-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Tulisan (4)

Wednesday, August 30, 2006 | August 30, 2006 WIB Last Updated 2006-08-31T02:22:31Z

RUU Anti-Pornografi Dan Pornoaksi Menjadi Bulan-Bulanan

Oleh Ibn Ghifarie

BELAKANGAN INI, terjadi peristiwa yang mengejutkan bagi para pemuka agama, terutama pada pihak Majlis Ulama Indonesia (MUI), bahkan acapkali kebakaran jenggot. Pasalnya, beberapa pekan kebelakang terdapat beberapa gambar senonoh baik melaui media cetak maupun elektronik. Sudah tentu, bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Hingga disinyalir aliran tersebut dapat membuat resah dan geram bagi masyarakat alias menyulut amarah.

Kemudian, yang pada akhirnya berujung pangkal pada perbuatan zinah, bahkan sekaligus menafikan adanya Tuhan. Sebut saja, yang perlakuan oleh Ratu Goyang Ngebor bernama Inul. Tarian ini dinilai telah mengumbar aurat lewat bokong-nya; Gambar lukisan yang di buat oleh Affandi lewat Telanjangi (1947), Telanjangi dan Dua Kucing (1952); foto-foto panas Shopia Latjuba dan kawan–kawannya, yang terkesan sure; atau yang terdapat dalam surat Kabar Kota Makasar (2000) terutama dalam rubrik Sajak Neru; Minta Berhenti Sekolah (16/6) perempuan dengan dada separuh telanjang; Mertua Saya Kurang Ajar Sekali (20/1) perempuan yang sedang terangsang; Suami Saya Bawa Lari Honor Guru (4/7) perempuan muda berpakian renang dengan mimik terangsang; Saya Mencintai Duda Tiga Anak (14/7) perempuan dengan penonjolan bra dan buah dada; Upah Suami Dipakai Ongkosin Perempuan (5/8) perempuan dengan setelah telanjang; Ternyata Suami Saya Beristri Di Jawa (8/8) perempuan setengah telanjang.

Selain itu, dalam rubrik romantika pun fotret panas ini terlangsir dalam; Mengintif Kehidupan ABG Di Pare-Pare, yang memakai bra dan tidak mengenakan sehelai busana pun guna berfose di tempat tidur. Atau yang unik lagi, ketika menjamurnya media buah dari kebebasan pers, maka kehadiran majalah Playboy edisi Indonesia pun menuai pro dan kontra. Konon, hadirnya majalah berfose bugil ini akan memperburuk, bahkan memperkeruh krisis moral yang melanda bangsa Indonesia.

Tak hanya itu, VCD panas kembali mengguncang Bandung melalui ‘Blue Film’ Belum Ada Judul jilid II, bahkan lebih hot lagi dari jilid satu yaitu Bandung Lautan Asmara, seperti yang dilansir oleh majalah Gatra No 43 Thn X (11 September 2004). Meskipun, semula Jilid II ini di muat oleh Radar Bandung yang memulai kehebohan ini (27 Agustus 2004), Radar memuat headline dengan judul besar “VCD Porno Bandung Jilid II”. Bikin heboh karena hampir seluruh halaman Radar harian itu diisi gambar yang dicuplik dari VCD itu. Kendati disamarkan dengan diberi cahaya, foto-foto itu masih jelas menggambarkan adegan intim kedua pemainnya. Selang beberapa pekan, kejadian yang sama pun terjadi di bumi perkemahan Bandung Selatan lewat “Tragedi Ranca Upas”. Adegan “Hot” ini yang dilakukan di siang bolong oleh sepasang muda-mudi bau kencur.

Ironisnya, di tengah-tengah arus informasi yang mudah di akses melalui internet, cybersex pun semakin menjamur. Sebut saja, Trippel X, Asian-Thumbs.., Schoolgirl. Tak hanya itu Cybersex Local pun tak kalah serunya. Apalagi kalau kita menohok beberapa situs. Semisal, Pondok Putri, Darahitam, Pondok Ariva, Samsara, Dewa-Dewi. Atau yang masih nempel disitus Yahoo-Groups. Seperti Dedes, dan Monggomas.

Dengan maraknya situs-situs panas, gambar dan foto bugil, VCD “Hot” bak jamur di musim hujan tiba, yang dapat menyesatkan akidah umat Islam.

Bak gayung bersambut. Ketua komisi fatwa MUI, K H Maruf Amin, mengeluarkan fatwa pengharaman terhadap segala bentuk dan perilaku senonoh tersebut, tegasnya.

