-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Suhuf (20)

Friday, May 30, 2008 | May 30, 2008 WIB Last Updated 2008-05-30T13:35:56Z
Cak Nur Yes, Liberal No!!
Oleh Ibn Ghifarie

Dialog Imaginer Bersama Cak Nur Tentang Masa Depan Kebebasan Beragama

Pascadikeluarkanya 11 Fatwa oleh Majelis Ulama Indonesia tahun 2005 melalui Musyawarah Nasional (Munas) Ke-VII dialog antariman sekaligus masa depan kebebesan beragaman di Indonesia kian hari semakin terpuruk.

Betapak tidak, kisruh antara MUI dengan Jamaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tak kunjung usai. Penantian keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Mentri Agama, Mentri Dalam Negeri dan Kejaksaan Agung menjadi sesuatu yang menakutkan. Pun perseteruan satu-satunya lembaga—konon pewaris Anbiya dengan kehadiran pelbagai Komunitas Eden; Shalat Dua Bahasa; Wahidiah; Islam Sejati; Majelis Alif dan aliran kepercayaan lainya semakin menganga.

Terlebih lagi, dengan adanya pelarangan 3 paham. Yakni Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme (SPL) di Bumi Pertiwi membuat kebebasan beragama menjadi ‘terkebiri’.

Ironisnya, kemelut sekaligus ‘penertiban keyakinan’ ini terjadi dalam ruang lingkup seagama, bukan antarumat beragama. Mengerikan bukan?

Kemunculan Preman Berjubah—meminjam istilah Syafi’e Ma’arif pula berbuah petaka baru dalam menyelesaikan setiap persoalan dengan budaya anarkis sekaligus barbar.
Kiranya, petuah islam agama rahmatan lil’alamin dan sangat menghargai perbedaan pendapat hanya selogan belaka dan berhenti pada konsep semata.

Belajar Dari Cak Nur
Menilik ketidakharmonisan seagama, antarumat beragama dan pemerintah. Mestinya, kita menengok kembali pemikiran Nurcholish Madjid. Apalagi sejak meninggalnya Cak Nur konflik antariman semakin sering bermunculan.

Kini, pentolan Paramadinan telah tiada (2005) dan hanya meninggalkan pemikiannya—yang dianggap oleh sebagian kelompok sangat kontroversial. Terutama pasca ijtihadnya melalui pidato ‘Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umatâ’ (1970) dengan jargon ‘Islam Yes, Partai Islam No’

Sejatinya, kahadiran memperingati 1000 hari wafatnya Cak Nur dan Nurcholish Memorial Lecture II menjadi modal dasar evaluasi sekaligus semangat toleransi dan pencerahan bagi seluruh dialog antariman dan pemerintahan yang memegang kebijakan dalam kebebasan beragama di Indonesia. Berikut petikan Dialog Imaginer bersama Cak Nur.

Faktor apa yang menyebabkan umat Islam sering kisruh antar kelompok satu dengan yang lainya?

Salah satu pangkal persoalnaya, karena umat silam kurang memahami agamanya sebagai pesan dan nasihat Ketuhanan (al-Din Nashihah).

Maksud Anda?

Kita ketahui bersama bahwa rujukan umat Islam adalah Al-Qur’an dan As-Sunah. Bagi saya sambil menegaskan Al-Quran merupakan pesan dan nasihat Tuhan.

Membicarakan soal pesan Tuhan, maka selayaknya kita juga mengenal dan berupaya mengimani Kitab-kitab suci sebelumnya, seperti Zabur, Taurat, dan Injil yang diturunkan Sang Khalik kepada Anbiya.

Nah, pesan ketuhanan yang menjadi titik temu (common platform) dalam perjalanan panjang agama-agama itu akan bermuara pada Kesadaran Ketuhanan (Takwa) sekaligu keharusan berkeyakinan hanya ada satu Tuhan Yang Esa (tawhid) dalam diri umat beragama.

