-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kitab (19)

Tuesday, November 13, 2007 | November 13, 2007 WIB Last Updated 2008-01-30T20:20:44Z
Islam itu Egaliter
Oleh Ibn Ghifarie

‘Islam itu agama egaliter dan Allah tidak akan membiarkan ketidakadilan atas umatnya. Inilah keadilan Tuhan,’ kata Nina Nurmala Ph.D dalam acara Kuliah Terbuka bertajug ‘Konsep Keadilan Gender Perspektif Islam’ yang digelar oleh Women Studies Center (WSC) UIN SGD Bandung di Aula Student Center (SC), kamis (08/11).

Salah satu bukti keadilan Tuhan ‘Allah tidak akan membeda-bedakan derajat hambanya kecuali taqwanya,’ katanya.

Di ayat lain menjelaskan, misalnya dalam proses penciptaan manusia berawal dari satu ummatan wahidatan (Q.S Aninisa;01). ‘Inilah bukti tidak adanya perbedaan dalam penciptaan manusia, keluali asfek biologis semata’ tambahnya.

Menyoal pembuatan Siti Hawa dari tulang rusuk Adam yang bengkok, Ia menuturkan kuatnya pengaruh dongeng-dongeng Israiliat, agama Yahudi, dan Kristen sehingga menjadikan peciptaan Hawa dari tulang rusuk.

Selain itu, metode penafsiran yang sering dipakainya itu memakai cara ‘comotisme’ comot ayat sana, comot ayat sini, hingga seenak gue dalam menapsirkan. ‘Nah, disinilah perlunya tafsir infiltisme—meminjam istilah Fazlur Rahman yang menyeluruh. Bukan sepotong-potong,’ jelasnya.

Untuk kata Arijal dalam ayat ‘Arijalu Kowamuna Ala Nisa’ selama ini yang kita dapatkan ‘Laki-laki adalah pemimpin dari wanita. Padahal maknanya bukan semata-mata laki-laki saja, melainkan orang yang ahli dan berwawasan luas—meninjam penafsiran Nasarudin Umar.

Coba bandingkan dengan kata dzakar. Nah ini baru aspek genetic, tegasnya.

Senada dengan Nina. Brevo Presma BEM J (Badan Eksekutive Mahasiswa Jurusan) Sosiologi Agama berkata ‘Saya sangat setuju sekali dengan pendapat narasumber dalam hal penciptaan Adam-Hawa, yang memerlukan penafsiran ulang dan tidak ada yang membedakan kedudukan hamba kecuali taqwa,’ paparnya.

Namun, yang menjadi pesoalan ‘Jika memang perempuan ingin mendapatkan hak yang sama dalam bidang apa pun, kenapa tidak ada Nabi seorang perempuan?, tutupnya.

Memang sangat diperlukan penafsiran yang holistik (menyeluruh-red) dalam menafsirkan ayat demi ayat, tapi persoalanya pengaruh budaya, social sangat menantukan. Lihat penafsiran Tuhan yang identik maskulin. Yakni memakai hua (lak-laki), kata Siti aktivis WSC.

Berbeda dengan Faisal, aktivis HIMA Persis (Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam) berucap ‘Justru karena perempuan sering memposisikan kedua, maka sangatlah wajar bila wanita diidentikan lemah. Begitupun dalam menafsirkan ayat-ayat yang sarat laki-laki,’ ujarnya.

Coba kalau tidak mempunyai keahlian dan berwawasan tinggi. ‘Tentunya tidak akan terjadi pemahaman miring tersebut,’ harapnya. [Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok Aula Studen Center, 08/11/07;12.38 wib
×
Berita Terbaru Update