-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Tulisan (3)

Wednesday, August 30, 2006 | August 30, 2006 WIB Last Updated 2006-08-31T02:19:32Z

1 ½ JAM BERSAMA BOMBAY
oleh Ibn Ghifarie


Pagi hari yang cerah itu, langit tampak indah yang di sekelilinginya terlihat gulungan-gulungan asap yang menutih bak selimut kematian. Tak tanpak lagi sisa-sisa hujan lebat yang telah mengguyur Cipadung, Bandung tadi malam. Kulangkahkan kakiku yang “aga” besar ini dengan memakai sendal gunung ala boggie dan celana katu yang agak kucel dan kumel.

Maklum sudah hampir seminggu celana kesukanku itu tidak pernah ganti. Sementara baju yang kukenakan tidak lain baju hitam dengan di depannya ada logo IAIN SGD Bandung dengan tulisan Komite Pemilu Raya Mahasiswa (KPRM). Yang kebetulaan aku sendiri terlibat secara langsung sebagai Koordinator Pubdokak dalam hajatan Mahhasiswa tersebut.

Sementara kebiasanku, setiap pergi kemana saja, selalu tidak luput menenteng kantong bivak ala Boggie, yang di hiasi dengan segala asesoris. Pernak-pernik di tas itu merupakan kenang-kenangan--buah tangan dari berbagai daerah yang aku kunjungi, termasuk kampung halamanku sendiri. Entah itu, sekedar pergi ke kampus, kostan, atau kesekretariat tas yang kucel itu selalu menghiasi pundaku. Hingga pada akhirnya terbentuklah anggapan di temen-temen bahwa dimana ada kantong yang di hiasi gantungan tas ala kadarnya. Maka dipastikan disitulah aku berada.

Begitupun, ketika ada acara-acara, sebut saja kegiatan jurusan—dengan OSABA-nya; acara UKM—melalui TGB-nya; hajatan penerimaan anggota baru di organisasi primordial—dalam rangka Mapersaba; orientasi anggota baru di pergerakan ekstra Kampus pun--OGAM. Tas punggung itu selalu menjadi teman akrabku, di sela-sela kegiatan itu berlangsung. Tak hanya itu, sliping bag pun selalu menjadi ‘istri’ kudua, yang menjadi teman ‘kencannku’ setelah setumpukan buku-buku yang mesti di lahap dalam keseharianku.

Dengan demikian, hari ini tepatnya pada tanggal 29 April, merupakan hari pertama di mulainya serangkaian kegiatan Mapersaba daan Seminaar Kedaerahan. Yang di lakukan oleh Perhimpunaan Mahasiswa Kota Intan Garut (Permata Intan). Setibanya di Kampus, tepatnya di depan Wartel. Waktu itu menunjukan pukul 08.30 WIB. Aku duduk termenung di samping ATM BNI, tanpa di temani seorang pun kecuali kantong boggie dan buku Islam Atual karya Kang jalal—sapaan akrab Jalaluddin Rahmat semata.

Meskipun, di sekitar wartel ini banyak orang-orang yang lalu lalang dan hilir mudik. Bahkan terdapat sekelompok mahasiswa, yang mungkin dalam gunanmu inilah orang-orang yang akan megikuti acara Mapesaba alias peserta? Akan tetapi, ternyata mereka bukan para peserta? Padahal hari ini, dicanangkan sebagai hari pemberangkatan kloter 1 kegiatan Mapersaba yang di adakan di Yayasan Pendidikan Al-Masduki Garut. Ternyata lagi-lagi tidak mendapatkan sebatang hidung pun peserta dan panitia.

Selang beberapa jam. Maka bermunculah beberapa mahasiswa yang akan mengikuti acara Mapersaba. Yang membuatuku terkentak dari lamumanan tadi.

Lantas, seorang temanku—sebut saja fauzin berujar ‘ughie, mana peserta Mapersabanya? Aku hanya bisa bengong sambil gelenggeleng kepala. Artinya gelengan kepala itu pertanda jawaban atas ketidak tahuan adanya peserta.