Bahkan suara lantang tentang perseteruan Inul-Rhoma di bawa ke Gedung Dewan guna mendegarkan jejak pendapat, sebagai contoh. Namun, apa yang tejadi malah satu sama lain saling menghakimi, terutama yang di komandoi oleh Raja Dangdut, yang terlalu menyudutkan bahkan terkesan menghakimi Sang Ratu Ngebor. Sampai-sampai wanita asal Pasuruan keluar sebentar dari gedung wakil rakyat itu, sebab tidak kuat menahan upatan, cacian sekaligus hujatan yang dialamatkan padanya. Padahal kegiatan itu, merupakan langkah awal dalam urunrembug menepis kemelut yang terjadi di para artis. Tentu saja, ruang dialog itu merupakan masukan bagi para anggota dewan guna membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti-Pornografi dan Pornoaksi.

Tarik-ulur RUU Anti-Pornografi Dan Pornoaksi Di Tengah-Tengah Kemelut Bangsa.

Kehadiran RUU tersebut, tidaklah semudah membalikan telapak tangan, tapi menuai berbagai cerita mulai dari yang mengamini, mencaci, memaki, menghujat sampai menuntut supaya cepat disahkan oleh para Perwakilan Rakyat. Tentunya, perbincangan RUU anti-pornografi dan pornoaksi itu, menuai kontroversi menjadi bahan cuap-cuap-atau obrolan senja di tengah penat dan peliknya kehidupan--dari berbagai pihak. Tak terkecuali media cetak dan elektronik, yang menjadi “buah bibir” sekaligus “bulan-bulanan” bagi mereka.

Thus, kitab suci tersebut membuat beberapa intelektual yang tergabung dalam Jaringan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pro perempuan menilai harus ada pembahasan lebih dalam mengenai rencana itu karena tidak melindungi perempuan dan anak, bahkan cenderung menjadikan mereka korban. Seperti yang termaktub dari hasi laporan yang ditulis oleh Ninuk Mardiana Pambudy dalam www.Islib.com.

Dalam diskusi terbatas di Jakarta (28/6), jaringan yang beranggota 35 oganisasi perempuan, termasuk Komnas Perempuan, Kowani, Puan Amal hayati, Muslimat NU, Cetro, Aliansi Pelangi Antar Bangsa, Kalyanamitra, Pusat Krisis Peduli RS Cipto Mangunkusumo, LBH Jakarta, LBH APIK Jakarta, “manilai RUU justru berpofesi melahirkan kekerasan baru, menempatkan korban menjadi pelaku, terutama pada korban perempuan dan anak, melanggar kebebasan berekspresi, membakukan standar kesusilaan berdasarkan pemakaman satu kelompok saja”, begitulah cetus mereka.

Selain itu, RUU ini juga tidak mengatur pembatasan akses terhadap situs porno di internet, majalah dan VCD, serta media lain yang bermuatan pornografi. Selain itu tidak mengatur pengawasan pelaksanaan serta respon dari masyarakat, tegasnya.

Kritik yang senadapun dialamatkan pada Badan Anti Pornografi Dan Pornoaksi Nasional (BAPN) yang dinilai tidak perlu ada. Alasan yang disampaikan, fungsi badan ini lebih seperti lembaga swadaya masyarakat daripada badan nasional, keanggotannya tidak mewakili semua unsur di masyarakat, seperti pakar pendidikan, kesehatan perdagangan, dan pers. Ujung-ujungnya fungsi pengawasan BAPN terhadap proses penyelidikan pornografi dan pornoaksi dinilai mengurangi tanggungjawab aparat terhadap publik. Pendek kata, akses publik untuk berpartisipasi dalam memberantas pornografi juga dibatasi, sebab warga negara harus melapor melalui LSM yang bergerak dalam bidang ini, katanya.

Lagi-lagi RUU ini pun memperuncing kemelut yang lebih akut. Manakala apabila kita menilik pasal demi pasal dalam paririmbon tersebut. RUU menyebutkan, pornografi adalah subtansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan tentang seks dengan cara mengeksploitasi seks, kecabulan dan atau erotik (Bab I pasal 1 ayat 1). Sedangkan pornoakasi adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja mempertontonkan atau mempertunjukan eksploitasi seksualitas, kecabulan, dan atau erotik (Pasal 1 ayat 2).

