-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kitab (13)

Sunday, April 12, 2009 | April 12, 2009 WIB Last Updated 2009-04-13T01:48:12Z
UIN SGD Bandung dan Peradaban Dialog
Oleh IBN GHIFARIE


Jelang Dies Natalis Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung Ke-41 yang jatuh pada tanggal 8 April 2009 pelbagai kegiatan (Seminar, Pengukuhan Guru Besar dan Penganugrahan Doktor Kehormatan, Pertemuan Tokoh Lintas Agama) diarahkan untuk mewujudkan peradaban dialog antaragama.

Pasalnya, dialog antar agama merupakan gerbang menuju kehidupan bermasyarakat yang adil, sejahtera dan harmonis. Sesuai dengan cita-cita luhur para pejuang yang memerdekakan kepulauan nusantara dari pelbagai rong-rongan penjajah. Kendati dialog antar iman tak sebatas bertujuan untuk hidup bersama secara damai dengan membiarkan pemeluk agama lain 'ada' (ko-eksistensi), melainkan juga berpartisipasi secara aktif meng-'ada'-kan pemeluk lain itu (pro-eksistensi). (Hans Kung dan Karl Kuschel: 1999).

Berawal Dari Kampus

Jauh sebelum terselenggrakanya acara Seminar Nasional dan Temu Tokoh Lintas Agama, Rabu (18/3). Prof Dr H Nanat Fatah Natsir, MS selaku Rektor UIN SGD Bandung giat mengkampanyekan dialog intra-religius.

Sejatinya, kampus mestinya menjadi tempat bertumbuhnya semangat penghormatan antarumat beragama. Kaum intelektual diharapkan mengambil peran besar mendorong dilakukannya dialog dan menjauhkan bibit-bibit ekstremisme, demikian disampaikan Rektor di sela-sela Diskusi Internasional tentang Pemikiran Islam dan Nilai-nilai Kesundaan, Jumat (9/1).

"Dari kampus, kaum intelektual harus terus menggali pemikiran dan membagikannya demi kepentingan bersama. Jika mungkin, gunakan itu untuk memengaruhi kebijakan-kebijakan publik untuk mengedepankan dialog," katanya

Dialog, menurut Nanat, merupakan jalan paling memungkinkan menuju sikap saling menghargai yang ada dan yang diajarkan di setiap agama. Selain itu, studi mengenai penggalian nilai-nilai lokal, seperti kesundaan, juga penting dilakukan.

Nanat mengaku prihatin dengan masih maraknya konflik yang mengatasnamakan agama dan telah mencederai semangat multikulturalisme. Padahal, agama mestilah bersifat relevan dan fungsional di setiap zamannya demi kesejahteraan manusia. (Pikiran Rakyat, 10/1)

Pasca perubahan IAIN menjadi UIN SGD Bandung diharapkan bisa menjawab tantanga zaman, terutama persoalan kerukunan hidup antaraumat beragama yang kian hari terjadi konflik, kekerasan, pengrusakan tempat ibadah.

Adalah dialogantar agama menjadi solusi atas ketegangan benturan peradaban Barat, Timur dan Islam. Sebab Tidak ada perdamaian antar bangsa tanpa dialog antar agama--meminjam istilah Hans Kung.

“Disinilah konstribusi seminar dan temu tokoh lintas agama dalam upaya merintis paradigma membangun peradaban Indonesia modern yang demokratis, adil dan sejahtera, egaliter sebagai model peradaban baru dunia dalam mewujudkan kebangkitan antar budaya dari belahan Indonesia sebagai sumbunya,” Jelas Prof Dr H Nanat Fatah Natsir, MS dalam sambutan Seminar nasional dan Temu Tokoh Lintas Agama

Peradaban Dialog

Diakui atau tidak Perguruan Tinggi IAIN (Bandung) mempunyai peranan penting dalam menumbuh kembangkan sikap terbuka, toleran, adil guna terwujudnya masyarakat beradab, adil dan sejahtera.

