-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Nukilan (11)

Thursday, September 14, 2006 | September 14, 2006 WIB Last Updated 2006-09-14T22:35:39Z
Nikah Kilat Ala Cisarua Kenapa Tidak?
oleh Ibn Ghifarie

Di tengah-tengah arus globalisasi dan semakin tak menentu keberpihakan pemerintah terhadap rakyat jelata. Kian hari, kian dirasakan oleh sebagian masyarakat kecil. Mulai dari kenaikan BBM (Bahan Bakar Minimum), Listrik, Telpon, sampai minimnya pasokan beras, air. Apalagi pasca krisis moneter.

Meningkatnya pola hidup membuat sebagian penduduk Indonesia lupa diri, hingga berani melakukan perbuatan ganjil yang dianggap sebagian kelompok tertentu.

Adalah pernikahan mut’ah atau lebih dikenal dengan sebutan nikah kontrak. Tentu saja, maraknya perbuatan nyeleneh ini bak dimusim hujan, membuat sebagian golongan keagamaan geram, hingga kebakaran jengot. Ujung-ujungnya mereka mengeluarkan senjata ampuh bernama fatwa.

Lihat saja, empu Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, KH Ma'ruf Amin pun angkat bicara, justru heran mengapa praktik itu masih dilakukan di Indonesia. Padahal jelas-jelas menurut kaca mata agama dan negara, model perkawinan ini dilarang dan diharamkan. ''Nikah kontrak tidak boleh karena waktunya terbatas. Nikah itu tidak pakai waktu terbatas, untuk membina keluarga yang sakinah," ujarnya, saat dihubungi Republika, Rabu (9/8). Nikah dengan batas waktu, kata dia, umumnya hanya karena satu alasan: hawa nafsu. Bahkan ia menilaianya sebagai bentuk pelacuran terselubung. "Hanya ada kepentingan materi dan seksual, setelah itu bubar,'' jelasnya.

Senada dengan Maruf, secara kelembagaan pun PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) menyatakan bahwa kawin kontrak dalam hukum Islam haram dilakukan karena diindikasikan sebagai pelacuran atau perdagangan manusia terselubung yang mencari pembenaran. (Keluarga Sejahtra 15/08)

Menjamurnya pernikahan ala Cisarua itu, menuai pelbagai protes. Entah mendukung atau menolak mentah-mentah tanpa mengetahui asal muasalnya.

Ironisanya lagi perbuatan miring tersebut, dilakukan oleh sebagian besar turuan Arab yang melakukan pelesiran ke Indonesia. Padahal Jajirah Arab merupakan kiblatnya umat Islam. Sunguh membuat citra umat islam berbau Timur Tengah itu, semakin luntur dimata masyarakat.

Lepas dari persoalan halal-haram, sah atau tidak, pelacuran terselubung berkedok agama. Nyatanya, mengisahkan sederetan cerita menarik untuk kita kuak dan simak secara bersama-sama. Bahkan membawa mereka ke jalan kebahagian.

Artinya, justru semakin banyaknya para pelancong rasa yang berdatangan ke Bogor. Apalagi melakukan pernikahan, seolah-olah mereka menjadi ‘Dewa Penyelamat’. Pasalnya, mereka telah melepaskan lilitan sekaligus jeratan kemiskinan yang telah menimpa warga sekitarnya.

Sebut saja, Lilis 23 thn, wanita asal Sukabumi, "Yang penting bagi saya, orang-orang Arab itu ngasih mahar (maskawin) segede-gedenya," kata Lilis kepada Gatra.

Lilis menekuni profesi sebagai "pekerja nikah kontrak" sejak tiga tahun lalu. Pada 2003, setelah berpisah dari suami pertamanya asal Sukabumi, Lilis memutuskan menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Riyadh, Arab Saudi. Di sana ia menikah dengan orang Arab Saudi bernama Faris Ma'tuk Al-Maseri, 40 tahun.

Merasa kurang cocok dengan Faris, Lilis akhirnya pulang ke Indonesia pada 2004. Setelah itu, ia berkali-kali menikah kontrak dengan orang Arab di Indonesia. Dari Umar, 38 tahun, Abdul Aziz, 35 tahun, Hasan, 40 tahun, hingga Ibrahim, 55 tahun. Kini, entah kenapa, Lilis kembali lagi ke pangkuan Faris sebagai pembantu rumah tangga sekaligus istrinya.

"Rasa cemburu antara saya dan istri Faris jelas ada. Tapi saya menikmatinya, kok," tutur Lilis. "Ya, namanya juga cari duit. Beginilah nasib saya," ucapnya, pasrah.

Kekayaan Lilis dari nikah kontrak selama tiga tahun tidaklah sedikit. Saat ini, ia sudah memiliki empang ikan seluas 70 meter persegi dan sawah berpetak-petak di kampung halamannya, Babakan Pari, Cisaat, Sukabumi.

Bukan hanya itu, putri kedua dari enam bersaudara ini juga bisa membiayai kuliah kakaknya di sebuah perguruan tinggi elite di Bandung, sekaligus merenovasi rumah kedua orangtuanya. Saat Gatra berkunjung ke rumah orangtua Lilis, rumah di atas tanah seluas 200 meter persegi itu tampak mentereng. (Gatra, 10/08).

Dengan demikian, tak selanyanya ‘perbuatan kelam’ selalu diamini oleh sebagian kelompok tertentu. Apalagi bila sudah berhubungan dengan masalah perut. Tak bisa diajak berkompromi atau cukup dengan berdoa dan berdiam diri di mesjid. Sudah tentu, jawabnnya tidak.

Meskipun begitu, umat islam harus lebih arif dalam menyikapi persoalan tersebut. Bukan malah mengalang kekuatan untuk membumi hanguskan vila-vila indah nan asri lagi elok di Cisarua Bogor tersebut.

Relakah kita, saudara-saudra yang semuslim menjadi ingkar terhadap Tuhan, karena terganggu dengan masalah dapurnya. Bila tidak, maka berikanlah zakat pada mereka. Atau nikahkan saja mereka dengan para pengusa dan ulama kaya. Namun, jika masalah kemiskinan tak diutamakan oleh kyai, maka berjamahlah kita melakukan pernikahan kilat. Kenapa tidak? [Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok PusInfoKomp, 07/09;23.55 wib
×
Berita Terbaru Update