.”

Sesudah Ia mengatakan demikian, terangkatlah Ia disaksikan oleh mereka, dan awan menutup-Nya dari pandangan mereka. Ketika mereka sedang menatap ke langit waktu Ia naik itu, tiba-tiba berdirilah dua orang yang berpakaian putih di dekat mereka dan berkata, “Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke surga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke surga.”

Fiksi Sunda
Salah satu buku yang jarang diterbitkan adalah fiksi bahasa Sunda. Minimnya minat pengarang dan konsumsi masyarakat menjadi penyebab utama tidak diterbitkannya mahakarya. Juga, tak ada anggapan soal cerita Sunda hanya dimiliki segelintir pegiat, misalnya Godi Suwarna.

Menurut Taufik Faturohman, Direktur CV Geger Sunten, dalam lima tahun terakhir jumlah buku fiksi berbahasa Sunda (novel, kumpulan guyonan, dan puisi) yang diterbitkan semakin berkurang, dari 20 buku per tahun menjadi lima buku per tahun.

Kondisi ini diperburuk dengan anggapan pengarang bahwa buku Sunda jarang peminatnya. Ditambah lagi royalti yang didapat minim dan lama. Hal itu membuat perbukuan fiksi semakin tak jelas. Lihat saja, untuk satu buku (fiksi) berbahasa Sunda yang dicetak 2.000 eksemplar, upah yang didapat hanya Rp 1 juta-Rp 2 juta dalam tiga tahun.

Lambannya penjualan menjadi faktor tergerusnya buku Sunda dari bacaan lain. Hal ini diakui Rahmat Hidayat, Direktur Penerbit Kiblat. Adanya penghargaan Rancage tidak mampu meningkatkan penjualan buku-bukunya. Semula Penerbit Kiblat mencetak 3.000 buku untuk cetakan pertama, tetapi kini hanya berani mencetak 1.000 eksemplar. Menurut Rahmat, penjualannya sangat lambat, rata-rata hanya 500 eksemplar per tahun.

Bagi Hawe Setiawan, lambatnya penjualan fiksi Sunda dikarenakan promosi dan distribusi tak memadai. Dari segi isi, fiksi berbahasa Sunda tidak kalah dari fiksi berbahasa Indonesia saat ini. Padahal, membaca buku berbahasa Sunda tidak sulit dibandingkan dengan bahasa Indonesia.

Keterlibatan dan dukungan pemerintah sangat menentukan hidup matinya buku fiksi. Ini tak mendapatkan perhatian dari Dinas Pendidikan Jabar. Terbukti hanya ada 500 buku karya sastra fiksi Sunda (Kompas, 7/1/2008 dan 17/3/1009).

Untung kita masih memiliki Mamat B Sasmita, pegiat buku Sunda dan “kamus berjalan” di tengah-tengah era buku digital (e-book) dan sistem informasi yang serba berbasis teknologi. Kecintaan pada bahasa ibu mendorongnya mendirikan Rumah Baca Buku Sunda jeung Sajabana (2004) di Perumahan Margawangi, Jalan Margawangi VII Nomor 5, Bandung. Sejak 1980-an hingga sekarang lebih dari 5.000 buku Sunda dikoleksinya. Tentu hampir setengahnya berbahasa Sunda. Namun, ada pula yang ditulis dalam bahasa Indonesia, Inggris, dan Belanda.

Literatur yang ada dan cukup dibanggakan adalah Kamus Inggris-Sunda karya Jonathan Rigg (1862). Soal cerita atau novel, ada Carmad, Sri Panggung, dan Rusiah nu Goreng Patut. Tak ketinggalan buku bacaan anak-anak, seperti Nyaba ka Leuweung Sancang dan Guha Karang Legok Pari.

Pascapensiun sebagai pegawai negeri sipil, hidupnya dihabiskan untuk mengelola rumah baca tersebut (majalah Mata Baca, Mei 2005, dan Kompas, 11/7/2005). Sungguh terpuji ikhtiar Mamat B Sasmita dalam melestarikan khazanah Sunda ini.

Sejatinya kita harus berkarya dan mengikuti jejaknya. Ada atau tidaknya Konferensi Internasional Budaya Sunda dan Kongres Bahasa Sunda, buku Sunda harus meningkat supaya bisa dibaca generasi muda dan bangga berbahasa Sunda. Inilah makna terdalam Kenaikan Yesus bagi peningkatan buku Sunda. Semoga Tuhan memberkati.

IBN GHIFARIE, Pegiat Studi Agama-agama dan Pemerhati Kebebasan Beragama
×
Berita Terbaru Update