Tak hanya itu, The Ten Commandementnya Nabi Musa dan Injilnya Nabi Isa, kita akan menemukan pesan yang sama. Yakni hanya menyembah Tuhan Yang Esa (tawhid); tidak menyekutukan-Nya dalam bentuk apapun; tidak boleh membunuh; berzinah; mencuri; memfitnah; tidak bersaksi palsu dan dusta; jangan menginginkan harta; istri orang lain dan keharusan berbuat kebaikan.

Pada titik Inilah kita temukan kalimatun sawa antarkeyakinan yang dikenal oleh manusia dan orang-orang Islam diperintahkan sebagai landasan hidup bersama. [QS. al-Imran/3:64 dan QS. al-Syura/42:13]

Berangkat dari kerangka ini pesan suci yang bersifat universal sekaligus menjadi inti dan kesamaan pada semua agama yang benar.

Dalam bahasa yang lain, pesan dasar ini dikenal dengan sebutan ’perjanjian primordial’ kita untuk mengakui hanya ada Satu Tuhan (tawhid).

Selain itu, model keberagamaan mana yang menyebabkan konflik kian tak kunjung selesai itu?

Ada tiga model dalam keimanan; Pertama, Sikap Ekslusif. Sikap keberagamaan yang tertutup dan memandang keselamatan hanya ada pada agama dan teologinya semata.

Kita ambil contoh, dalam umat Kristiani dikenal selogan Extra Ecclesiam nulla salus, etraecclesiam nullus proheta (keselamatan hanya ada dalam gereja dan tidak ada nabi di luar gereja) pra-Konsili Vatikan II.

Umat Muhamad pula memiliki potensi yang serupa. Pandangan ini termaktub dalam QS.al-Maidah/5:3, al-Imran/3:85 dan 19.

Kedua, Sikap Inklusif. Tipe keberagamaan yang membedakan antara kehadiran penyelamatan dan aktifitas Tuhan dalam ajaran agama lain. Juru selamat beserta aktifitas Tuhannya hanya ada pada satu agama (Kristen).

Adalah Ibn Taymiyah, pendobrak kejumudan sekaligus menjadi tokoh Inklusif dalam Islam. Pemahaman ini didasarkan pada Al_Qur’an; Al-Imran/3:64--yang berbicara tentang kalimatun sawa agama-agama; Al-Maidah/5:48--yang menjelaskan adanya syir’ah (jalan menuju kebenaran) dan minhaj (cara atau metode perjalanan menuju kebenaran).

Ketiga, Sikap Pluralisme. Model keberagamaan yang memandang bahwa keselamatan ada pada semua agama.

Seiring dengan perkembangan zaman dan kuatnya arus modernitas sikap keberagamaan ini menyakini pada prinsifnya agama yang ada di dunia ini akan selamat dan mengajarkan hal-hal yang baik. Namun, ekspresinya berbeda-beda. Singkatnya, keimanan antara Islam dengan yahudi, Kristen, Budhisme, Shintoisme, Konfucuisme sekalipun keyakinan lokal tak ada bedaya bila mengajarkan keselamatan dan berbuat baik.

Namun, yang menjadi persoalan, manakala teologi Pluralisme diartikan salah kaprah. Hingga dengan seenaknya mengelurkan 11 Fatwa haram hukumnya umat islam mengikuti pemahaman Pluralisme sebagai contoh.

Lihatlah definisi Pluralisme oleh MUI, Pluralisme diharamkan karena menganut paham semua agama adalah sama dan bahwa agama bersifat relatif dan tidak ada yang boleh mengklaim agamanya adalah agama yang paling benar. Padahal seseorang beragama karena keyakinannya akan suatu kebenaran.

"Yang boleh adalah pluralitas bahwa kenyataan masyarakat memiliki agama yang berbeda-beda dan karenanya harus saling menghormati dan berdampingan dengan baik," katanya. (Kompas, 28 juli 2005)

Lantas apa yang dimaksud dengan pemahaman pluralisme itu?

