-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kitab (6)

Monday, August 25, 2008 | August 25, 2008 WIB Last Updated 2009-02-25T02:55:37Z
Kemerdekaan dan Ketidakmandiriaan Dalam Beragama
Oleh IBN GHIFARIE

Merdeka, merdeka dan merdeka. Kata inilah yang selalu dilontarkan oleh siapapun di Bumi Pertiwi ini saat menginjak tanggal 17 Agustus. Beragam perayaan pula digelar masyarakat untuk mengekspresikan kemandirian bangsa. Pasalnya, Negara Zamrud Katulistiwa terlepas dari segala bentuk penjajah.

63 Tahun kita memperingati hari Ulang Tahun kebebasan dari Negara Asing tersebut. Benarkan kita telah mandiri sebagai Negara yang berkembang?

Pertanyaan ini layaknya kita ajukan kembali, karena kemeredekaan mensyaratkan keterpisahan dari segala bentuk keterbelengguan suatu bangsa. Termasuk dalam beragama dan berkeyakinan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga Departemenen Pendidikan Nasional, Jakarta: Balai Pustaka, 2003, merdeka memiliki beberapa arti, yaitu bebas; tidak terkena atau lepas dari tuntutan; tidak terikat atau tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; dan leluasa. Jadi, merdeka tidak hanya berkaitan dengan pembebasan dari penjajahan bangsa, tapi bisa juga berkaitan dengan diri sendiri. Yakni memerdekakan diri dari segala bentuk ”jajahan” atau hal-hal yang membelenggu diri.

Mencoreng Makna Kemerdekaan
Ambil contoh perlakuan yang dapat membelengu sekaligus merampas hak warga Negara untuk memiliki keyakinan ini menimpa pelbagai komunitas penghayat atau aliran kebatinan lokal. Komunitas Sunda Wiwitan, Aliran Pangestu atau Perjalanan, Wahidiyah dan Sedulur Sikep konteks Jawa Barat. Seakan-akan pemerintah hanya mengakui keberadaan enam agama (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Kong Hucu) saja. Celakanya, Negara selalu meniding agama atau kepercayaan suku asli Indonesia sebagai agama sempalan (sinkretis) yang harus kembali ke agama Induknya (Hindu dan Budha). Ironis memang.

Padahal, sebaliknya agama lokal (indigenous local religions) justru agama merekalah yang seharusnya disebut sebagai agama asli Nusantara jauh sebelum agama infor datang ke Indonesia, ungkap Siti Musdah Mulya. (2007)

Hak sipil mereka pun tak terpenuhi. Yakni hak untuk mendapatkan identifikasi diri sebagai warga Negara. Inilah yang harus kita perjuangkan hak-hak minoritas ini tambah Musdah. Alasannnya, karena keberagamaan yang sejati mensyaratkan kebebasan untuk memilih keleluasaan manusia terletak pada kebebasannya dan tak ada tanggungjawab serta balasan baik dan buruk. Apalagi tidak ada kebebeasan untuk memilih.

Kemandiriaan Beragama
Kemerdekaan manusia adalah hak atas keberagamaan yang sejati. Pemaksaan dan keterpaksaan untuk beragama melahirkan kepasuan dan ketidaksejatian (superfic al atau psedo religiocity). Pemaksaan yang dilakukan oleh orang atau Negara terhadap organisasi atau kelembagaan agama dengan cara tertentu yang tak sesuai dengan pikiran dan hati nuraninya sendiri dapat menimbulkan ketidaklanggengan. Begitupun larangan terhadap orang-orang untuk berpindah agama.

Dengan demikian, kebebasan berpikir untuk memilih agama yang berdasarkan suara hati merupakan modal utama dalam memberikan ruang untuk tumbuh dan berkembangnya aliran kepercayaan sekalipun.

Pasalnya, hati nurani merupakan petunjuk dan keputusan akhir dalam interaksinya dengan akal budi manusia dalam berhadapan dengan dirinya, orang lain, dan Tuhannya. Di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaan-Nya menggema dalam batinnya. (Konsili Vatikan II, GS 16); Dalam Perjanjian Baru, Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. (Kol 3:23) Di samping taat kepada hukum Allah, manusia juga perlu harmonisasi dalam hati nurani.

Etika Kebuddhaan adalah etika nurani. Melaksanakan Etika Kebuddhaan artinya membangun kebiasaan untuk berhati nurani; Pemujaan Sang Hyang Atma sebagai Batara Hyang Guru dalam agama Hindu adalah pemujaan Guru yang ada dalam diri. Suara Sang Hyang Atma itu tiada lain adalah suara hati nurani. Orang yang gelap hati nuraninya cenderung berbuat yang makin menutup sinar suci Tuhan; Di dalam kitab Su Si agama Kong Hu Cu mengatakan, berbuat sesuai dengan Hati Nurani itulah Tao, sedangkan bimbingan untuk hidup menempuh jalan sesuai hati nurani itulah agama. Manusia yang tidak mengenal hati nuraninya maka ia tidak mengenal Tuhan.

Kiranya, dokumen HAM internasional, konstitusi Indonesia dan sejumlah undang-undang secara tegas menyatakan kemandirian sekaligus bebas memilih untuk beragama merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar dan tidak boleh dikurangi sedikitpun (non-derogable). Negara menjamin pemenuhan, perlindungan, kemandirian dan pemajuan kebebasan beragama, baik sebagai hak asasi yang mendasar bagi setiap manusia, maupun sebagai hak sipil bagi setiap warga negara.
Sikap saling menghargai, menghormati dan cinta kasih di antara warga negara yang berbeda agama, kepercayaan merupakan faktor dominan bagi terwujudnya keadilan social--seperti diamanatkan dalam Pancasila, dan terciptanya kerjasama kemanusiaan menuju perdamaian dunia, sebagaimana tercantum dalam cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia.

Cita-cita luhur dan ideal inilah yang mendasari para pendiri republik ini (the founding fathers) saat merumuskan dasar negara Pancasila dan UUD 1945, khususnya pasal 29 tentang kebebasan beragama. Spirit ketidakbergantungan dalam bingkai menghargai kebhinekaan agama dan etnis pada bangsa lain hendaknya menjadi acuan dalam membangun peradaban Indonesia ke arah yang lebih baik.

Tentunya, tak ada alasan lagi kata menunda sekaligus membatasi warganya untuk urusan [pilihan] beragama dan berkeyakinan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana dicantumkan oleh para pendiri republik tercinta ini. Inilah makna terdalam dari kemerdekaan dalam beragama dan berkeyakinan. Semoga.

IBN GHIFARIE, Pegiat Studi Agama-agama dan Pemerhati Kebebasan Beragama
×
Berita Terbaru Update