-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kitab (6)

Wednesday, January 23, 2008 | January 23, 2008 WIB Last Updated 2008-01-30T20:24:01Z
Kebebasan Beragama Tersandung ‘Beda Pendapat’
Oleh Ibn Ghifarie

Sejatinya kehadiran tahun baru hiriah kita jadikan moment evaluasi (muhasabah) bersama sekaligus menolak rasa putus asa dan kebosanan hidup dengan cara bergerak menuju kebaikan, kebenaran, dan kesabaran dalam persaudaraan. Bukan malah sebaliknya.

Persaudaraan kita kian hari semakin tersecer saja. Betapa tidak, perbedaan pendapat dalam menjalankan perintak Tuhan pun menjadi biang kerusuhan tersebut.

Tengoklah perseteruan antar kelompok mayoritas dan minoritas antara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dipelbagai daerah (Bpgor, Cianjur, Nusa Tenggara Barat (NTB), Tasikmalaya, Garut, Kuningan, Majalengka, Bandung); Islam Sejati (Banten); Pondok Alif (Kedal Jawa Tengah); Wahidiyah (Tasikmalaya dan Sumedang); Al Qiyadah Al Islamiyah (Padang, Jakarta, Jogyakarta); Al-Qur’an Suci atau Al-haq (Bandung); Oim, Qudrat dan Tarekat Nikung (Garut).

Pengrusakan Tempat Ibadah; Perbuatan lalim
Apapun alasannya mengumpat, mencaci-maki, menghancurkan tempat ibadah tertentu, hingga menghilangkan nyawa orang lain, tak termasuk dalam kategori perbuatan baik. Diridhoi oleh Tuhan apalagi, jelas tidak.

Terlebih lagi, hanya karena beda pemahaman dalam menafsirkan sumber umat Islam (al-Quran dan hadis). Rasanya tak pantas bila kita menyelesaikan persoalan beda pendapat dengan budaya preman. Mengerikan sekali.

Kedengaranya perbuatal lalim itu tak mugkin terjadi, tapi kuatnya arus modernitas dan lemahnya keimanan acapkali perlakuan tak terpuji itu menjadi bagian yang tak bisa dipisahkan dalam menuntaskan persoalan yang dihadapi.

Di tengah-tengah keterpurukan umat Islam dan krirsis kepemimpinan, masih banyak kelompok tertentu melakukan perbuatak senonoh dalam menyelesaikan persoalan dengan jalan pintas. Adalah budaya baku hantam menjadi jurus pamungkas guna menumpas semua golongan yang berbeda.

Kilas Balik Hijriah
Kehadiran tahun jiriah pun tak membuat suasana membaik. Ukhuah antar sesame muslim kian menkerucut. Satu bukti semakin buramnya temali antar seagama. Yakni dengan maraknya kelompok yang selalu mengatasnamakan Tuhan. Bukanlah Sang Kholik memerintahkan kita untuk tetap menghargai pendapat orang lain (Al-Hujurat:11). Pasalnya, beda merupakn rahmat Tuhan yang harus kita jadikan modal dalam mengarungi kehidupan yang beragam.

Bila memang terjadi perselisihan antar kelompok satu dengan yang lainya, maka musyawarahkan. Bukan main hakim sendiri. Apalagi meniadakan nyawa orang lain. Jangankan saling bunuh-membunuh atau saling kafir-mengkafirkan. Sekedar menghujat saja, Muhammad melarangnya.

Rasulullah sangat mengecam perbuatan itu, dengan mengeluarkan sabdanya, “Mencaci maki orang muslim itu kufur, sedangkan membunuhnya juga kafir.” (H R Bukhari-Muslim).

Kalau begitu, apalah artinya petuah Rasulullah mengenai perbedaan sebagai rahmat. Jelas hal ini belum membuahkan hasil yang memuaskan hati kita. Sebab kita masih berkeyakinan bahwa dengan keseragaman (monolitik) kita bisa mengentaskan segala permasalahan yang kita hadapi dengan dalih mudah dikendalikan dan teratur.

Mencermati kelahiran hijrian, pada tanggal 16 Juli 622 M. Sekitar 70-an orang pengikut Nabi Muhammad lebih dulu sampai di Madinah, menyusul kemudian Nabi Muhammad, Abu Bakar, Ali, dan beberapa keluarganya.

Perjalanan yang ditempuh kala itu tidaklah pendek karena masih terbatasnya sarana transportasi yang tersedia. Jarak Mekkah-Madinah mencapai 250 mil dengan memakan waktu perjalanan kurang lebih sembilan hari berunta. Untuk menghindari kejaran orang-orang Quraiys yang makin sengit mempersekusi Nabi dan para pengikutnya, maka strategi yang disusun untuk hijrah pun harus matang dan rute yang ditempuh mestilah jalur alternatif yang lebih berliku. (Montgomery Watt, 2006: 121-126)

Makna Hijriah; Pembaruan dan Pembebasan
Lalu pelajaran berharga apa yang tersirat dari peristiwa ini? Bagi para pengkaji agama (Religionwisenhaf), hijrah dapat saja dimaknai sebagai upaya menyusun strategi baru guna membebaskan segala bentuk penindasan (mutstad’afin). Kemenangkan perang Mekah (futhu Mekah) pun jadi buah perjuanganya.

Adalah upaya mencari kebebasan dalam berkeyakinan dan beragama menjadi makna terdalam atas kejadian bersejarah ini. Tanpa perjuangan sahabat untuk menegakan agama lain (Islam) niscaya ajaran islam akan tumbuh-berkembang hingga ke penjuru diunia.

Mengingat kelompok Muhammad merupakan golongan minoritas-tertindas. Namun, kuatnya ikhtiar dan jarang memperselisihkan bed pendapat dalam kelompok islam membuat ajaran Muhamad dapat diterima di kalangan manapun.

Kendati bulan Muharam telah berselang beberapa hari diharapkan kehadiran tahun baru hijrian 1429 dapat membawa perubahan dan semanat baru atas segala persoalan yang sedang menimpa masyarakat Indonesia, termasuk kebebasan beragama. Cita-cita islam berwajah toleran dan menghargai pemahan kelompok lain pula jadi tumpuan utama di tahun 1429 H tersebut. Semoga.

Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 11/01/08;12.45 wib

*Pegiat Studi Agama-Agama dan Pemerhati Kebebasan Beragama
×
Berita Terbaru Update