-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kitab (8)

Tuesday, December 20, 2011 | December 20, 2011 WIB Last Updated 2012-11-20T09:04:52Z
Haji dan Kepemimpinan “Dalem Haji”
Oleh IBN GHIFARIE
(Artikel ini dimuat pada Podium Tribun Jabar edisi 5 oktober 2011)

Membaca tulisan Asep Salahudin tentang Memburu Gelar Haji pada Tribun Jabar edisi 26 Oktober 2011 perlu kita apresiasi dan diskusikan lebih lanjut. Pasalnya, haji tidak bersifat ritual (syariah, ibadah vertikal) semata, tetapi memberikan dimensi sosial (horizontal), mulai dari status sosial, gerakan perubahan sosial sampai legitimasi politik.

Ini dibenarkan oleh Martin van Bruinessen yang menulis Mencari ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji. Ada kesan orang Indonesia lebih mementingkan haji (kuota tetap tahun 2011 berjumlah 211.000 dan ditambah 10.000 kuota tidak tetap) daripada bangsa lain dan penghargaan masyarakat terhadap para haji memang lebih tinggi.

Keadaan ini erat kaitanya dengan budaya tradisional Asia Tenggara. Dalam kosmologi Jawa, (Asia Tenggara) pusat-pusat kosmis, titik temu antara dunia fana kita dengan alam supranatural, memainkan peranan sentral. Kuburan para leluhur, gunung, gua dan hutan tertentu, tempat ‘angker’ lainnya tidak hanya diziarahi sebagai ibadah saja tetapi dikunjungi untuk mencari ilmu ‘ngelmu’ (kesaktian) dan legitimasi politik. Pasca orang Jawa mulai masuk Islam, Makkah dianggap sebagai pusat kosmis utama.

Kita tidak tahu kapan orang Jawa yang pertama naik haji, tetapi menjelang pertengahan abad ke- 17 raja-raja Jawa mulai mencari legitimasi politik di Makkah. Pada tahun 1630-an, raja Banten dan raja Mataram, yang saling bersaing, mengirim utusan ke Makkah untuk, mencari pengakuan dari sana dan meminta gelar ‘Sultan’. Para raja itu beranggapan ihwal gelar yang diperoleh dari Makkah akan memberi sokongan supranatural terhadap kekuasaan mereka. Sebetulnya, di Makkah tidak ada instansi yang pernah memberi gelar kepada penguasa lain. Para raja Jawa tadi rupanya menganggap Syarif Besar, yang menguasai Haramain (Makkah dan madinah) saja, memiliki wibawa spiritual atas seluruh Dar al-Islam.

Untuk pertama kalinya seorang pangeran Jawa naik haji. Putra Sultan Ageng Tirtayasa (Banten), Abdul Qahhar, yang belakangan dikenal sebagai Sultan Haji. Fungsi haji sebagai legitimasi politik terlihat jelas sekali dalam Sajarah Banten, Hikayat Hasanuddin, yang dikarang sekitar 1700. Sunan Gunung Jati mengajak anaknya;

“Hai anakku ki mas, marilah kita pergi haji, karena sekarang waktu orang naik haji, dan sebagai pula santri kamu tinggal juga dahulu di sini dan turutlah sebagaimana pekerti anakku!”

Upaya meningkatkan kharisma naik haji secara supranatural ramai dilakukan. Di sebuah gua besar di Pamijahan (Tasikmalaya Selatan), salah satu pusat penyebaran tarekat Syattariyah di pulau Jawa, para juru kunci masih menunjukkan sebuah lorong sempit yang konon dilalui Syaikh Muhyiddin untuk pergi ke Makkah setiap hari Jumat. Di Cibulakan (Pandeglang, Banten) ada sumur yang konon berhubungan dengan sumur Zamzam di Makkah. Menurut riwayat, Maulana Mansur, seorang wali lokal yang dimakamkan di Cikaduwen, pulang dari Makkah melalui Zamzam dan muncul di sumur ini. Sampai sekarang masih ada kyai di Jawa yang fanatik, setiap Jumat secara ghaib pergi sembahyang di Masjidil Haram. Semua ini membuktikan betapa kuatnya peranan haji dan hubungan dengan Makkah sebagai legitimasi kekuasaan atau keilmuan seseorang dalam pandangan orang Jawa. (Jurnal Ulumul Qur’an Volume II No 5, 1990:42- 49)

Pesan Haji
Padahal haji merupakan tonggak awal lahirnya peradaban Islam berbasis keimanan yang kukuh. Serangkaian perintah qurban, thowaf, wukuf, sa’i, melempar jumrah pun menjadi petanda peradaban Rasul untuk menegakkan keadilan, kemerdekaan, persaudaraan sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.

