-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

KitaB (10)

Sunday, January 27, 2008 | January 27, 2008 WIB Last Updated 2008-01-30T20:51:12Z
Haruskan Tahlilan Kematian Soeharo Digani; Membagikan Harta Kekayaanya?
Oleh Ibn Ghifarie

Rasanya angkuh bila kita tak memberikan ucapan belasungkawa terhadap keluarga Cendana. Pasalnya, Bapak Pembanguan telah meninggalkan kita semua untuk menghadap Sang Kholik, Minggu (27/01) pukul 13.19 wib.

Semoga amal baik mantan Penguasa Rezim Orbe baru itu di teriman oleh Tuhan dan masyarakat Indonesia memaafkan segala kehilafannya.

Tak pelak, tradisi tahlilan pun menjadi bagian yang tak bisa di ganggu gugat. Masih ingat dalam benak kita, saat Ibu Tien (1996) meninggal kebiasaan membaca yasinan itu menjadi sebuah keharusan. Seakan-akan rasanya tak afdhal bila kita meninggalkan warisan para leluhur tersebut.

Kini, saat The Smiling General berpulang ke pangkuan rahmatullah. Adakah acara melayat mendingan Soeharto diwarnai tahlilan?

Hayu atuh. Kabeh sa UIN jeung Rektor kudu mimpina [Ayo segera. Kalu perlu seluruh Civitas Akademika UIN SGD Bandung dan Rektor, Prof Nanat Fatah Natsi, M.Si harus menjadi pemimpinya], kata Sulthonie, Desen Fakultas Filsafat dan Teologi.

Meninggung kebiasaan Tahlilan yang dianggap oleh kelompok tertentu tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah saw. Ia menjawabnya ‘Bid’ah teh lamun PERSIS (Persatuan Islam). Da urang mah UIN [Bid’ah itu kalau menurut pemahaman ajaran PERSIS. Kan saya bukan UIN (keislaman non sectarian-red)]

Lain lagi Sulthonie. Lain pula Akhmad Mikail, mahasiswa Sains dan Teknologi menuturkan ‘Ah pami abi mah hente, da tara. Tapi pami di bumina mah sigana nuju rame [Ah bagi saya tidak, soalnya tak pernah. Tapi kalau dirumah (mendiang-red) pasti rame].

Anu jelas mah teu aya contona ti Rasul [Yang jelas tradisi tahlilan itu tidak ada contohnya dari Rasulullah Saw], jelasnya.

Alangkah baiknya jika biaya tahlilan pak Harto dikasihkan kepada rakyat. Cukup barangkali memberikan makan bagi ratusan juta warga miskin, yang sekarang jarang tersenyum. Atau selama 7 hari keluarga cendana harus mengembalikan aset negara untuk kemaslahatan rakyat, kata Sukron Abdilah, pegiat Studi Budaya dan Pemerhati Budaya Lokal Sunda.

Nah, tanpa mengurangi rasa belasungkawa saya, alangkah baiknya jika 7 hari masa berkabung atas wafatnya Suharto dijadikan waktu untuk menggenjot program ketahanan pangan. Karena ketika kebutuhan pangan untuk bangsa ini murah-meriah, boleh jadi senyum manis Suharto akan kembali dirasakan rakyatnya. Bukan ketegangan, ketimpangan, kemelaratan, dan kemiskinan yang dirasakan bangsa ini, harapnya.

Menilik kebolehan penggantian tahlilan dengan cara membagikan kekaraan terhadap rakyat atau sekedar membagikan makanan alakadarnya bagi anak-anak jalanan.

Akhmad berkata ‘Satuju..!! Mudah-mudahan abdi kabagean, kumargi kaabus miskin [Sangat setuju sekali. Semoga saya dapat bagian, karena saya masih tergolong miskin], cetusnya.

‘Kan putra putrina pengusaha. Pastina bisa muka lapangan kerja keur masyarakat anu nganggur [kan putra-putri Soeharto itu para pengusaha. Pastinya dapat mmebuka lapangan kerja supaya dapat mengurangi angka pengangguran], tambahnya.

‘Nya atuh sakali-kali tahlil. Ulah ka masyarakat miskin wae. Da urang oge miskin [Ya sesekali ngadain tahlilan. Ga usah ngasih ke masyarakat (perubahan gaya tahlilan; tidak berdoa dan membaca Al-Qur’an, tapi membuka lapangan kerja-red) saja. Kan saya juga termasuk miskin] ungkap Sulthonie

Kendati masih dalam suasana duka dan belom terpikirkan untuk menggelar kebiasaan luhur tersebut. Haruskan Tahlilan kematian Soeharo digani; membagikan harta kekayaanya? Selamat jalan Bapak Pembangunan. [Ibn Ghifarie]

Cag Rampes Pojok Komputer Ngaheng, 29/01/01;01.36 wib
×
Berita Terbaru Update