-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Mushaf (3)

Wednesday, July 29, 2009 | July 29, 2009 WIB Last Updated 2009-07-29T10:33:41Z
Terorisme dan Dialog Antaragama
Oleh IBN GHIFARIE

Pascaledakan bom di Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz Carlton di Mega Kuningan, Jakarta, Jumat (18/7) lalu genderang perang pun ditabuh oleh pemerintah Indonesia terhadap segala bentuk aksi terorisme.

Dengan tegas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengutuk keras aksi terorisme "Saya bersumpah demi rakyat Indonesia, negara dan pemerintah akan melaksanakan tindakan tegas, tepat, dan benar terhadap pelaku pengeboman berikut otak dan penggeraknya," tegasnya

Dalam jumpa presnya, Ia menjelaskan "Hari ini adalah titik hitam dalam sejarah kita...Pemboman dilakukan oleh kaum teroris. Aksi terorisme ini dilakukan oleh jaringan teroris meskipun belum tentu kelompok yang dikenal selama ini," katanya.

Nama Noordin M Top pula dikaitkan menjadi dalang aksi teror bom itu, demikian dikatakan oleh Kepala Desk Antiteror Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Irjen Pol Ansyaad "Dari modus yang dilancarkan, ini jelas terkait dengan Noordin M Top," paparnya kepada ANTARA.

Spirit Yang Terlupakan
Apapun alasanya menghancurkan tempat umum tertentu, hingga menghilangkan nyawa orang lain, tak termasuk dalam kategori perbuatan baik.

Di tengah-tengah keterpurukan bangsa, masih ada segelintir orang (kelompok) yang tega melakukan perbuatan senonoh atau menempuh jalan pintas dalam menyelesaikan persoalan. Budaya aksi bom bunuh diri pun menjadi jurus pamungkas guna menumpas semua golongan yang berbeda (pendapat, pemahaman dan keyakinan).

Apakah kita tidak lelah? Apakah kita tidak ada kepentingan dan kebutuhan lainya yang lebih urgen daripada aksi terror tak berarti itu? Apakah kita memang lebih gandrung terhadap budaya barbar daripada duduk rukun dan bicara (dialog) dari hati ke hati?

Harus kita katakana dengan tegas, tak ada ajaran agama mana pun yang membenarkan perbuatan keji tersebut.

Sangatlah wajar bila Sejumlah tokoh lintas agama menyatakan keprihatinan mendalam atas peristiwa teror pemboman dalam acara bertajuk Doa Bersama Lintas Agama yang digelar di Mal Bellagio, Mega Kuningan, Jakarta Senin (20/7). Mereka menolak jika dikatakan Indonesia adalah pusat terorisme. Yang terjadi adalah sebaliknya, Indonesia adalah korban terorisme.

Kegiatan yang digagas oleh Presiden World Conference on Relation for Peace sekaligus wakil dari Islam Hasyim Muzadi, Mahabiksu Duta Wira dari perwakilan agama Budha, Anak Agung dari perwakilan agama Hindu, Romo Edi Purwanto dari Konferensi Waligereja Indonesia, serta Pendeta Petrus Octavianus dari Persatuan Gereja Indonesia.

Hasyim Muzadi menyatakan, agama bukanlah darah dan teror. Peristiwa pengeboman pada 17 Juli lalu, katanya terjadi karena kesalahan pemahaman ajaran agama yang terjadi pada segelintir orang. "Kesalahan pemahaman itu bercampur berbagai kepentingan yang dipaksakan," paparnya.

Karena adanya penyalahgunaan agama itu, masih menerutnya, jangan membuat orang menafsirkan bahwa agama adalah penyebab terorisme.

Bagi Mahabiksu Duta Wira mengatakan kepiluannya atas peristiwa pengeboman yang kembali terjadi. Ia meminta pihak-pihak yang ingin menunjukan identitas dan aspirasinya untuk jangan menggunakan bom. "Tindakan itu merugikan karmanya sendiri, masyarakat, dan bangsa," tegasnya.

Hal senada juga dilontarkan oleh Romo Edi Purwanto perwakilan Konferensi Waligereja Indonesia menganggap peristiwa pengeboman adalah tindakan kejahatan yang kejam. "Tidak ada dasar apapun yang membenarkan tindakan ini," katanya. (Tempo, 20/7)

Maraknya aksi terorisme dan bunuh diri ini, perlu ditegaskan, perbuatan tak terpuji itu tidak terkait agama tertentu. Malahan bagi Zuhairi Misrawi, pernah menulis buku Islam Melawan Teroris (2004) mengatakan terorisme sebenarnya terkait realitas keumatan.

