-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kitab (7)

Friday, November 04, 2011 | November 04, 2011 WIB Last Updated 2011-11-04T05:53:26Z
Radikalisme di Internet
Oleh IBN GHIFARIE
(Artikel ini dimuat pada @Jejaring Pikiran Rakyat 17 Oktober 2011)

Usaha Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan seruan Pengurus Besar Nahdhlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj untuk memblokir situs (300 dari 900) yang mengandung konten radikalisme, perlu kita dukung secara bersama-sama guna menciptakan generasi internet sehat.

Apalagi pengguna Internet di Indonesia tahun 2011 (31 Maret) mencapai 39.600.000 (16.1%) dari 245.613.043 dan masuk peringkat keempat (China, India, Jepang, Indonesia) di Asia Top Internet Countries. (Teknojurnal,26/9)

Meskipun demikian, tak ada jaminan dari pemerintah dan keberadaan Undang-Undang Informasi dan Transasksi Elektronik tidak bisa menutup isi laman situs radikal. Ibarat mati satu, tumbuh seribu. Semakin dikekang dan diblokir, semakin tumbuh subur web bermotif jihad, bom bunuh diri ini.

Hal ini mengingat, dunia maya telah menjadi bagian penting dalam membentuk pemikiran, perilaku, perbuatan sekaligus kebutuhan dasar (gaya) hidup manusia kini. Saking pentingnya dunia maya ini, aksi terorisme, radikalisme dan bom bunuh diri kerap menggunakan teknologi mutakhir lengkap dengan berbagai jejaring soasialnya. Pada kasus bom bunuh diri Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Sepunton Solo, pelaku Pino Damayanto (Ahmad Urip), anggota Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) Cirebon sempat browsing  di Warnet Solonet.

Greg Fealy dan Anthony Bubalo mengakui kuatnya pengaruh radikalisme Timur Tengah–dari Ikhwanul Muslimin hingga Al-Qaeda–di Indonesia dari bacaan buku ke publikasi internet.
Pentingnya internet sebagai alat untuk tansmisi dan diseminasi ide-ide terutama sangat kuat di kalangan kelompok salafi Indonesia. Lepas dari konservatisme sosial mereka yang khas, justru menggunakan internet karena media itu menawarkan kesempatan untuk menciptakan identitas islam yang generik (de-culturated) dengan melahirkan situs-situs www.salafi.net, www.salafipublications.com. (Greg Fealy dan Anthony Bubalo, 2007:101-104)

Diakui atau tidak, kekuatan internet terletak pada keparadokskan dan kekontradiksinya. Pasalnya, cyberspace merupakan ruang maya yang dibentuk melalui jaringan antarkomputer. Ketika mengembara di dalamnya kita akan menemukan berbagai panorama yang penuh paradoks dan kontrdiksi; kesenangan-ketakutan, kebaikan-keburukan, keaslian-kepalsuan. Paradoks cyberspace memang sama saja dengan paradoks di dalam dunia nyata, tetapi ia bersifat ekstrem, kuat, langsung, intens.

Jeff Zaleski menyajikan sebuah peta pemikiran di balik cyberspace dengan menampikan berbagai gagasan, termasuk paradoknya dari berbagai cyberist, cyberreligionistis, cyberprogrammers. Mereka optimis terhadap realitas baru cyberspace yang dianggap akan dapat menggantikan realitas yang ada dan dapat menjadi semacam agama baru, spiritualitas baru, Tuhan baru. Di samping itu Zaleski menggambarkan bagaimana sikap fatalis mereka dalam menghadapi berbagai sisi buruk dan menakutkan dari dunia baru.

Pada sisi lain, Zeleski menampilkan peta pengguna cyberspace oleh berbagai kelompok real religionist (Hindu, Buddha, Yahudi, Kristen, Islam) bagaimana dunia baru ini digunakan sebagai sarana penyebaran ajaran agama, komunikasi antarumat beragama, bahkan sebagai penyalur energi spiritual. Bagaimana cyberspace menjadi sarana yang positif dan efektif bagi realitas keberagamaan di dalam masyarakat global ini.