Alih-alih Fauzin itu memberitahukan kepadaku tentang keberangkatan ke lokasi kegiatan yang akan memakai mobil Bombay. Kita tahu bahwa Bombay itu, salah satu mobil milik IAIN SGD. Sebutan bombay pun, konon dinunjukan kepada mobil yang sudah tua itu, tapi masih tetap bertahan dengan ketuanya. Walaupun ketinggagalan zaman alias kuno. Karena ada kemiripan dengan mobil-mobil tua yang ada di india atau lebih tepatnya di daerah Bombay. Kira-kira seperti itulah tanda-tanda mobil yang biasa mangkal di Fak Ushuluddin itu, hingga akhirnya di kenaal dengan sebutan mobil Bombay.

Maka dengan serta merta yang ada dalam pikiranku ketika mendengan mobil bombay, terdapat segudang pertanyaan yang menuntut sebuah jawaban. Salah satu pertanyaan; mampukah mobil bombay itu sampai ketujuan?

Selang setengah jam, maka munculah mobil berplat nomor B 7080 S yang ditunggu-tungu itu? Lalu, tanpa di komandoi panitia dan peserta yang sudah terkumpul di warten pun akhirnya memasuki mobil antik itu, yang di pangakalkan di samping poliklinik.

Sekitar pukul 09.50, setelah semua peserta dan panitia untuk keloter 1 di cek oleh Rahmaat, selaku ketua OC. Lantas meluncurah mobil yang di kemudikan oleh siapa lagi kalau bukan pak Ade. Karena tidak ada seorang pun yang bisa mengendarai mobil antik nan unik ini selan ia sendiri.

Posisiku aku duduk di belakang paling pojok, sambil menenteng handuk yang belum kering kerena basah kuyuk akibat mandi terlalu pagi. Sambil menikmati pemandangan bangunan yang menjulang tinggi bak tangga yang akan mengantarkan kita kepada ruang angkasa, yang jauh di sana. Yang di lewati oleh mobil unik ini dengan kekuatan standar (60 km/jam).

Namun, aku masih tetap dihantui dengan segudang dan seabreg pertanyan-pertanyan tadi. Sementara, itu di samping kananku terduduk seorang laki-laki kecil berbadan kurus alias jangkis—yang akrab di panggil dengan sebutan Leway. Mengawali pembicaraan denganku. Ia berkata ‘ughie, kenapa peserta yang mengikuti Mapersaba ini sedikiit. Bukankah yang tadi duduk-duduk dan ngumpul di wartel itu banyak bukan?”, ungkapnya.

Aku tetap tidak bisa menjawab pertanyan kawanku kecuali geleng-geleng kepala dan berdiri guna membuktikan pertanyaan temanku sambil berhitung di dalam hati. Ya.....ternyata yang ikut gelombang 1 masih bisa di hitung dengan jari alias hanya sedikit. Padahal yang mendaptarkan diri waktu masih membuka stand pendaptaran di post depan itu tercatat sebanyak 60-an peserta Mapersaba.

Sementara masih di samping kananku dekat kaca, terdapat kawanku—sebut saja Dika. Ia ketawa ketiwi sendirian bak orang gila. Bahkan sesekali tertawa berbahak-bahak, entah menertawakan siapa yang jelas ia kayanya sedang menikmati keindahan perjalanan ini. Tanpa ada rasa beban apapun dari pancaran raut mukanya. Padahal jika mau jujur ia sebagai pesrta, yang sebentar lagi akan medapatkaan seabreg kesulitan dari panitia baik secara materi ataupun non materi, setibanya di sana. Sebab ia sendiri peserta, bukan panitia. Apalagi senior. Gumanku.