Dalam diskusi yang dinahkodai oleh Smita Notosusanto, dari Cetro dengan narasumber Ketua badan pelaksana Komite Indonesia untuk pemberantasan pornografi dan pornoaksi (KIP3) dan ketua umum anti-pornografi dan anti-pornoaksi (Amap) Hj Yuniwati Maschjun Sofwan, Agus pambagio dari visi anak Bangsa, K H Husen Umar dari Fahmia Institut Cirebon, Abdul Maqsit dari Wahid Institut dan kriminologi dari Universitas Indonesia Syarifah.

Ratna Batara Munti dari LBH APIK Jakarta mengawali pembincangan dengan mengatakan, bahwa definisi mengenai pornografi tersebut rancu, katanya.

Lebih lanjut Pentolan APIK tersebut memperinci bahwa kerancuan itu disebabkan pengertian eksploitasi seks, cabulan dan erotik memiliki pengertian yang berbeda-beda. Tegasnya, Ekspoitasi seksual merupakan seksual manusia secara berlebihan untuk mendapat keuntungan materi atau non-materi bagi diri sendiri atau orang lain. Kecabulan menurut KUHP adalah perbuatan asusila atau melanggar kesopanan yang berhubungan dengan perkelaminan. Sedangkan erotik yaitu gairah seksual atau hal-hal yang membangkitkan gairah seksual, kodrat alami manusia sebagai makhluk yang memiliki gairah seksual, tuturkatanya. Dengan demikian, depenisi tersebut tidak menjelaskan secar terperinci mengenai bentuk eksploitasi seks dan dampak yang dapat ditimbulkan terhadap perempuan dan anak. Bagi KH Husen Muhammad ikut menggapi dari segi perdagangan manusia (traficking), Ia berujar bahwa penegasan RUU ini mengabaikan sama sekali fakta yang banyak terjadi bahwa perempuan dan anak yang terlibat pornografi dan pornoaksi adalah korban dari perdagangan manusia. Karen itu ada relasi partiarkhi yang mengsubordinasi perempuan dan anak, terutama anak perempuan, keduanya terpaksa masuk dalam dunia itu, ungkap pria asal Cirebon itu.

Lebih jauh, masih menurut Pria yang selalu memakai peci tersebut menambahkan kasus yang terungkap di media masa justru menunjukan, perempuan dan anak adalah korban walaupun mereka tampil dalam materi pornografi. Sebut saja, VCD porno Bandung Lautan Asmara (2001); Lombok (2005) dan deretan papan nama selebritis; Rahel Maryam, Femmy P Chandra, dan Sarah Azhari, yang diambil gambarnya dari balik cermin kamar ganti pakaian oleh pemilik studio Cesting, Budi Han, tanpa sepengetahuan yang bersangkutan (2003), katanya.

Suara keras dan lantangpun di lantunkan oleh Komunitas Gay dan Lesbian dengan menolak RUU anti-pornografi di Purwekerto. “Kami meminta pemerintah dan DPR memperhatikan hak-hak kami seperti warga negara lainnya”, kata Ketua Gaya Nusantara (perkumpulan Kaum Gay Indonesia) Dr Dede Oetomo PhD di sela-sela seminar nasional “Diskriminasi Gender terhadap Kaum Gay, lesbian, dan Waria dalam UU perkawinan, sabtu lalu di Fakultas Hukum Oensoed Purwekerto.

Pembicara lain adalah Widodo Budi Darmo (Insist Jogjakarta) dan Noor Aziz Said SH MH (akademisi dan pakar hukum Oensoed). Seminar tersebut di hadiri kaum gay, Lesbian, dan Waria serta ratusan Mahasiswa.Dede menjelaskan, tuntutan temen-temen seperti itu. Komunitasnya saat sekarang masih tetap mengalami diskriminasi dalam masyarakat. Justru sekarang akan muncul RUU anti-pornografi dan RUU KUHP yang rencananya seperti itu. “setelah melihat rencan itu, kami menilai ternyata mempersempit hak kami, katanya.Dia mencontohkan, dalam RUU KUHP terdapat penerapan sanksi hukum bagi mereka yang melakukan hubungan seks sesama gender atau jenis. “yang kena penerapan pasal tersebut jelas komunitas seperti kami, tuturnya.

Dalam RUU anti-pornografi, berhubungan sesama jenisjuga dianggap pornografi. Sebagai solusi komunitasnya menginginkan agar pemerintah mengakomodasi hak-haknya dengan membuat undang-undang kemitraan (partnership) seperti yang sudah diberlakukan di beberapa negara eropa, ungkap aktivis gay tersebut.