Mark Slouka, kritikus budaya Amerika sangat sinis terhadap orang di balik teknologi informasi dengan melontarkan kritik pedas terhadap para filsuf dan ideologi yang ada di balik teknologi cyberspace yang menanamkan diri net religionists, orang-orang yang mempunyai obsesi ingin menjadi Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang percaya dunia pikiran dapat dimuat (dibuatkan simulasinya) dalam komputer. Juga percaya masa depan manusia tidak berada di RL (Real Life) tetapi dalam berbagai bentuk VR (Virtual Reality). Pun menyakini cyberspace adalah sebuah bentuk lebih tinggi daripada spiritualitas. Mereka melalui teknologi komputer seakan-akan menciptakan semacam gerakan kenabian menurut versi mereka.

Dalam kondisi demikian, sebagimana yang dikatakan oleh Hakim Bey di dalam The Information War, Media (cyberspace) mengambil alih peran agama (pendeta). Dalam tugasnya memberi manusia petunjuk jalan keluar dari tubuh dengan cara mendefinisikan ulang ruh sebagai informasi. Padahal hakikatnya informasi di dalam cyberspace merupakan image yang wujud abstraknya merampas keutamaan prinsip tubuh dan menghentikannya dengan prinsip ekstasi tanpa tubuh. (Yasraf Amir Piliang, 2011:255-266 dan 278)

Akibatnya sains dan teknologi memiliki watak menentang Tuhan sekaligus memendam dendam membara terhadap agama. Perilaku ini yang melahirkan eksistensialisme dan sekulerisme yang menjadi biang kerok bagi memudarnya nilai-nilai spiritual dari diri masyarakat. Parahnya, hubungan keduanya ini menjadikan manusia yang membayangkan dirinya sebagai Tuhan. (Erich Fromm, 1988:187)

Menyikapi tingginya aksi peledakan bom di Indonesia sejak tahun 2000-2011 tercatat sebanyak 36 kasus, kiranya upaya jalan tengah yang digagas oleh Zaleski dan Slouka, dengan cara menerima cyberspace sebagai sebuah kemajuan teknologi, tetapi menolak segala kegiatan ideologi di baliknya perlu kita dengungkan bersama-sama.

Caranya dengan menampilkan konten-konten yang mengajak setiap pengunjung untuk mempraktikkan toleransi, dialog antaragama, semangat pluralisme, hidup berdampingan, kerukunan, perdamaian, menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan demokrasi sebagai upaya menanggulangi konflik horizontal dan vertikal, seperti yang dilakukan Kantor Berita Common Ground (www.commongroundnews.org) dengan slogan “artikel yang membangun dan mendorong dialog” perlu kita tiru untuk membumihanguskan perilaku para pembajak agama (radikalalisme, terorisme, fundamentalisme dan aksi bom bunuh diri) di bumi pertiwi.

Bila kita semua bisa menghadirkan tulisan yang teduh pada website pribadi (blog), catatan di jejaring sosial, situs komunitas, kejoyokan, portal niscaya tak ada lagi upaya menyebarluaskan benih-benih kebencian berbau SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) di tengah-tengah era teknologi ini. Ini yang diingatkan Sang Buddha, “Kebencian, dendam, kemarahan dan perang tidak akan berakhir jika dibalas dengan cara yang sama. Hal tersebut hanya akan menimbulkan penderitaan bagi semua pihak

Mudah-mudahan keberadaan internet ini tidak dijadikan alat sebagai proses belajar radikalisme, terorisme, aksi bom bunuh diri. Terwujudnya generasi pengguna internet sehat di Indonesia menjadi cita-cita bersama-sama. Semoga.

IBN GHIFARIE, Blogger www.sunangunungdjati.com, www.jejaringku.com dan bergiat di Forum Mahasiswa Religious Studies Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
×
Berita Terbaru Update