-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Tulisan (15)

Wednesday, August 30, 2006 | August 30, 2006 WIB Last Updated 2006-08-31T03:03:08Z
Perubahan IAIN Menjadi UIN (Obrolan ringan dosen dan mahasiswa)
published on 22 Oktober 2005 | Berita Universitas--Ibn Ghifarie

Setelah terbitnya SK Presiden nomor 57 pada tanggal 10 Oktober 2005 tentang peralihan IAIN Sunan Gunung Djati menjadi UIN, kini pro-kontra tentang perubahan IAIN menjadi UIN telah berakhir. Namun demikian, selain optimisme wacana yang berbau pesimis pun masih tetap membayang di kalangan civitas akademika UIN Bandung. Hal tersebut terungkap dari hasil wawancara pada sejumlah dosen dan mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung kepada wartawan iain-sgd.net.
Dosen mata kuliah Hadits Fakultas Ushuluddin, Badri Khoeruman, berkomentar, bahwa peralihan IAIN menjadi UIN itu, tentu saja akan mendapatkan tantangan yang lebih berat dan komplek, katanya. Lebih jauh, pria yang memakai baju kemeja putih itu, mengemukakan bagaimana IAIN akan bisa menjadi satu Universiats Islam yang berada di garda depan. Toh, ketika masih sebagai Institut (IAIN) saja banyak tugas-tugas yang belum dan harus dituntaskan. Apalagi setelah menjadi Universitas. "Kita masih menjadi konsumen ilmu dan bukannya sebagai produsen ilmu, tak ada bedanya dengan Aliyah atau yang sederajatnya", tegasnya. Fakultas Ushuluddin sebagai contoh, Fakultas yang semestinya menjadi pabrik bagi lahirnya pemikiran Islam, pada kenyataannya hanya mampu menjadi konsumen ilmu, jadi pasar ilmu pun tidak. Badri menyebutnya sebagai budaya latah dalam kultur ilmiah.
Tak hanya sampai di situ saja, pria berperawakan kecil itu, berujar dengan menggebu-gebu, kalaulah IAIN hanya dapat menciptakan serjana-serjana yang urakan dan latah, jangan sampai peralihannya menjadi UIN hal yang sama tetap terjadi. Sambil membuka lembaran-lembaran lusuh tentang kejadian Ta’aruf 2004 yang lalu. Belum lagi tentang kelulusan mahasiswa UIN yang dipertanyakan tentang ilmu keislamnya? katanya.
Sementara bagi Rifqi Rosyad, Ketua Jurusan Perbandingan Agama (PA) di fakultas yang sama menyebutkan bahwa berubahnnya IAIN menjadi UIN, harus dapat mensejahterakan seluruh civitas akademika, terutama dosen. Sebab dalam pengakuannya bahwa upah dosen itu tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan untuk mengajar. Maka sangatlah wajar apabila ada beberapa dosen yang mengajarnya tidak serius, sebab terbentur dengan urusan rumah tangga, ugkapnya.
Tampaknya, Rifqi mengembalikan apa yang diungkap Badri pada persoalan kesejahteraan dosen, selain bahwa proses dan grade penerimaan mahasiswa baru harus ditinjau ulang. Sementara Badri sendiri tidak memberikan solusi selain dengan cara membubarkan Fakultas-Fakultas yang tidak lagi mampu merubah dirinya menjadi pabrik ilmu, Fakultas Ushuluddin sebagai contoh, demikian ungkap Badri, salah seorang Dosen Ushuluddin yang alumni Tafsir Hadits Fakultas Syari’ah itu.
Sementara itu, sejumlah mahasiswa yang diwawancara memberikan komentar yang beragam. Dindin, Mahasiswa Jurusan Sosiologi Agama, mengemukakan pesimismenya. Kalau hanya perubahan nama itu tak masalah, bahkan saya sangat optimis pasti berubah, ungkapnya. Namun secara kualitas, pria kelahiran Bandung ini, mengungkap meragukannya. Ia beranggapan bahwa akan terdapat perbedaan penyikapan dari masyarakat antara penyandang ijazah IAIN bila dibandingkan dengan ijazah UIN. Selain itu terdapat juga perbedaan dalam tanggung jawab intelektual, tambahnya.
Rukman, Mahasiswa kelahiran Selawi Garut, ikut nimbrung, ia mengatakan bahwa perubahan status tersebut harus pula diikuti dengan perumusan dan re-orientasi paradigma Jurusan yang mempertimbangkan basis ilmu pada tiap-tiap Jurusan dan program studi masing-masing. Sehingga tidak terjadinya ketimpangan-ketimpangan pada jurusan tersebut, ia menambahkan. Tampaknya ia menghawatirkan tidakadanya sinergi antara ilmu keislaman dengan ilmu umum lainnya, sehingga UIN lebih tampak sebagai kumpulan Jurusan dari berbagai disiplin ilmu yang beragam tanpa memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya, demikian kekhawatitran itu diungkap oleh ketua GPMI UIN SGD Bandung.
Lain halnya dengan Dzarin, mahasiswa jurusan Jurnalistik, mengungkapkan keprihatinannya terhadap perubahan IAIN menjadi UIN. Ia mengungkap aspek yang mungkin sebenarnya tidak ada hubungannya dengan perubahan status IAIN dengan UIN, hanya kebetulan bersamaan dengan waktu pergantian status. Ia mengeluhkan bahwa waktu masih IAIN, keberadaan aktivitas kampus masih boleh melakukan kegiataan sampai larut malam di kampus. Ketika menjadi UIN, mahasiswa tidak diperbolehkan mendiami kampus lagi. Kegiatan mahasiswa di Kampus dibatasi hanya sampai jam 9 malam. Secara otomatis mahasiswa tidak bisa bermalam di kampus lagi. Selain itu, perubahan ini terlalu cepat bila dilihat dari infrastrukturnya yang relativ masih belum mapan, tambahnya.
Tampak bahwa komentar-komentar yang disampaikan oleh beberapa dosen maupun mahasiswa menggambarkan tidak adanya informasi yang memadai yang mereka terima berkenaan dengan peralihan IAIN menjadi UIN Bandung. Perlu disosialisasikan secara internal dan intensif oleh para pejabat yang berwenang agar jelas dan menjadi sebuah sinergi untuk melangkah lebih lanjut. (Boelldz/Cian/iain-sgd.net).
×
Berita Terbaru Update