Sungguh ironis, di negeri tercinta ini, kita seakan ditakdirkan untuk direcoki dengan urusan agama yanag tidak ada habisnya. Sesungguhnya banyak soal besar harus kita selesaikan seperti soal keadilan, penggusuran, pengguran, persiapan Pilkada[l]. Hal ini terlihat dengan maraknya tragedi-tragedi kemanusian yang memilukan kita. Bahkan beberapa kali negara kita di buatnya ”menangis” atas kejadian-kejadian itu mulai dari gempa tsunami dan bencana alam—banjir, tanah longsor, badai bandang, gunung meletus, kelaparan, ladang kering kerontang, penggundulan dan kebakaran hutan. Seperti yang dilansir Pikiran Rakyat (31/12) bencana dan penyakit menjadi langit mendung yang membayangi di tahun 2005. awal tahun kita di kejutkan dengan longsor sampah TPA Leuwigajah (24/2) yang menelan korban jiwa 176 orang. Benar-benar mengejutkan, karena tidak ada yang menyangka timbunan sampah itu menjadi bahaya yang merenggut nyawa. Flu burung yang berawal di negri seberang memakan korban di negri ini (24/7), bahkan polio yang di sangka tinggal kenangan ternyat masih menjadi penyakit menakutkan seperti yang dialami oleh Saepullah (9) penderita polio badan di Cidahu Sukabumi. Korban jiwa pun masih berjatuhan bersama jatuhnya pesawat Mandala Air Lines di Medan (6/9).

Selain bencana alam, juga bencana dan penyakit yang timbul dari kebijakan pemerintah. Kenaikan harga BBM untuk meyelamatkan perekonomian negara justru menjadi bencana bagi rakyat kecil (17/3). Disusul dengan penyakit curiga, serakah amuk masa setelah pemerintah mengucurkan dana konpensasi BBM lewat bantuan langsung tunai (BLT) (26/10). Meski sukses menyelenggarakan peringatan ke-56 KAA (Konferensi Asia Afrika) yang menghimpun puluhan pemimpin negara, kondiri keamana negeri ini masih memiliki celah untuk aksi teror bom yang menewaskan 25 orang di bali (1/10).

Namun, dengan mudah kita berpaling dari persoalan tersebut. Hanya karena tiba-tiba kita harus menghadapi soal agama. Lihat saja, belum selesai kontroversi UU khusus dan partai lokal bagi Aceh dan Papua yang menyangkut daerah keistimewaan. Kita sudah digelisahkan lagi dengan munculnya RUU KUB (Kerukunan Umat Beragama) dan RUU anti-pornografi dan pornoaksi, yang membuat kita mengerutkan dahi agak lama. Lain halnya dengan golongan yang pro dengan RUU anti-Pornografi dan pornoaksi ini, mereka beranggapan bahwa RUU itu dapat mencegah kekerasan seksual dan mempertahankan kodrat perempuan.

Ungkapan di atas merupakan bantahan yang di alamatkan kepada Soe Tjen Marching dalam website Jurnal Perempuan dan di muat kembali pada Kompas (12/08), membuat tulisan “RUU pornografi; pemicu kekerasan seksual”. Lantas ada orang yang menggapi dengan mengawali “kok RUU pornografi dan pornoaksi merupakan biangkerok pemicu kekerasan seksual? Yang betul adalah UU tersebut dapat mencegah kekerasan seksual dan mempertahankan kodrat perempuan, tegasnya. Alih-alih ingin menjalankan syariat Islam secara kaffah, maka tiada cara lain dalam mencari solusi (pemecahan) dari permasalahan tersebut. Adalah penegagkan syariat islam dengan merekomendasikan sekaligus menuntut pengesahan RUU anti-Pornografi dan Pornoaksi. Sebut saja, langkah ini yang di amini oleh FPI (Fron Pembela Islam), MMI (Majlis Mujahidin Indonesia), PKS (Parta Keadilan Sejahtra). Atau dalam bentu aksi yang di komandoi oleh (KAPMI) Kesatuan Aksi Pelajar Muslim Indonesia dengan menolak majalah Playboy tumbuh-kembang di Indonesia.

Bara Api itu Bernama Media.

Memang pro dan kontra RUU tidak pernah berhenti dan semakin merebak di Indonesia. Apalagi manakala madia masa berperan aktif, terutama dalam mengebar-luaskan pelbagai informasi tersebut. Termasuk penyebaran pornografi, yang berujung pada bentuk pornoaksi dan pornoteks.Dalam hal ini, Nurul Ilmi Idrus, ikut andil dalam persoalan pelik itu. Ia beranggapan bahwa pemberitaan pada media merupakan pemerkosaan no 2. sambil mengutarakan berbagai contoh yang dimuat pada surat Kabar Kota Makasar (2000), …sudah diperkosa. Eh, diperkosa lagi oleh media (the scond rape) atau pemerkosaan terhadap korban, katanya.