Suasana di dalam mobil pun menjadi riuh gaduh dan bising akibat suara kenalpot yang di keluarkan oleh Bombay itu. Apalagi ketika, melewati jalan-jalan yang jelek bak sungai yang kering kerontang tidak ada airnya, maklum lagi musim kemarau. Bahkan sesekali terdengaar lontarn kata-kata yang di ungkapkan entah oleh siapa. Yang jelas kata itu sering terdengaar di telingaku. Misalkan “awas-asaw ada halilintar; euy aya hujaan poyaan nyiwit ceuli saeutik nya; ieu aya naon nya, sambil loncat-loncatan di kursi jok; ataupun beberapa sikap dan prilaku teman-teman yang mengganjal pikiranku mulai dari memegang-megang pintu, karena takut copot sampai pada berdiri lantas memegang atap mobil, sebab takut tertimpa atap, yang kelihatan sudah mulai kepopos”.

Lagi-lagi, gejala-gejala aneh itu bermunculan, terutama Pada saat-saat melewati jalan-jalan yang berlika liku bak hurup ‘S’ buatan anak kecil yang belajar menulis dan saat melalui berbenjol-benjol batu yang hampir ada di setiap menapaki jalan ke tempat tujuan bagaikan muka bulan yang mengadap ke bumi alias kerodok dan keriput.

Sedangkan di luar sana, setiap Bombay ini melewati sekelompok orang-orang, entah lagi ngerumpi, nongkrong-nongkrong atau sekedar orang yang lagi jalan saja. Tiba-tiba mereka di buatnya murah senyum. Ketika mobil tua nan unik ini melintas di depan mereka. Bahkan sesekali terlihat lontaran kata-kata mereka, yang keluar dari mulutnya. Tapi aku sendiri tidak tahu persis apa yang di ungkapkan oleh mereka mulai dari mencibir, mengejek, menghardi sampai pada mentertawakan, sambil menunjuk bombay ini.

Aku ataupun sahabat-sahabatku yang ada di dalam mobil, tidak menggubrisnya dengan dalih “anjing menggonggong kapilah berlalu”. Begitulah pepatah kuno dari negri gurun sahara, yang masih menempel dalam benak ingatanku.

Setibanya di tempaat tujuan, sekitar pukul 11. 20 WIB. kami di ‘hidangi’ dengan sekelompok bocah-bocah kecil yang sangat ramah dan familier. Seolah-olah kita saudara mereka, yang lama tidak jumpa karena jarak yang jauh dan waktu yang memisahkan kita. Meskipun, sesekali mereka menertawakan kami. Bahkan ada yang mencoba mendekati kami. Hingga pada akhirnya mereka menaiki mobil tua yang unik lagi aneh itu tanpa ada rasa takut sedikitpun yang menghantui mereka.

Selain itu, dengan kepolosan dan keluguannya, mereka asyik bermain di Bombay itu. Berbeda dengna kami atau aku sendiri yang mmasih di hantui rasa takut. Ya.. terbukti dari igauanku pertama mendengar kata bombay. Yaitu mampukah mobil ini mengan tarkanku dan teman-teman sampai ketujuan? Sebab baru pertama kali ini aku menaiki mobil milik IAIN SGD Bandung ini.

Dengan demikian, hal inilah yang menjadikan aku merasa percaya lagi kepada seseorang yang Maha Menguasai Kerajaan Alam ini. Padahal, yang mengurus dan mengatur kita adalah Tuhan. Atau dalam tradisi Sunda kita kenal pepatah jodo, pati, bagya jeung cilaka anging Allah anu tos nangtoskeun. Sedangkan dalam pewayangan kita akrab dengan wejangan ari hirup teh kudu siga wayaang, anu ngusik malikeun urang teh nyaeta ku dalang.

Akir kalam, Setelah 1 ½ jam bersama bombay dalam perjalanan Mapersaba menuju Al-Masduki. Maka sampailah kita ketempat tujuan dengan selamat. Lantas, tanpa menggedepankan kesombongan di depan Tuhan yang Maha Mengetahui dan Menguasai Segala-galanya.

Tak hanya itu, dengan tidak ada daya dan kekuatan yang kita miliki kecuali milik Tuhan.

Oleh karena itu, kita sejogyanya selaku orang yang hanya bisa berencana dan Tuhan pulalah yang akan menentukanya. Maka kita di anjurkan untuk memohon doa kepada sang Pencipta atas keselamataan kita sampai ketempat yang dituju. Semoga [290405]

×
Berita Terbaru Update