John L. Esposito menguraikan hari adalah nafak tilas penolakan Ibrahim atas segala godaan setan untuk mengabaikan perintah Tuhan dengan beberapa kali melempari setan dengan batu, di sini disimbolkan dengan taing batu. Setalah itu, mereka mengorbankan ternak (domba, kambing, sapi, unta) sebagiamana Ibrahim akhirnya diizinkan untuk mengganti anaknya dengan seekor biri-biri jantan. Ini melambangkan para jemaah haji ingin mengorbankan sesuatu yang paling penting bagi mereka.

Aktivitas mengenakan kain putih tanpa jahitan, simbol penyucian diri dari segala kesombongan, keangkuhan; Wukuf di Arafah untuk bertaubat, memohon pengampunanya sekaligus merasakan persatuan dan kesetraan yang mendasari umat islam seluruh dunia yang melampui perbedan-perbedaan ras, ekonomi dan jenis kelamin; Haji wada guna mengulangi ajakan nabi Muhammad kepada perdamain dan keharmonian di kalangan kaum muslim. (John L. Esposito,2004:114-116)

Pentingnya ibadah rukun kelima bagi yang mampu, Ali Syariati mengingtakan kepada kita yang diawali dengan cara luruskan niatnya. Halalkah uang yang kita gunakan untuk membiayai keberangkatan kita? Jiwa mana yang kita bawa? Jiwa yang hendak bertekuk lutut dan mengakui kehinaan di hadapan Tuhan, atukah jiwa yang hendak ‘memperalat’ Tuhan demi status baru sebagai manusia yang gila hormat dan sanjungan? Ataukah sekadar memperpanjang gelar yang kita sandang?

Setibanya di Miqat Makany gerbang ritual ibadah haji dimulai dengan memakai baju ihram, segala perbedaan dan pembedaan ras, bangsa, kelas, subkelas, golongan dan keluarga harus ditanggalkan supaya merasa kan dalam satu kesatuan dan persamaan. Di Miqat ini ada pun ras dan sukumu lepaskan semua pakaian yang engkau kenakan sehari-hari sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu daya), atau domba (yang melambangkan penghambaan). Tinggalkan semua itu di Miqat dan berperanlah sebagai manusia yang sesungguhnya. Dengan demikian, ibadah haji memberikan kesempatan yang unik bagaimana umat islam seharusnya egaliter, multi etnis, kultural dan mengabdikan kesatuan umat itu untuk pengejawantahan nilai-nilai kemanusiaan dan agama sebagaimana terkandung dalam wahyu ilahi. (Mingguan PESAN No 61/Th.II/03/2000)

Kiranya, layak meneladani sosok R.A.A. Wiranata Koesoema Bupati Cianjur (1912-1920) dan Bupati Bandung (periode I 1920-1931 dan 1935-1942) yang lebih dikenal dengan sebutan Dalem Haji atau Kangjeng Wali. Pasalnya, ia pernah pergi haji ke Mekah dan mendapatkan Bintang Istiqlal Kelas Satu dari Raja Hijaz (1924).

Ihwal penamaan Kangjeng Wali adalah Wali Negara Pasundan pada era Negara Pasundan. Sebagai Wali gegeden Republik yang diinginkan rakyat Pasundan sekaligus mengalahkan calon dari pihak Belanda, Lukman Djajadiningrat.

Kepribadiaan yang tulus, pengorbanan tanpa pamrihnya sangat disegani pemerintahan Hindia Belanda, tapi dicintai rakyat Pasundan. Hingga setiap bepergian (datang-pulang) selalu disambut rakyat banyak. Ini terlihat saat pergi dan pulang naik haji. Kepindahan tugas dari Bupati cianjur ke Bandung merupakan bukti nyata kecintaan masyarakat yang enggal berpisah denganya. Sunguh sahdu.

Dengan demikian, dalam menjalani kehidupan sehari-harinya seorang haji akan terus menjadi teladan yang perlu kita tiru, conto di tengah-tengah kegelapan masyarakat, bagaikan sinar kemilau dalam kegelapan–meminjam istilah Ali Syariati.

Syair Nasher Khosrow tantang haji perlu kita renungkan secara bersama supaya dalam menjalani rukun iman kelima ini tidak hanya mementingkan status, berburu gelar, legitimasi politik melainkan guna mendaptkan predikat Mabrur, seperti yang terdapat pada hadits Qudsi “Tidaklah ada balasan bagi haji mabrur, kecuali surga”

Wahai sahabat! Sesungguhnya engkau belum menunaikan ibadah haji!/Sesungguhnya engkau belum taat kepada Allah!/Memang engkau telah pergi ke Mekkah untuk mengunjungi Ka’bah!/Memang engkau telah menghamburkan uang untuk membeli kekerasan padang pasir!/Jika engkau berniat hendak melakukan ibadah haji sekali lagi, Buatlah seperti yang telah kuajarkan ini!. Inilah makna terdalam haji untuk kepemimpinan. Selamat datang para hujjah! Semoga.

IBN GHIFARIE, Mahasiswa Pascasarjana UIN SGD Bandung Program Religious Studies dan peneliti Academia for Religion and Social Studies (ARaSS) Bandung.
×
Berita Terbaru Update