-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Imlek, Keharmonisan “Muslim-Tionghoa”

Monday, May 17, 2021 | May 17, 2021 WIB Last Updated 2021-05-27T03:19:57Z


GHIFARIE-Sejatinya, kehadiran tahun baru Imlek 2572 Kongzili yang jatuh pada 12 Februari 2021 harus menjadi momentum yang tepat untuk menegaskan identitas (jati diri) ketionghoaan muslim (muslim Tionghoa) di Indonesia ini. 

Pasalnya, selama ini kita sering mengidentikan keturunan Tionghoa ini hanya memiliki (satu) keyakinan (beragama) Khonghucu, Buddha, Kristen yang seakan-akan menjauhkan dari risalah  Islam. Apalagi di masa pemerintahan Joko Widodo ini sentimen China semakin tumbuh subur. 

Untuk urusan Pilkada serentak 2020 (yang diikuti 270 daerah) isu SARA kerap kali terjadi pada pentas kontestasi demokrasi. Sebagai contoh pada Pilkada DKI Jakarta yang semakin memperuncing konflik antara Islam (Arab, turunan Habib) dengan Tionghoa (China, Kristen). Bila segala potensi konflik (vertikal, horizontal) ini tidak disikapi secara bersama-sama niscaya keutuhan NKRI akan segera terpecah belah. 


Hikayat Peranakan

Dalam tulisan dari "Muslim Tionghoa" ke "Tionghoa Muslim": Perjumpaan Tionghoa dengan Islam di Nusantara Abad XVI-XXI, Didi Kwartanada menguraikan pada buku Darma Wasana (Kebajikan Penghabisan) yang memuat dua bahasa (huruf) jawa dan latin. Buku ajaran piwulang moral Islami ini ditulis oleh Gan See Han bersama dengan H.O.S.Tjokroaminito (pemimpin Sarekat Islam) terbit tahun 1919. 

Darma Wasana dibuka dengan huruf Arab (Bismillah) dan Gan See Han itu seorang Muslim Tionghoa yang fasih berbahasa Arab dan soal keislaman. Memang di kalangan masyarakat rupanya masih muncul pandangan yang melihat Islam dan ketionghoaan sebagai dua hal terpisah, yang tidak bisa disatukan. 

Di bulan November 2008, Zhuang Wubin menampilkan pameran foto di Surabaya mengenai sejarah Muslim Tionghoa di Indonesia. Salah satu alasan digelar pameran itu untuk memberikan suatu "perspektif alternatif" atas pendapat umum bahwa Tionghoa dan Islam itu dua hal yang tidak bisa menciptakan suatu kesatuan.

Keheranan serupa dengan peristiwa di Surakarta sudah dicatat seorang peneliti Belanda, saat melakukan penelitian lapangan di Yogyakarta tahun 1984, dengan adanya ucapan-ucapan Ono Cino nang masjid (ada Cina di masjid) dan Islam naning Cino (Islam tapi Cina). 

Menariknya dua puluh tahun kemudian ketidakpercayaan itu nyatanya masih eksis. Seorang Ibu etnis Jawa beragama Islam mengenang apa yang disaksikannya dalam satu pengajian; ada orang Cina beragama Islam, ikut pengajian, mengenakan jilbab seperti pengajian kemarin, orang-orang yang melihatnya merasa aneh. 

Satu diantara orang Tionghoa yang menganut Islam pun mengakuinya, "Di Indonesia kalau ada keturunan Cina masuk Islam atau seorang Cina duduk bersimpuh di masjid menunaikan Sholat, akan dianggap aneh, ganjil dan mengherankan. Mengapa? Barangkali karena golongan Cina dianggap sebagai kelompok masyarakat di luar Islam. Padahal, kalau mau membaca sejarah, kita akan menumui bahwa kaum Muslim Tionghoa sebenarnya telah sejak lama menjalin kerjasama dengan Muslim pribumi Indonesia." (Dyayadi[ed],2008:122 dan Rezza Maulana,2010:8-9).