Dengan adanya Program Studi Perbandinga Agama (Studi Agama-agama) Fakultas Ushuluddin diharapkan dapat menopang sekaligus mengikis prilaku barbar, anarkis, radikal, ekstrim dalam menyelesaikan segala persoalan. Tradisi baku hantam pun tak diharapkan apalagi menjadi model menyelesaikan kisruh. Ironi memang.

Rasanya, tak berlebihan bila menyaol Perbandingan Agama dibala tak menyebut Mukti Ali, Guru Besar Perbandingan Agama melalui pendekatan religion scientific atau scientific-cum-doctrinair dengan jargonnya “Setuju atas ketidaksetujuan”

Agar seloganya membumi Ia beserta Alamsyah Ratuperwiranegara menegaskan, pembinaan kerukunan hidup beragama perlu ditingkatkan dengan memberi bobot, sehingga menjadi musyawarah pemuka-pemuka umat beragama dari berbagai agama di Indonesia.

Dari hasil itu dicanangkan strategi pembangunan yang selama ini kita kenal dengan istilah "Tri Kondial" (tiga kondisi ideal), yaitu kerukunan antarumat beragama, intern/sesama umat beragama, dan kerukunan antarumat beragama dan pemerintah.

Harus diingat, masih menurut Mukti Ali, salah seorang pemrakarsa terpenting dialog antaragama,--ditulis Azyumardi Azra menyatakan bahwa ”dialog” lebih tepat diartikan sebagai komunikasi di antara orang-orang beriman untuk mencapai kebenaran tertentu dan kerja sama dalam masalah- masalah yang berkaitan dengan kepentingan dan kemaslahatan bersama (Mukti Ali,1992:208).

Senada dengan Mukti Ali, Swidler merumuskan, ”dialog” (intra dan antaragama) adalah perbincangan atau percakapan di antara dua orang atau lebih yang memiliki pandanganpandangan yang berbeda, yang tujuan utamanya adalah untuk saling belajar sehingga para peserta dialog dapat mengubah pandangannya dan meningkatkan pengalaman keagamaannya (Swidler,1990:3).

Kendati dialogantar agama masih bersifat elitis dan tidak menyentuh akar rumput, ungkap Prof Din Samsyudin upaya mewujudkan kerukunan hidup bersama juga menghadapi persoalan ambivalensi para pemimpin agama. “Ketika bicara perdamaian di forum seperti ini, semua tokoh tampak baik. Akan tetapi, saat kembali ke umat dan berkhotbah, mereka kurang menyampaikan pesan-pesan perdamaian dan penghargaan terhadap agama lain,” ujarnya.

Namun, bukan berarti pengadaan pelbagai seminar, pembukaan Prodi Perbandingan Agama setiap tahunya diharapkan dapat menepis anggapan miring tersebut.

Dengan demikian, kehadiran Milad UIN SGD Bandung Ke-41 menjadi momentum juga harus menjadi modal dasar evaluasi sekaligus semangat toleransi dan pencerahan bagi seluruh dialog antar iman dan pemerintahan yang memegang kebijakan dalam membangun pendidikan berkarakter multicultural.

Ulang tahun UIN SGD Bandung juga harus dijadikan barometer sebagai ajang refleksi seberapa jauh kualitas kita dalam menghargai perbedaan (Suku, Agama, Ras, Budaya) semenjak UIN SGD Bandung ini berdiri.

Inilah makna terdalam Dies Natalis UIN SGD Bandung Ke-41 bagi membangun peradaban dialog. Terwujudnya masyarakat Jawa Barat yang adil, toleran, ramah, rukun, sejahtera, makmur menjadi cita-cita civitas akademika UIN SGD Bandung. Semoga.

*IBN GHIFARIE, Alumnus Studi Agama-agama Fakultas Filsafat dan Teologi UIN SGD Bandung dan bergiat di Sunan Gunung Djati (Komunitas Blogger Kampus UIN SGD Bandung)
×
Berita Terbaru Update