-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Nukilan (10)

Thursday, September 14, 2006 | September 14, 2006 WIB Last Updated 2006-09-14T22:33:46Z
Buah Simalakama Itu Bernama Paket C
oleh Ibn Ghifarie


UJIAN kesetaraan paket C digelar serentak dan berlangsung lancar di seluruh Tanah Air, Senin (28/8) hingga Kamis (31/8) lalu. Lebih dari 200 ribu orang mengikuti ujian yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin mendapatkan ijazah SLTA itu. Peserta ujian terdiri dari mereka yang tidak memiliki ijazah SLTA karena putus sekolah, dan mereka yang tidak lulus ujian nasional (UN) beberapa waktu lalu.

Jumlah yang ikut ujian paket karena gagal UN cukup dominan, yakni 65%. Inilah yang membuat peserta ujian kesetaraan paket C tahun ini naik dua kali lipat jika dibandingkan tahun lalu. Sebuah konsekuensi dari langkah pemerintah yang meniadakan UN ulangan bagi mereka yang gagal, sehingga menjadikan ujian paket C sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan pendidikan SLTA.

Lancar dan tidak ditemukannya kejanggalan dalam pelaksanaan ujian paket C patut disyukuri. Bayangkan, apa yang terjadi, seandainya ujian itu diwarnai oleh kecurangan dan praktik pungutan sebagaimana yang sempat dikhawatirkan sebelumnya, sehingga ujian paket C itu dinilai gagal? Jadi, inilah solusi bagi yang gagal UN, tetapi juga gagal menyelesaikan masalah, bahkan menambah masalah baru. Yang sudah pasti jumlah mereka yang menganggur karena tidak memiliki ijazah akan meningkat. (Media Indonesia, 03/09)

Aneh memang. Di tengah-tenganya maraknya siswa yang gagal mengikuti Ujian Nasional (UN) beberapa bulan lalu. Kejar Paket B (sejajar SMP) dan C (tingkat SMA) di harapkan menjadi solusi arif dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. Nayatanya, malah membuat masalah baru, seperti yang dilansir oleh Media Indonesia.

Tak berhenti sampai di sini saja, pola pendidikan pun di tentukan oleh sistem UN yang berjalan selama beberapa hari. Sudah tentu, mengabaikan kompetensi anak didik. Pendek kata, model pendidikan berbasis kompetensi pun tak berbanding lurus dengan gaya UN. Seakan-akan mensyaratkan perbedaan antara penentuan kelulusan dengan kurikulumnya.

Lebih parah lagi, pelaksaan ujian paket C pun kian memprihatinkan peserta didik. Pasalnya, meskipun mereka lulus dari ujian tersebut, tetap saja mereka tak bia melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Terutama ke Perguruan Tinggi Negeri karena lembaga pendidikan itu, telah menutup masa penerimaan mahasiswa baru. Malahan telah di gelag acara Orientasi Pengenalan Kampus (ospek). Artinya mereka harus rela mengalkan terlebih dahulu cita-citanya. Kalaupun bisa, paling mereka melanjutkan ke Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Tentunya, dengan biaya yang relatif lebih mahal.

Dengan demikian, di selenggarakanya ujian paket C atau tidak, kedua-duanya malah menjadi buah simalakama bagi pertumbuhan lajunya pendidikan.

Ironis. Sunguh ironis. Semuanya telah terjadi bak nasi sudah menjadi bubur. Kini, tinggal bagaimana cara pemerintah atau kita mampu mengoptimalkan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada. Tak lain guna memberikan bimbingan pada anak didik yang berada di sekitar lingkungannya. Sebab tak mesti selamanya pendidikan ala Indonesia hanya tertumpu pada lembaga formal semata. Namun, keikutsertaan keluarga, lingkungan pula menjadi modal yang tak terelakan lagi. [Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok PusInfoKomp, 03/09;11.05 wib
×
Berita Terbaru Update