Imlek di Masjid

Ihwal kuatnya menjalankan ajaran Islam secara kaffah di kalangan Tionghoa muslim ini dapat kita lihat pada acara Imlek yang digelar Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Daerah Istimewa Yogyakarta di masjid Syuhada Kotabaru pada tahun 2003.          

Hasil penelitian Rezza Maulana bertajuk "dari Imlek di Masjid ke Pengajian Imlek: Penciptaan dan Representasi Tradisi Tionghoa Muslim Yogyakarta di Ruang Publik” menunjukkan fenomena ini bukan hanya berkaitan dengan pesoalan reka cipta tradisi, melainkan erat hubunganya dengan kontestasi dan identifikasi diri (kelompok) di ruang publik. 

"Suasana perayaan tahun abru Imlek pada Sabtu malam, 8 Februari 2003, di masjid Syuhada Kotabaru agak mencekam. Pulungan orang keturunan Tionghoa muslim memasuki masjid dengan khusus untuk mengikuti perayaan Imlek yang diadakan PITI cabang Yogyakarta. Prosesi perayaan diisi dengan shalat Isya dan dilanjutkan dengan sujud syukur. Usai shalat, menikmati hidangan santap malam sekedarnya sebagai tanda syukur dan keceriaan.

Dalam perayaan tahun baru ini tidak ada pembakaran dupa maupun persembahan seperti yang terjadi pada perayaan tahun baru Imlek biasanya. Suasan di luar mesjid agak tegang karena dijaga oleh beberapa orang dari kelompok keamanan. Penjagaan dilakukan karena sebelumnya ada ancaman dari beberapa kelompok masyarakat yang tidak setuju dengan perayaan tahun baru Imlek di mesjid Syuhada.” (Ubed Abdilah Syarif,Thesis Master CRCS-UGM,2005:1)

Kali pertama di Indonesia, peringatan Imlek diadakan di mesjid Syuhada yang dimotori PITI pasca runtuhnya rezim Soeharto ini merupakan gagasan brian dari H. Budy Setyagraha, tokoh Tionghoa muslim Yogyakarta yang pernah menjabat ketua PITI periode 1984-2003. 

Menurut Makruf Siregar, ide tentang peringatan Imlek di mesjid terinspirasi setelah Pa Budy mengikuti pengajian rutin bulanan PITI yang diadakan di kediaman Prof. Mukti Ali (mantan menteri Agama dan Rektor UIN Yogyakarta). 

Mengingat ide ini cukup kontroversial, oleh beberapa pihak, termasuk Makruf disarankan untuk dikonsultasikan lebih dahulu kepada MUI Yogyakarta sekaligus mendapat tantangan dari Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Irfan S. Awwas, Ketua MMI menilai acara ini mengandung unsur bidah, khurafat, sehingga dapat merusak akidah Islam. Mereka mengancam akan menggagalkan acara ini karena mengandung unsur perbuatan yang dapat dikategorikan syirik.

Walhasil, pertemuan antara PITI, MUI dan perwakilan komunitas Tionghoa sebagai saksi menyimpulkan Imlek bukanlah perayaan yang terkait dengan satu keyakinan (ritual) agama tertentu (Khonghucu, Tao, Buddha), melainkan hanya sebuah tradisi orang-orang China zaman dahulu untuk menyambut pergantian muslim (awal tahun). 

Bagi Sekretaris MUI Yogyakarta, Drs. H. Ahmad Muhsin memberikan rekomendasi (tauziyah) pada PITI untuk melaksanakan peringatan Imlek di Mesjid; pertama, salah satu cara menghormati orang Tionghoa sebagai kelompok minoritas di Indonesia. kedua, Imlek bukanlah milik keyakinan (agama) tertentu. 

Semua orang Tionghoa dapat merayakan Imlek, bahkan orang Hui dan Uygur di RRC pun ikut merayakan Imlek. Untuk orang Tionghoa yang beragama katolik juga merayakan Imlek di Gereja. Selama tidak ada unsur yang bertentanga dengan ajaran Islam, acara Imlek di mesjid Syuhada ini diperbolehkan. 

