-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kitab (2)

Wednesday, July 02, 2008 | July 02, 2008 WIB Last Updated 2008-07-02T15:16:07Z
Sepak Bola dan “Sindiran Telak” Bagi Agama
Oleh Ibn Ghifarie

Jelang partai final UERO 2008 di Vienna, Austria yang bertempat di Stadion Vienna-Ernst Happel, 29 Juni 2008 dengan menghadirkan; Wasit: Roberto Rosetti; Hakim Garis: Alessandro Griselli, Paolo Calcagno (semuanya dari Italia); Petugas Keempat: Peter Frojdfeldt (Swedia), demikian Reuters.

Hooliganisme pun mewarnai gegap gempita Piala Eropa yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Seakan-akan tak lajim rasanya bila suporter kesebelasan berdandan rapih.

Pakaian mereka pula aneh-aneh. Kaus bermotif bendera negaranya atau lambang klub kesebelasannya. Aksesori yang digunakan juga bermacam-macam. Ada emblem klub, kota, atau negara. Malah tulang belulang atau rantai ikut digantungkan di leher.

Kepalanya ada yang botak plontos. Sekujur tubuhnya penuh dengan tato. Sepintas, jika melihat mereka--dalam keadaan biasa dan bernyanyi bersama--memang lucu kelihatannya. Inilah hooliganisme mewabah dunia.

Orang rela membunuh waktu karena karena menggilai permainan kulit bundar. Di sana ada ketulusan dan keringanan. Benarkah ajang sepak bola menjelma menjadi ‘agama baru’ di era moderen dan serba digital ini? Lantas apa jadinya bila agama tak bisa memberikan kenyamanan bagi para pemeluknya?

Sepak bola memang mampu menghipnotis penduduk bumi. Orang merasa asyik bila bicara pelbagai hal terkait sepak bola. Tua-muda, kaya-miskin, laki-laki-perempuan ikut memeriahkan perhelatan akbar ini.

Media Pemersatu
Di tengah-tengah kisruh beda pendapat sekaligus penertiban keyakinan antara Front Pembela Islam (FPI) dan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) pasca Tragedi Monas (1 Juni 2008) yang berujung pada pengeluaran Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa bernomor 3/2008, Nomor Kep-033/A/JA/6/2008 dan Nomor 199 tahun 2008, tanggal 9 Juni 2008 tentang peringatan dan perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan masyarakat telah dikeluarkan. Namun kontroversi tentang SKB tetap mengendap bagai api dalam sekam.

Demam sepak bola Piala Eropa ini dapat ‘menunda sejenak’ segala persoalan kebangsaan dan keagamaam. Mulai dari kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang meroket tinggi, Kasus pembunuhan Munir, pejuang HAM (Hak Asasi Manusia) yang tak kunjung usai, Kebrutalan kaum Pelajar yang tak pernah selesai, Kebocoran UN yang sudah mendarah daging, Aksi mahasiswa yang berujung bentrok, sampai pengrusakan tempat ibadah yang tak pernah habis.
Pasalnya, sepak bola telah mempertemukan akan manusia dari pelbagai penjuru dunia. “Bola sebagai media egaliter dan media persatu,” kilah Hery Prasetyo, Jurnalis Tabloid Bola Soccer.
Lebih jauh, Ia menuturkan, “Sepak boal legi sukses daripada serangkaian Konfrensi-konfrensi yang dilakukan untuk menyatukan seluluh umat di dunia. Di sini tidak ada lagi sekat entis, suku agama maupun warna kulit,” jelasnya.

Di sadari atau tidak, perebutan kulit bundar di lapangan hijau ini perlahan-lahan naum pasti telah berubah menjadi agama tersendiri. Tengok saja, masyarakat Argentina dan Brazil, mereka menaikmati religiusitasnya saat [berada] di lapangan sepak bola.
Melihat antusis masyarakat yang begitu mengutamakan persepak bolaan. Seorang pendeta di sebuah kuil Budha di Thailand berkomentar “Sepak bola telah menjadi agama dan memiliki pengikut jutaan banyak.”

Uniknya lagi, di Kuil itu, tahun 2000 silam, teronggok sebuah patung David Beckam, Kapten kesebelasan inggris. Ya, sepak bola telah menyihir dunia keberagamaan. (Majalah Syirah Juni 2006)

Nah, bila perbuatan ini yang kerap terjadi, maka wajar jika agama formal mulai sedikit dilupakan. Apalagi agama sejauh ini hanya menekankan aspek teologi dan fiqh semata. Agama kurang memberi apresiasi estetik, ekspresi keringanan. Kalau aspek agama hanya menekankan aspek serius pada kalam dan syariat. Sementara manusia condong memilih kebahagiaan dengan cara sendirinya, maka secara tak disadari ia akan berusaha mencari ruang lain.

Adalah dengan menenggelamkan segala aktivitas keseharianya dalam tontonan UERO 2008. Jika perilaku umat beragama telah sampai pada titik ini, maka sepak bola telah beralih menjadi sindiran terhadap agama, demikian dikatakan Yudi latif, Direktur Eksekutif Reform Institute.