Agama buknalah penyebab segala bentuk petaka, tapi ketidaktepatan umat dalam memahami doktrin agama, tidak kontekstual, dan bernuansa kekerasan. Sebab itu, yang perlu mendapat perhatian saksama adalah kualitas pemahaman umat terhadap agama. Bom bunuh diri adalah perbuatan yang harus dihindari karena dilarang agama.

Salah satu ajaran pokok Islam adalah menyebarluaskan sekaligus menegaskan pentingnya perdamaian dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Ini terlihat dalam sebuah hadis; inti Islam adalah menebar perdamaian dan menyantuni fakir-miskin kepada orang yang dikenal maupun tidak dikenal. (Kompas, 24/7)

Bila kita kuat memegang ajaran setiap keagamaan niscaya tak akan ada lagi upaya 'mempercepat kematian' oleh kelompok tertentu terhadap golongan yang berbeda sekalipun kuat memegang teguh tradisi leluhurnya. Seolah-oleh mereka tak masuk kategori Islam dan harus diislamkan. Inilah wajah muram Islam Indonesia.

Kunci Perdamaian
Sejatinya, kita harus belajar toleransi, dialog antaragama dari pertemuan singkat antara Raja Abdullah bin Abdul Aziz dari Arab Saudi dan Paus Benediktus XVI di Vatikan, November 2007. Kedua tokoh agama itu percaya bahwa dialog adalah amat penting, dan melalui dialog akan lahir sebuah perubahan.

Pasalnya, dialog antar agama merupakan gerbang menuju kehidupan bermasyarakat yang adil, sejahtera dan harmonis. Sesuai dengan cita-cita luhur para pejuang yang memerdekakan kepulauan nusantara dari pelbagai rong-rongan penjajah. Kendati dialog antar iman tak sebatas bertujuan untuk hidup bersama secara damai dengan membiarkan pemeluk agama lain 'ada' (ko-eksistensi), melainkan juga berpartisipasi secara aktif meng-'ada'-kan pemeluk lain itu (pro-eksistensi). (Hans Kung dan Karl Kuschel: 1999).

Dengan demikian, dialog antaragama merupakan suatu pelayanan bagi kemanusiaan yang penting, demi tercipta perdamaian dan kemajuan semua pihak.

Konteks Jawa Barat, khususnya Kota Bandung--dipenghujung 2007 ketidakharmonisan antariman itu, menggugah seluruh pemimpin enam agama (Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu dan Khonghucu) dan tujuh belas pemuka aliran keagamaan untuk berembuk sekaligus mendeklarasikan Sancang.

Mari kita menelaah sekaligus mengamalkan pesan suci Deklarasi Sancang yang terangkum dalam butir-butir; Pertama, Kami umat beragama Kota Bandung adalah bagian dari Bangsa Indonesia yang senantiasa menjungjung tinggi kesatuan dan persatuan. Kedua, Kami umat beragama Kota Bandung menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Ketiga, Kami umat beragama Kota Bandung selalu berjuang untuk tegaknya hokum dalam mewujudkan kesejahteraan, keadilan dan kerukunan hidup demi mencapai kebahagiaan bersama. Keempat, Kami umat beragama Kota Bandung selalu mengembangkan sikap teleransi, tenggang rasa dan saling menghormati. Kemila, Kami umat beragama Kota Bandung selalu berkerjasama untuk berperan dalam mengatasi masalah-masalah social dan lingkungan.

Perdamaian erat kaitannya dengan perilaku antikekerasan. Kiranya, kita perlu berguru antikekerasan pada Badshah Khan (1890-20 Januari 1988), pejuang risalah muslim antikekerasan dari Perbatasan Barat Laut. Pasalnya, perlawanan antikekerasan merupakan satu-satunya cara efektif melawan kezaliman.

“Hanya dengan antikekrasan, dunia masa kini bisa bertahan hidup menghadapi produksi masal senjata-senjata nuklir. Sekarang ini dunia lebih mumbutuhkan pesan cinta kasih dan perdamaian Gandhi daripada waktu-waktu sebelumnya. Andai saja dunia sunguh-sungguh tidak ingin menyapu habis peradaban dan kemanusiaannya sendiri dari muka bumi ini,” ungkapnya. (Eknath Easwaran, 2009)

Inilah peranan penting para pemuka agama dalam membumi hanguskan aksi terorisme sekaligus membangun peradaban dialog antaragama. Terwujudnya masyarakat yang adil, toleran, ramah, rukun, sejahtera, makmur menjadi cita-cita Bandung Agamis. Semoga.

IBN GHIFARIE, Pegiat Studi Agama-agama dan Pemerhati Kebebasan Beragama
Tulisan ini dimuat di Wacana Bandung Ekspres, Rabu 29 Juli 2009
×
Berita Terbaru Update