Masih menurut wanita asal Makasar itu, menambahkan satu hal yang perlu diingatkan bahwa kita harus mengakui masyarakat kita yang cenderung munafik. Di satu sisi menghujat, mencaci atau bahkan mengkambing-hitamkan manusia Barat sebagai pemilik budaya yang dianggap tidak signifikan dengan budaya timur, tetapi di sisi lain juga ikut menikmati, bahkan pengagum berat pornografi tersebut, tuturnya. Lain halnya, dengan Abbar dalam Pelecehan Dan Kekerasan Seksual; Analisis Isi Surat Kabar Indonesia (1997;46) Ia berpendapat bahwa seks merupakan bumbu paling tua dalam membuat pornografer adalah pengguna media yang paling intensive dan banyak akal karena mereka dan pemirsanya selalu menginginkan inovasi-inovasi, ungkap memilik nama Abbar Ana Nadhya.

Begitupun dengan Yasraf Amir Pilliang berkomentar bahwa perempuan dijadikan komoditi untuk kepentingan ekonomi yang didasarkan pada konstruk sosial dan ideologi tertentu. Pengunaan tubuh perempuan di media sebagai salah satu ajang pornografi. Adalah sesuatu yang di politisi untuk tujuan ekonomi dengan aturan-aturan yang telah disebutkan atas dasar kepentingan pasar (ekonomi inters), ungkap dosen ITB itu. Selain itu, tentu saja terdapat fakror-faktor yang mempengaruhi pada media itu sendiri. Di antraanya; perilaku ini meleset dari idealisme media menjadi hilang, tiras media terancam menurun, ketat persaingan media, media baru mencari posisi masyarakat dan media menyadari bahwa erotisme yang dibutuhkan oleh masyarakat. (Erotik Media, 2001;140) erotisme kebutuhan budaya patriarkhi dan sangat merugikan pada diri perempuan.

Terlepas dari itu semua, bahwa RUU tersebut harus lebih menekankan pada hak individu. Seperti yang ditawarkan oleh Gadis Aravia, yang ikut ngawadul dalam menggapi persolan tersebut. Ia mencoba mengutif Kate Millet, Betty Friadan, Adrienne Rich dan sang novelis Eric Jong, yang dimuat dalam Jurnal Perempuan edisi (38) berhati-hati terhadap bersikap mata-buta terhadap pelarangan porno karena kebebasan porno untuk berekspresi harus tetap dijamin dan menjadi prinsip yang adil dan setara, ungkapnya. Namun, masih menurut Dewan Redaksi jurnal Perempuan, menegaskan yang perlu di perhatikan dalam melarang sama sekali tidak beralasan atas nama moral, akan tetapi melakukan pembatasan guna membuat peraturan negara yang ketat dalam hal mengatur penjualan produk, katanya dosen UI itu.

Masalah aturan hukum berdasarkan semangat kesetaraan dan hak individu, masih menurut aktivis gender ini. Pendek kata, pengaturan perjalanan harus melindungi pada hak pekerjaan perempuan dalam industri. Malah justru akan menyuburkan praktek porno illegal (bukan sorf porn lebih pada hard porn) karena hukum individu sangat lemah, praktek-praktek ini akan semakin menyuburkan korupsi. Artinya bukan menguntungkan masyarakat melinkan hanya menggantungkan otoritas negara. Dengan demikian, inilah yang perlu dipikirkan oleh pemerintah. Dengan mengeluarkan pelbagai pertanyaan sekaligus menuntut sebuah jawaban; mengapa selalu perempuan yang menjadi objek pornografi?; mengapa perempuan yang selalu dikejar, dihakimi, dicaci, dimaki, ketika pornografi dipermaslahkan. Mulai dari Inul Daratista sampai VDC Lombok, bahkan beberapa penulis seperti Ayu Utami, “Dee” Dewi Lestari, Djenar Maesa Auu dan Oka Rosmina terkena batunya.

Akhir kata, coba tengok perlakuan aksi panggung Roymartin dalam membawakan lagu-lagu dengan telanjang badan. Namun, aksi terkesan merangsang itu tidak mendapatkan reaksi dari pelbagai pihak. Termasuk para ulama. Lantas, apa jadinya kalau perempuan yang tari panggung itu dan apa yang menyebabkan itu semua? [03.02.2006] Pojok-Sekre Kering.

×
Berita Terbaru Update