Menanggapi soal kecenderungan sepak bola bisa menandingi agama, masih menurut Hery “Sepak bola memang cenderung seperti agama baru. Tontonan yang menjadi tuntunan.”
Pola hidup urang, kata Hery sangat dipengaruhi oleh tontonan sepak bola, terutama di negara Eropa.

Dengan demikian, telah terjadi krisis ketuhanan. Setiap manusia tikan mempunya naluri anti ketuhanan. Ada yang dipuja, didewakan.

Kala agama tak bisa menjawab problematika itu mereka akan mencari pemujaan lain, biasanya artis atau pemain sepak bola.

Kendati, terdapat perbedaan mendasar antar sepak bola sebagai ‘agama’ dengan agama sesunguhnya. Paling tidak satu pemahaman dikatakan agama harus memiliki standar; Tuhan, Nabi, Kitab, Ritual dan Umat. Namun, saat persepak bolaan berhasil memasuki segala aspek kehidupan masyarakat. Di sinilah kekuatan agama baru hadir.

Sportifitas
Menilik ketidakharmonisan antaragama. Mestinya kita menengok kembali falsafah sepak bola yang mulai terlupakan. Pasalnya, tanpa pandangan itu kita niscaya akan hidup rukun, tentram, damai dan sejahtera pada satu bangsa.

Adalah sportifitas. Tak berlebihan memang bila kita terus mendengungkan pameo tersebut. Sikap adil sekaligus jujur terhadap lawan, sikap bersedia mengakui keunggulan (kekuatan, kebenaran) lawan atau kekalahan (kelemahan, kesalahan) sendiri.

Kalau tidak spotrtif jangan masuk dunia sepak bola. Sportifitas tak hanya dituntut dari pemain tapi wasit, juri, dan penontonya pula. Masing-masing menjadi saksi juga terdakwa sekaligus. Kesalahan yang dilakukan pendukung sebuah klub sepak bola bisa mengakibatkan klubnya dijatuhi sanksi. Pemain yang begitu kasar akan dihadiahi kartu merah dan diharuskan keluar lapangan dengan tunduk lesu dan malu. (www.syirah.com)

Mencermati dunia bola di tanah Air. Rasanya tak berhasil bila tidak tauran antar pendukung kesebelasan. Adu jotos antarpemain. Memihak terhadap klub tertentu oleh sang wasit. Pun penggelapan dana sepak bola. Hingga terjadinya swastanisasi terhadap olah raga ini. Mengerikan memang.

Bisa jadi kebrutalan baik dilapangan ataupun diluar gedung saat dan [akan] dimulai pertujukan berawal dari konflik antar elit pemuka agama yang tak kunjung selesai.

Sejatinya, tokoh-tokoh agama kita mengikuti jejak langkah yang dilakukan oleh negara Jerman, dua tahun silam. Dalam rangka festival dan konser bertajuk “Kick-off 2006 Kick-off faith”
Gereja Berlin, Gereja Brandenbourg dan Gereja Berlin-Wilmersdorf menggelar sepak bola antara Imam Mesjid melawan para Pendeta dan yang menjadi hakim garisnya dari orang Yahudi.

Jadi dalam pertandingan ini melibatkan tiga kelompok agama. “Kami telah mengusahakan sejak lama pertandingan semacam itu guna memperkuat hubungan antartiga aliran agama; Islam, Kristen dan Yahudi,” kata Imam Taha, kapten tim muslim

Meski pertandingan diakhiri skor telak 12:1. 12 untuk pendeta dan 1 baga Imam Mesjid. Kekalahan tak terjadi memicu keributan antaragama tersebut.

Malahan saat usai pertandingan, mereka berdoa bersama-sama sesuai dengan agama dan pemeluknya masing-masing.

Kali pertama, dalam sejarah kerukunan antarumat beragama di jerman sepak bola beda keyakinan diselenggarakan.

Dengan sepak bola, pihak penyelenggara berusaha mempromosikan toleransi dan persatuan antarumat.

Toleransi itu digalakan di Jerman mengingat sekitar 3% dari 82 Juta penduduk beragama muslim dan 0,1% agama Yahudi.

Sikap keterbukaan melalui perlombaan sepak bola antariman ini diamini oleh menteri Dalam Negeri Jerman, Wolfgang Schaeble seperti yang dilansir islamonline. “Sepak bola dengan kepopuleran dan daya tariknya bisa memperkaya lingkungan dan juga mematahkan sekat-sekat yang ada. Dan sekarang posisinya sebagai garis terdepan untuk mempraktikkan interrasi dan melawan rasisme” ungkapnya.

Kiranya, petuah “Ajarilah anak-anakmu dengan keterampilan renang, panahan dan pacu kuda—termasuk sepak bola” telah dipraktikan oleh bangsa Eropa dengan ajang EURO 2008.
Dengan demikian, sikap sportifitas, keterbukaan, toleransi dan menghargai keragaman menjadi pesan utama dari EURO 2008. Apalagi saat menyambut final Piala Eropa. Semoga.

Penulis adalah Pegiat Studi Agama-Agama dan Pemerhati Kebebasan Beragama
×
Berita Terbaru Update