Kehadiran Suku, Agama dan Budaya yang berbeda-beda meniscayakan kita untuk menafikan sunatullah. Dengan demikian, pemahaman yang didasarkan kesadaran kemajemukan secara sosial-budaya-religi yang tidak mungkin ditolak inilah yang disebut sebagai pluralisme.

Satu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis dan menerimanya sebagai pangkal tolak untk melakukan upaya konstruktif dalam bingkai karya-karya kemanusiaan yang membawa kebaikan dan kemaslahatan.(Islam, Doktrin dan Peradaban;1995)

Adakah ayat-ayat yang menjelaskan pluralisme?

Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menyuruh kita untuk menghargai perbedaan dan berlomba-lomba dalam kebaikan. Salah satunya Q.S Al-Hujurat/49:13 “….Bahwa Allah menciptakan umat manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai; QS. 30:22 “Perbedaan antara manusia dalam bahawa dan warna kulit merupakan pluralitas yang mesti diterima sebagai kenyataan yang positif dan merupakan salah satu kebesaran Allah.”; QS. 5:4 “Perbedaan pandangan hidup dan keyakinan, justru hendaknya menjadi penyemangat untuk saling berlomba menuju kebaikan. Kelak di akhirat, Tuhanlah yang akan menerangkan mengapa dirinya berkehendak seperti itu dan keputusan yang paling adil di tangan-Nya.”; Ar-Rum:22 dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah menciptakan bumi dan langit serta berlain-lain bahasamu, dan warna kulitmua; An-Naba 24-26; Katakanlah hai Muhammmad siapa yang membri rizki kepadamu dari langit dan dari bumi? Katakanlah Allah dan sesungguhnya kami atau kamu (non muslim) pasti berada dalam kebenaran atau kesesatan yang nyata, katakanlah kami (non muslim) tidak akan bertanggungjawab tentang dosa yang kami perbuat, dan kami tidak akan ditanya pula tentang apa yang kamu perbuat. Katakanlah tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian dia memberikan keputusan antara kita dengan benar dan dialah maha pemberi keputusan lagi maha mengetahui.

Jika memang ada pluralisme dalam Islam. Coba uraikan prinsif-prinsifnya?

Karena keragaman sebagai kehendak Tuhan yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Sejatinya, pluralisme harus berlndaskan pada; Pertama, Prinsip Pluralitas Merupakan Takdir Tuhan (QS.2:213, QS;5;4), Kedua, Prinsip Pengakuan Hak Eksistensi Agama di luar Islam (QS.5:44-50, QS.22;38-40). Ketiga, Prinsip titik temu dan kontinuitas Agama-agama, Nabi dan Rasul (QS.2;136-165, QS. 2:285, QS.42:13, QS.4:163-165, QS.2:136, QS. 29:46 QS. 42:15, QS. 5:4). Keempat, Prinsip tidak ada paksaan dalam Agama (QS. 2:256, QS. 10:99, QS. 22:38-40). Kelima, 3 Prinsip Esensi Agama: Keimanan kepada Tuhan, Hari akhirat dan Berbuat Baik (QS. 2:62, QS. 5:26). Keenam, Prinsip Menjunjung Nilai-nilai Kemanusiaan (HAM) (QS. 5:32).

Nah, berkenaan dengan keragaman ini satu Ajaran (pemahaman) ini tidak perlu diartikan semua agama sama dalam bentuknya yang nyata sehari-hari akan tetapi ajaran kemajemukan keagamaan itu menandaskan pengertian dasar bahwa semua agama diberi kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang akan ditanggung oleh para pengikut agama itu masing-masing, baik secara pribadi maupun secara kelompok” (Islam, Doktrin dan Peradaban, hal. 184).

Menyikap maraknya aksi kekerasan atasnama agama yang dilakukan oleh kelompok tertentu terhadap golongan yang dianggap ganjil, hingga meresahkan masyarakat dan dapat menisbikan Tuhan. gamaimana tanggapan Anda?