Tentunya, ada faktor lain ketika MUI memberikan rekomendasi pada PITI untuk menggelar Imlek di mesjid. Pada level nasional saat MUI di pimpin oleh Buya Hamka, banyak orang Tionghoa yang masuk Islam. Salah satunya diangkat sebagai anak, Jusuf Hamka. 

Masa itu PITI menjadi anggota pleno dan berparsisifasi aktif dalam kegiatan MUI, bahkan Junus Yahja, tokoh Tionghoa muslim pernah menjadi pengurus pusat MUI periode 1980-1990. Secara formal, keberpihakan MUI kepada PITI sebagai salah satu gerakan pembaruan, implisit dalam surat pernyataan MUI tertanggal 10 Desember 1980 tertanda Ketua MUI, Prof Hamka.  

Uniknya sejak tahun 2006 stategi PITI Yogyakarta dalam memeringati Imlek tidak ketat digelar pada 1 Imlek di mesjid Syuhada, tapi dilaksanakan secara "bergerilya" dari mesjid kampung satu ke kampung lain yang melakukan kerjasama dengan takmir mesjid setempat.

Pada tahun 2006, dengan menyelenggarakan pengajian Imlek di mesjid Al-Nadzar di Pasar Kembang; 25 Februari 2007 di mesjid Agung Bantul dengan menghadirkan penceramah Ustadz Iskandar; 2008 pengajian Imlek di mesjid Al-Husna Iromenjan, Kodya dengan penceramah Drs. Damami Zein, M.Ag; 2009 pengajian Imlek digelar bersamaan dengan peringatan tahun baru Hijrian 1430 di mushola Cokrokusuman, yang menghadirkan dai muda ustadz Mahdi (Ir. H. Kwee Giok Yong); 2010 pengajian Imlek di salah satu rumah anggota PITI di kampung Jogokaryan, Krapyak bersama usadz Yusuf Mansur dari gunung Kidul; 2011, pengajian Imlek di mesjid Danoedjo Kemetiran Kidul yang menghadirkan H. Amien Rais dan atau putranya Ahmad Hanafi Rais.

Dengan demikian, orang-orang Tionghoa yang bergabung di PITI banyak yang masih dalam rasa ketionghoaanya. Orang Tionghoa muslim di Indonesia cenderung terinspirasi pada orang Hui di daratan China, sebagai kelompok etnis minoritas tapi sekaligus warga negara RRC. 

Bergabung atau tidaknya orang Tionghoa ke dalam organisasi PITI belum tentu karena alasan etnisitas. Tetapi berkaitan dengan misi PITI sebagai organisasi dakwah. (Ahmad Muttaqin & Fina 'Ulya [ed],2012,230-249)       

Dalam konteks Jawa Barat, eratnya hubungan Tionghoa muslim (sunda) bisa dilihat dari keberadaan Masjid Lautze 2 di Jalan Tamblong Nomor 27, Bandung. Masjid Lautze 2 merupakan cabang dari Masjid Lautze 1 (Jakarta) dan tidak lepas dari peran Yayasan Haji Karim Oei (1991) yang diambil dari seorang tokoh Islam keturunan China yang pernah menjadi konsultan Muhammadiyah di Bengkulu tahun 1930.

Mengingat jumlah warga Muslim keturunan China di Kota Bandung cukup banyak, tetapi belum ada wadah untuk menyambung tali silaturahim di antara mereka, dibentuklah Sekretariat Yayasan Haji Karim Oei Bandung di sebuah bangunan bertingkat yang disewa lantai bawahnya semata. 

Kendati mengontrak, semangat menyambung tali silaturahim di di antara Muslim keturunan China tak menjadi halangan dalam memakmurkan Masjid Lautze 2 ini. (Kompas, 15/01/2009 dan 13/02/2010)

Dengan demikian, inilah salah satu model keharmonisan muslim Tionghoa (Tionghoa muslim) dalam rangka membangun kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang sangat menjunjung tinggi keadilan, kedamaian, kesejahteraan, ketenteraman, sehingga segala bentuk perbedaan (kepercayaan, agama, budaya, suku) menjadi modal utama guna merawat keutuhan NKRI ini. Semoga. Gong Xi Fa Cai.

Ibn Ghifarie, Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung

×
Berita Terbaru Update