Tentu pemerintah harus tegas menegakan hukum, bukan malah sebaliknya. Sudah jelas orang berbuat tindakan pengrusakan termasuk tindakan pidana.

Satu hal lagi yang harus kita ingatkan, Diakui atau tidak Indonesia memang bukan negara islam, tapi bukan juga negara sekuler, melainkan sebuah agama sebuah negara hukum yang percaya pada perlindungan HAM sebagaimana tertuang dalam deklarasi Universal HAM dan UUD 1945.
Sudah sepantasnya kita menjungjung tinggi sekaligus mengakan hukum dalam kehidupan sehari-hari.

Sedari awal saya menolak berdirinya negara Islam. Pasalnya, tak ada contoh dari Muhammadnya. Piagam Madinah bukan konsep berdirinya Negara Islam, tapi bagaimana cara kita menghargai keyakinan orang lain.

Pluralisme Pro-Aktif
Pemahaman pluralisme, bukan hanya mengakui tapi membiarkan orang lain yang bebeda dengan kita untuk berkretifitas dengan bebas. dalam kontek ke kinian pluralisme tidak hanya kesadaran atau pemahaman adanya heterogentas, tapi harus juga terlibat secara pro aktif dalam mengejawatahkan nilai-nilainya. Keharusan pro aktif inilah yang tidak disentuh, selama ini. Apalagi digumulai oleh orang-orang yang selama ini mengaku memehami pluralisme.

Dus, dengan memahami dan ikut andil dalam mewujudkaan pemahman pluralisme ini merupakan satu langkah awal menuju pintu kebajikan dan pembebasan dalam memahari keragaman yang ada pada manusia.

Namun, bagi Alwi Shihab pluralisme harus dibedakan dari; Petama, pluralisme tidak semata menunjuan pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pluralisme agama adalah bahwa tiap pemluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercipanya kerukunan, dalam kebinekaan.

Kedua, plualisme harus dibedakan dengan kosmpolitanisme. Kosmopolitanisme menunjukan kepada suatu realita di mana aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Ambil misal kota New York. Kota ini adlah cosmopolitan. Di kota ini terdapat agama Yahudi, Kristen, muslim, Hindu, Budha, bahkan orang-orang tanpa agama selakipun.

Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan elativisme. Seorang relativis akan berasumsi hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berfikir seseorang atau masyarakat.

Keempat, pluralisme agama bukanlah singkretis, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsure-unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut. (Islam Inklusif;2001:41-42)

Kehadiran satu pemahaman terkadang menuai pelbagai kritik, cacian, hingga makian dari golongan tertentu yang tak sependapat denganya. Hal ini pula yang dialami oleh Cak Nur dalam membumikan pemahaman pluralismenya. Salah satu pengkritik terpedas, Nur Khalik Ridwan, mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa, menjelaskan tentang pluralisme merupakan sebuah paham yang menegaskan bahwa hanya ada satu fakta kemanusiaan, yakni keragaman, heterogenitas, dan kemajemukan itu sendiri.

Oleh kerena itu, ketika disebut pluralisme, maka penegasannya adalah diajukannya wacana, kelopmpok, individu, komunitas, sekte, dan segala macam bentuk perbedaan sebagai fakta yang harus diterima. (Pluralime Borjuis; Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur 2002:77)

Cak Nur Bukan JIL
Kendati ide-ide liberal Cak Nur menuai pelbagai kecaman—semasa hidup dan wafatnya. Bukan berarti pemikirannya telah terkubur. Malahan semakin berkembang dengan tampilnya Komarudin Hidayat, Azrumardi Azra, Budhy Munawarrahman dan Universitas Paramadina menjadi bukti sejarah atas keberhasilan pembaruan pemikiran islam indonesia yang tak bisa dibantahkan lagi.

Salah satunya, petinggi Rektor IAIN Mataram dalam membuka acara Diskusi Publik ‘Masa Depan Kebebasan Beragama di Indonesia’ 4 Juni 2007 menuturkan ‘‘Kalau paramadina membawa ajara-ajaran liberal, maka kami tolak, tapi bila membumikan gagasan Cak Nur, maka kami menerimanya, demikian dikatakan Budhi Munawarrahman saat ‘Forum Curhat’ Nasional Meeting Jaringan Antar Kampus, Hotel Pramesti Cibogo Bogor, (20/08/07).

Sejatinya kita mengamini pernyataan M Deden Ridwan—yang tengah menulis buku Cak Nur Bukan JIL. Paling tidak Ia mengurai alasan ketidakikutsertaan Cak Nur ke dalam kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL). Kendati sekira tahun 1970an Cak Nur pernah mengusung Sekulerisme dan Liberalisme.

Keberatan baginya, Cak Nur dikategorikan liberal.Memang cukup beralasan dikarenakan; Pertama, Liberalisasi Cak Nur lebih bersifat sosiologis. Ia berusaha membebaskan umat dari belenggu kultural dan tradisi yang pada waktu itu bisa dianggap menghambat berpikir rasional. Bukan liberalisasi dalam pengertian teologis, seperti mempertanyakan keotentikan Al-Quran, sebagaimana dikampanyekan JIL.

Kedua, Gagasan Cak Nur dan JIL berbeda secara ide. Pada Cak Nur, gagasan
pembaruan Islam lebih ditulis dan diartikulasikan secara akademis.

Buku Islam, Doktrin dan Peradaban, menjadi bukti. Secara paradigmatik, gagasan Cak Nur lebih sistematis. Dibandingkan dengan JIL, metode yang Cak Nur tawarkan lebih jelas. Yaitu, “memelihara yang lama yang baik dan mencari yang baru yang lebih baik”. Dalam hal menafsirkan Al-Quran, Cak Nur mengadopsi metode double movement, dari situasi sekarang ke situasi turunnya wahyu, lalu kembali lagi ke masa kini untuk menggali relevansi ajaran agama.

Sebaliknya, sistematisasi ide tidak tampak pada JIL. Gagasan JIL baru sebatas percikan ide spontan yang tercecer di surat kabar dan milis. Artikulasi pemikirannya belum terstruktur secara konseptual dan akademis. Karena itu, gagasan JIL secara epistemologis masih rapuh. JIL sampai kini belum punya metodologi yang jelas dalam menafsirkan Islam. Kritik pedas seperti itu pernah dilontarkan Dr. Haidar Bagir.

Ketiga, Cak Nur menjadi pemikir yang sadar menjadikan scripture Islam dan tradisi sebagai bagian dari public reasioning. Dan JIL tampaknya tidak demikian. Pada Cak Nur, penalaran publik itu murni dimotivasi oleh spirit agama. Warisan pemikiran Tocqueville dan Robert N. Bellah sangat kuat pada pembentukan mind set dan paradigma Cak Nur. Jadi, kuat sekali bahwa toleransi dan pluralisme Cak Nur selalu berangkat dari sandaran agama.

Dengan demikian, gagasan Cak Nur lebih relevan dan punya masa depan. Sebaliknya, JIL selama berwajah rigid, kaku, egois, dan terperangkap ke dalam “fundamentalisme liberal”, akan sulit hidup. (Gatra No. 19 Tahun XIV, 20 -26 Maret 2008)

Kiranya, kita mecoba membumikan pemikiran Nurcholis Madjid dalam menyongsong masa depan kebebasan beragama yang toleran, adil dan sejahtra. ‘Pokonya Cak Nur Yes, Liberal No!,’ saat menggambarkan pemikiranya yang diterima oleh banyak kalangan. Berbeda dengan JIL (Jaringan Islam Liberal) yang tak begitu mendapatkan perhatian dari masnyarakat, cetus Pradewi Tri Chatami, aktivis Jaringan Islam Kampus (JarIK) Bandung. [Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok Komputer Ngaheng, 24/05/08;23.58 wib

*Pembelajar Studi Agama-agama Fakultas Filsafat dan Teologi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung.
×
Berita Terbaru Update